Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #21

Sebuah Pengakuan

Mulanya hanya sebuah gagasan namun gagasan itu terus menjadi pembicaraan di antara kami bertiga hingga dengan matang dan mantap Ibu memutuskan untuk merenovasi secara besar-besaran rumah kami. Ia menyewa jasa arsitek dan pemborong yang siap membangun rumah impiannya. 

“Apa Mama tidak sedih menghilangkan kenangan akan Papa di rumah ini?” tanyaku dengan pandangan menerawang ke segala penjuru rumah yang mulai kami bongkar setiap sisinya, bersiap untuk pindah ke rumah yang disewa Ibu selama rumah kami ini dibangun. 

“Sekarang Papa hidup di sini dan di sini kita Mar, bukan di rumah ini. Dan kita masih perlu untuk melanjutkan hidup,” Ibu menunjuk dada dan kepalanya sendiri. “Setelah Mama tidak ada rumah ini untuk Rio, ini hadiah Mama untuknya dan untuk anak-anaknya kelak.”

Meski Ibu masih segar bugar tapi pembahasan mengenai apa-apa saja untuk aku dan Mario sudah mulai dibahas sejak kami menginjak usia dewasa. Mario memang akan mewarisi rumah yang kami tempati sedangkan aku mendapatkan tanah di kawasan Cilandak yang belum dibangun, Papa yang membelinya dulu sebagai bentuk investasi katanya.

“Kalau kamu kan nanti bakal dibawa oleh suamimu,” tambah Ibu.

Mendengar kata-kata itu bukannya membuat aku segera ingin menikah malah aku semakin ragu dengan masa depanku sendiri. 

Attila semakin menunjukan rasa ketertarikannya denganku dan mungkin karena secara usia ia lebih dewasa dan berpengalaman dalam segala hal daripada diriku, ia menyampaikan hal itu secara terang-terangan begitu saja, seperti permasalahan bisnis. Dia tidak mengatakan bahwa ia sudah jatuh cinta denganku, bahwa aku wanita yang sangat menarik dan membuat jantungnya berdebar-debar hanya karena memikirkan aroma parfum yang aku pakai, tidak juga mengatakan bahwa berbicara denganku membuatnya sangat nyaman, dia hanya mengatakan bahwa mungkin kami cocok dan dia ingin mengenalku dengan lebih baik lagi, lebih dari pengenalan sebagai seorang teman. Ia mengatakan hal itu dengan wajah kakunya di halaman rumah tepat setelah ia mengajaku pergi menonton pertunjukan orkestra, ia juga mengajak Ibu tapi sayang Ibu harus pergi ke luar kota hari itu. Aku ingat, aku mengenakan gaun merah dan ia memakai kemeja batik yang memiliki sulaman emas. 

Tapi aku lega ia mengungkapkan perasaan dan kemauanya dengan cara begitu, andiakan ia mengatakannya dengan membawa sekeranjang bunga dan ditambah musisi-musisi yang mengiringi dengan alunan melodi romantis katakan karya Chopin yang romantis menurut Ibu, mungkin aku akan tergugu dan merasa panik harus menjawab apa. Aku menjawab tentu saja boleh dan mengapa tidak? Tidak ada penghalang di antara kami. Meskipun seperti kata Ana bahwa sesungguhnya aku masih belum dapat benar-benar melupakan cinta pertamaku yang layu sebelum berkembang (entah mengapa sulit sekali melupan orang itu, aku sendiri tidak paham dengan diriku sendiri mengapa sedemikian sulitnya untuk benar-benar dapat melupakannya). Tapi untuk Attila aku rasa aku tidak berkeberatan untuk mulai mencoba membuka pintu hatiku sekali lagi.

Ibu menepuk bahuku, membuat aku kaget sekaligus tersadar dari lamunanku yang setengah biru. 

“Hei kalau bekerja jangan sambil melamun nanti tidak beres-beres. Kapan Maya akan datang? Dan eh, mengapa Ana sudah lama sekali tidak datang? Bukannya ia seharusnya sudah diwisuda ya? Apa kita tidak perlu datang?”

“Ma, apa lihat ponsel Marni? Kok dari tadi Marni cari enggak ada ya? Apa masih di kamar? Aduh, jangan-jangan Maya sama Attila telepon lagi, Marni ambil dulu ya ke atas.”

