Mendekati pertengahan tahun 2006, Attila dan aku mengucap janji setia sehidup semati. Sasa datang bersama dengan pacarnya yang posesif itu tapi kini statusnya sudah berubah mejadi suami yang posesif. Mereka terbang dari Malaysia untuk menghadiri resepsi pernikahan kami yang diadakan di salah satu hotel di bilangan Jakarta Selatan.
Aku ingat gaun pernikahanku yang berwarna putih bersih itu dengan potongan sederhana dan menonjolkan bahuku yang tegap dan ramping. Tudung yang aku kenakan panjang menyapu lantai gereja, Mario yang mengiringi langkah kakiku menuju depan altar sebagai pangganti Ayah yang sudah tiada.
Ibu menangis, tentu saja. Maya juga menangis tapi tidak henti-hentinya ia memamerkan giginya padaku. Tapi sungguh ia adalah pendamping pengantin yang sangat sabar dan bisa menghadapi kepanikanku sejak pagi jauh sebelum wajahku mulai dirias. Aku tidak tenang perutku mulas padahal tidak keluar apa-apa saat aku duduk di kloset, aku tidak dapat tidur, sebentar-sebentar mataku terbuka untuk pergi ke kamar mandi. Tanganku bergetar untuk alasan yang tidak aku pahami. Maya datang dan memelukku lalu mengatakan bahwa kondisi Attila tidak jauh lebih tenang daripada diriku.
“Itu menandakan bahwa memang kalian jodoh dan sama-sama amatiran!” ejeknya dengan tenang.
Anehnya setelah mendengar berita itu justru membuat aku menjadi lebih tenang. Aku bisa melalui hari sakral itu dengan perasaan lebih ringan.
Tentu saja sama seperti pasangan pengantin lainnya aku tidak mengenal semua tamu undangan yang hadir pada acara resepsi pernikahan kami karena memang acara itu biasanya didominasi oleh kepentingan dari para orangtua masing-masing pengantin saja. Meski begitu, sejenak aku sempat membayangkan dan berharap meski jelas itu hanya sebuah harapan kosong. Aku berharap tiba-tiba Ana muncul bahkan bila ia muncul bersama Fani sekalipun aku tidak keberatan. Tapi tentu saja Ana tidak muncul dan sudah pasti ia tidak tahu bahwa aku juga sudah menikah. Aku merasa kebahagianku kurang lengkap.
Setelah menikah aku membawa sebagian barang-barangku terkecuali bingkisan dari Sembara yang aku simpan di bagian paling bawah lemari pakaianku. Aku dan Tila pindah ke rumah baru kami di kawasan Bintaro, apartemen di Simprug itu masih ditempati oleh Maya dan sesekali ia menginap di rumah kami.
Kami baru sempat pergi berbulan madu setelah dua bulan menikah karena kesibukan Tila mengurus Teras Belakang yang sudah beroprasi lagi. Mulanya kami berencana pergi ke Praris tapi aku mengurungkan niatku untuk mengunjungi Eropa. Lalu kami sepakat untuk mengunjungi Amerika. Ibu menyarankan kami untuk mengunjungi Hawaii tapi aku menginginkan New York, aku meyukai kota itu karena terlalu banyak menonton Sex and the City dan tidak lupa film-film komedi romantis yang berlatar The Big Apple yang membuat aku terpesona dengan kota yang dikatakan tidak pernah tidur itu dan Tila juga tidak keberatan, jadilah kami pergi ke New York selama sepekan. Attila memesan hotel yang pemandangannya langsung menghadap ke Times Square yang menurutku harganya kelewat mahal tapi katanya ia tidak keberatan karena ia tahu aku senang melihat orang berlalu-lalang dan mengamati mereka, sekonyong-konyong aku malu mendengarnya.
Kami datang saat musim panas tapi sayangnya hujan sering turun saat itu, banyak waktu yang kami lewati dengan berdiam di cafe-cafe, pergi ke lokasi The Twin Towers13 pernah berdiri yang waktu itu areanya sudah ditutup karena rencananya akan dibangun memorial museum sebagai pengingat peristiwa yang secara tidak langsung turut merubah wajah negara tersebut.
Attila dengan rekomendasi dari temannya mengajakku mengunjungi toko buku yang sudah berdiri sejak tahun 1927 di pojok Broadway (kami juga menonton pertunjukan Broadway, teater musikal dengan judul Wicked). Bagiku toko buku itu dengan rak-rak bukunya yang begitu tinggi menjulang bagaikan raksasa dan aku hanya seekor semut kecil di tengah banyaknya hal dan pengetahuan yang dapat aku peroleh dari buku-buku sebagai jendela dunia. Katanya bila buku-buku dalam toko buku tersebut dibentangkan, panjangnya bisa sampai sejauh delapan belas mil. Aku tidak tahu benar atau tidaknya hal tersebut yang jelas memang buku-bukunya banyak sekali baik yang baru ataupun yang bekas. Yang lucunya saat aku memindai punggung buku dengan acak mataku tertambat pada sebuah buku tua terbitan tahun delapan puluhan yang judulnya pernah aku lihat sekian tahun yang lalu, The Sorrow of Young Werther karya Goethë. Bibirku tersenyum kecut dan pikiranku mau tak mau mengawang-awang kepada wajah yang aku harapkan dapat luruh sepenuhnya dari kotak ingatanku. Aku mengembalikan buku itu dan membeli lima judul buku lainnya dan membelikan tiga album vinil musik klasik untuk Ibu. Aku harap itu bisa menggantikan iPod miliknya yang kini selalu aku bawa ke mana-mana.