Kakiku melangkah panjang-panjang menuju kamar dan merasa lega lagi-lagi dapat menghindari pertanyaan mengenai Ana. Seluruh barang-barang di kamarku sudah dimasukan ke dalam kardus, hanya tersisa tempat tidur dan sebuah bingkisan yang aku masukan ke dalam tas jinjing bersamaan dengan sketsa tampak depan rumah ini yang diberikan Maya dua hari yang lalu, hasil tangannya sendiri tentunya. Aku ingin membuka bingkisan itu sejak Attila menyatakan hasratnya padaku tapi keberanianku selalu sirna saat tanganku sudah menjangkaunya. 

Aku tak tahu mengapa aku takut sekali membuka bingkisan itu, tidak mungkin hal yang berbahaya bagi ragaku tapi aku tahu akan sangat mempenggaruhi kalbuku. Aku duduk merenung dan melamun, entah berapa lama sampai pintu kamar diketuk oleh pembantu. 

“Non, ada Non Ana datang.”

Harunya aku senang mendapat kabar kunjungan itu tapi rasanya aku malah seperti mendengar gledek besar yang menyambar tepat di belakang jendela kamarku, seperti adegan di film-film dan tentu saja itu hanya hiperbola diriku saja karena awan amat cerah siang itu. 

Aku turun dengan perlahan, tidak ada Ibu mungkin ia sedang sibuk di ruang kerjanya mamasukkan buku-bukunya dan Ayah yang memang belum rampung sejak kemarin. Ana berdiri di ruang tamu, wajahnya diliputi sembilu. Jujur aku tidak tahu apa kabarnya selama hampir empat bulan ini. 

“Hi, Marni.”

“Hi, Ana.” Aku masih berdiri di bagian paling bawah tangga. “Apa kabar?” 

Rasanya aneh sekali bertanya seperti itu padanya. Betapa dekatnya kami dulu dan kini aku bahkan tidak mengetahui apa saja yang dilakukannya pagi tadi. 

“Aku sedang magang di sebuah bank swasta saat ini, belum ada dua bulan sebetulnya.” Ana meggosok-gosok telapak tangannya lalu menunduk. “Kenapa kamu tidak pernah datang ke rumahku Mar?”

“Aku lumayan sibuk di kantor, selalu pulang malam.” Aku menelan ludahku dan berjalan menghampirinya. Pembantu datang membawakan jus jeruk untuk kami.

“Banyak hal yang terjadi ya?” Ana melemparkan pandangan matanya ke seluruh ruangan yang dapat dijangkaunya. “Kalian mau pindah?”

“Sementara, Mama mau merenovasi rumah ini. Mungkin selama dua tahun.”

Ana terdiam, aku merasa ia ingin menyampaikan sesuatu kepadaku tapi ia tahan-tahan sama seperti aku yang menahan-nahan pertanyaan di lidahku, menantinya untuk menjadi pencetus pembicara. 

“Aku juga mau pindah,” Ana menarik satu tarikan napas panjang, “Minggu depan.”

“Ke mana? Pulang kampung?”

Ana menggeleng, Ana mencengram lututnya hingga aku melihat urat di tangannya bertonjolan. 

“Aku akan menikah dengan Fani.”

Mulutku terbuka, rasanya hidungku sulit untuk menangkap udara yang beredar bebas. Ana menatapku sesaat sebelum kembali menunduk. 

“Kapan?”

“Minggu depan.”

“Mengapa mendadak sekali?”

“Harus…” Ana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah tangga mungkin ia pikir Ibu akan turun karena ada suara derit pintu namun Ibu tidak kunjung turun. “Aku hamil.” Ucap Ana pelan. 

Aku kira aku salah mendengar ucapannya tapi ketika ia memegangi perutnya dengan lembut aku tahu telingaku belum rusak. 

“Mau jalan dua bulan.”

“Tapi…, tapi…,” leherku terasa berat dan dadaku sesak, kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat aku sendiri menjadi semakin bingung. “Apa orangtuamu tahu? Bapakmu…” Tanyaku akhirnya. 

“Bapak marah besar, tentu saja. Bunda juga, mereka mengusirku makanya aku harus pindah. Tidak apa-apa, aku tahu memang akan begini jadinya dan harus begini.”

“Lalu kamu mau kawin lari dengan Fani?”

Ana menggeleng, “Aku bilang kepada orangtuaku bahwa kami akan menikah di catatatan sipil pekan depan tapi mereka menolak hadir. Tidak mungkin aku dan Fani menikah di gereja. Dan tidak mungkin bagi kami untuk tidak menikah apalagi berpisah.”

“Jadi kamu sengaja hamil agar dapat menikah dengannya?”

“Iya.”

“Kamu gila An!” desisku.

“Aku datang bukan untuk meminta izinmu melainkan aku datang agar kamu tahu bahwa aku masih menganggapmu sebagai sahabatku, masih kah kamu menganggapku juga begitu?”

“Aku bahkan hampir tidak mengenal siapa dirimu sekarang ini,” ucapklu lirih dan pilu menyanyat hatiku. “Apa betul kamu Mariana?”

Ana berdiri dengan mendadak tetap memegangi perutnya dengan tatapan lembut tapi tatapan itu hilang saat ia menatapku, dia benar-benar berubah dan aku hampir tidak mengenali siapa dirinya lagi, tidak sedikit pun. 

“Aku tidak berharap kamu akan mengerti keputusanku Mar. Aku datang hanya untuk memberitahumu saja. Dari gelagatmu aku sudah menerima jawaban atas pertanyaanku, selamat tinggal Mar, senang sudah mengenalmu.” Ana membalik tubuhnya dan berjalan beberapa langkah tapi di muka pintu ia berbalik, “Kamu bilang apa pun yang aku alami kamu akan tetap ada di sampingku, tetap akan memberikan bahumu sebagai sandaran dan pelukan, tapi… Sudahlah!”

Aku terlalu tertegun untuk menangkap perkataanya ataupun untuk segera menyadari kepergiannya. Jus jeruk itu tidak diminumnya sama sekali, sama seperti jus jeruk untukku sendiri. Ibu turun lima menit kemudian dengan tatapan bingung. 

“Loh tadi ada tamu Mar? Siapa? Maya sudah datang?”

“Belum…, Ana...”

“Ana yang datang? Lantas di mana dia?” kepala Ibu melongok ke kanan-kiri. 

“Marni baru saja kehilangan sesuatu yang penting Ma.”

“Ponselmu hilang?”

Kepalaku menggeleng dan dengan perlahan aku menuju ke pintu depan, “Sesuatu yang tidak mungkin Marni beli dengan uang dan waktu.”

“Apa maksudmu?” 

Napasku berhembus dengan keras, “Tidak ada. Ana sudah pulang Ma. Ayo, masih ada barang-barang yang perlu Marni bereskan.”

Aku meninggalkan Ibu dengan pertanyaan-pertanyaaan yang tersirat di wajahnya, perlu waktu berbulan-bulan sampai akhirnya aku menceritakan ulang pembicaraan antara aku dengan Ana pada Ibu. 

***


Aku sudah berada di usia yang mampu untuk memahami, legawa dan juga memiliki kebijakan mengenai sebuah hubungan. Sebuah hubungan hanya dapat terus berjalan apabila dua belah pihak ingin terus melanjutkan dan mempertahankan hubungan dan komunikasi antar kedua belah pihak, Apabila hanya sebelah pihak saja maka tidak akan terjadi apa-apa dan bila hanya sebelah pihak saja yang berharap hubungan itu terus berlanjut maka yang terjadi adalah kisah yang bertepuk tangan. Dan hal itu bukan hanya berkenaan dalam hal asmara saja melainkan semua aspek hubungan sosial antar individu.

Aku diam dalam kesedihanku akan tetapi orang-orang disekelilingku tidak membiarkan aku terus jatuh dalam perasaan kehilangan yang coba aku sembunyikan dengan susah payah itu. Attila tampak semakin serius dengan kedekatan kami dan entah mengapa mungkin karena aku semakin mengenal dirinya sudah tidak ada perasaan kaku lagi saat aku berada di dekatnya dan sudah tidak ada kecanggungan lagi saat aku menatap wajahnya dengan sesuka hatiku. Dia memang jarang tersenyum, tidak pernah bercanda dan suka membahas apa-apa dengan serius tapi ia orang yang baik, gigih dan pekerja keras. Ia mengenalkan aku dengan keluarganya, itu pertama kalinya aku dibawa menemui keluarga seorang laki-laki. Aku pikir aku akan pingsan malam itu sangking tegangnya tapi ternyata keluarga Attila memperlakukan aku dengan sangat baik terlebih lagi setelah mengetahui siapa ayahku dan bagaimana dulu ayah Attila mengenalnya. 

Saat itu menjelang akhir tahun, keluarga Attila mengundang aku untuk ikut serta berlibur di vila keluarga mereka yang berada di Anyer. Vila itu tepat berada di pinggir pantai, biasanya suka mereka sewakan ke turis asing. Aku dan Maya ditempatkan di kamar yang menghadap laut di lantai dua. Debur ombak membuat hatiku sedikit tenang. 

“Apa kamu masih takut?” tanya Maya masih memakai handuk untuk menutupi tubuhnya yang berbikini. 

Lihat selengkapnya