Kelebihan kota itu adalah tamannya, aku suka sekali dengan Bryant Park. Taman itu tidak seluas dan pepohonannya tidak serimbun Central Park tapi lokasinya yang berada di tengah-tengah kota Manhattan dengan gedung-gedung tinggi menjulang yang mengelilinginya bagaikan sebuah padang oasis. Aku sedang duduk sendiri tepat di depan patung Gertrude Stein sambil membaca novel The Lovely Bones14 yang diangkat kelayar lebar beberapa tahun setelahnya. Tila mengatakan ia ingin membeli kopi untuk kami, lama dia pergi tapi novel itu sendiri cukup menyedot perhatianku jadi aku cukup tenang menunggunya.
Cuaca cerah dan angin berhembus dengan damai, selain aku banyak orang yang duduk-duduk di taman itu, berbicang, membaca, berjemur atau sekedar melamun. Ada panggung yang didirikan dan dari pamflet yang disebar aku tahu panggung itu untuk pertunjukan teatrikal yang akan diadakan malam nanti.
Leherku pegal jadi aku meregangkannya dengan menoleh ke berbagai arah, aku tidak tahu ke mana atila membeli kopi mengapa perlu waktu hampir selama empat puluh menit hanya untuk dua gelas kopi padahal di taman itu itu juga terdapat cafe yang aku yakin pasti juga menjual kopi, entah kopi macam apa yang dicarinya.
Saat itu mataku terpaku pada seorang wanita asia yang sedang menggedong seorang balita. Wanita itu memiliki postur tubuh seperi Ana dan anaknya pasti seusia dengan anak Ana. Bila saja hubungan kami tidak retak pasti aku akan membelikan anak itu banyak oleh-oleh; mainan atau baju bayi. Aku sadar dan menyesali betapa bodohnya pertengkaran kami waktu itu tapi waktu tidak dapat aku tarik mundur, yang ada hanyalah penyesalan sekaligus harga diri yang harus aku jaga. Cepat-cepat aku menunduk kembali namun tiba-tiba muncul buket bunga berwarna merah di hadapanku.
Attila tampak terangah-engah, dalam dekapan tangan yang lain ada dua gelas cangkir kertas dan sebungkus kotak coklat.
“Untuk istriku.”
Aku menerima bunga itu dengan wajah berseri-seri. Aku tidak tahu sebelumnya bahwa pada saat-saat tertentu Attila yang bertampang tegas dan cenderung suram bila sedang serius bisa menjadi pria yang romantis juga.
“Kamu lama sekali karena membeli ini?”
“Ya, aku belum pernah membelikanmu bunga kan selama ini?”
“Ini yang pertama, tapi kamu sering membelikan aku hal-hal lain atau mengajakku melalukan kegiatan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya dan itu sama berkesannya. Apalagi makan malam romantis semalam, pemandangan tiga ratus enam puluh derajat di lantai tingkat empat puluh delapan itu sungguh-sunggguh berkesan dan spektakuler.”
“Tapi bunga tetaplah bunga, aku janji akan lebih sering membelikanmu bunga.”
“Dan apa yang harus aku lakukan sebagai balasannya?”
“Jadilah istri yang baik dan ibu yang baik untuk anak-anaku, hanya itu saja.”
Aku tertawa gembira membayangkan masa depan kami, “Ya, memang begitu jugalah rencanaku.”
Tila tersenyum puas mendengar jawabanku. Aku menutup novel itu dan untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku benar-benar bersyukur telah memilihnya sebagai suamiku.
***
Mulanya Attila mengizinkan aku untuk terus bekerja di Top Girl! Tapi suatu peristiwa membuat ia tidak senang dan memintaku untuk berhenti. Kami bertengkar, tentu saja dan aku hampir kabur ke rumah Ibu karena pertengkaran itu tapi aku mengurungkan niatku takut menimbulkan polemik padahal kami pengantin baru.
Maya memang mengatakan akan berkunjung sore itu dengan wajah riang gembira ia membawa selusin donat.
“Mumpung ada promo! Dan sebagai perayaan besar!” katanya untuk kesekian kalinya sejak datang tadi. “Hei, mengapa mukamu asam betul? Bertengkar?” tanyanya terang-terangan.
Attila tidak ada di rumah, tentu saja ia selalu pulang malam meski ia seorang bos.
“Kurang tidur,” kataku bohong, meski Maya dekat sekali denganku dan meski kami sudah menjadi keluarga sekarang ini tapi pantang bagiku untuk menceritakan masalah rumah tangga dengan orang luar, itu keyakinan yang aku pegang teguh, seperti pesan Ibu juga. “Perayaan besar apa ya? Seingat aku tidak ada tanggal merah dekat-dekat ini?”
“Ada deh, rahasia. Tapi aku sedang ketiban durian runtuh jadi aku sangat senang. Ngomong-ngomong bagaimana kalau kita liburan bersama akhir tahun ini?”
“Yang ada di kepalamu hanya jalan-jalan saja rupanya, lebih baik kamu mendirikan travel agency saja biar setali tiga uang deh.” Usulku.
“Memang kamu pikir modalnya sedikit!”
“Tapi kan kamu bisa minta tolong pada Tila soal pendanaan, dia pasti bisa membantumu atau membantu mencari ivestor kek, pinjam uang ke bank atau apalah, aku kurang paham.”