Rumah kami sudah selesai dibangun, saat pindahan Mario masih berada di Jepang dan ia memberikan berita bahwa ia melamar kerja di salah satu perusahan pembuat mainan di sana. Ibu tampak senang-senang saja dengan berita itu tapi ia mengajaku untuk mengunjungi Mario pada musim semi sekalian mau melihat bunga sakura mekar katanya.
Di rumah Ibu aku masih memiliki kamarku sendiri, lengkap dengan perabotannya yang lama. Sebagian baju-baju masa gadisku juga masih ada di dalam lemari pakaian, termasuk juga bingkisan dari Sembara. Setelah sekian lama aku masih tidak punya keberanian untuk membukanya, aku membiarkannya terus tersimpan di dalam lemari hingga waktu yang tidak dapat aku tentukan.
Ibu tetap membangun beranda di bagian belakang rumah, bedanya sekarang beranda itu memiliki pemadangan sebuah kolam renang yang panjang namun ramping. Bila Attila ada keperluan ke luar negeri atau kota untuk keperluan pekerjaan aku selalu menginap di rumah Ibu.
“Mami bilang fruit cake ini untuk Mama, katanya semoga suka.” Kataku sambil meletakan kotak kue itu di atas meja makan.
“Natal kan masih lama kok sudah ada fruit cake segala?”
“Mami kan suka membuat kue Ma, maklum lah dulu sekolah tata boga sampai ke Prancis segala.”
Aku memanggil orangtua Attila dengan panggilan mami dan papi mengikuti Tila dan anak-anaknya yang lain.
“Kalau begitu harus Mama balas nanti, eh maksudnya bukan kue bikinan Mama sendiri pastinya.” Ibu terkekeh, kemampuannya memasak memang sangat minim. “Apa ya Mar? Lapis legit surabaya bagaimana? Kan harganya kira-kira sebanding tuh.”
“Alah Mama ini kok mikiran uang sih.”
“Loh iya, kita kan harus mebalas pemberian orang dengan nilai yang setara dong. Apalagi ini kan mertuamu, mau taruh di mana muka dan harga diri Mama sebagai besan kalau sampai tidak dapat membalas kebaikan dengan kebaikan.”
“Terserah Mama saja.”
Kue itu disajikan setelah makan malam dan rasanya memang benar-benar nikmat.
“Mar bagaimana pernikahanmu? Apa kamu bahagia?”
“Apa Marni tidak terlihat bahagia Ma?”
“Kamu tampak normal-normal saja. Apa Attila memperlakukanmu dengan sangat baik?”
“Baik Ma, Tila sangat baik dengan Marni, bahkan setelah Marni berhenti bekerja rasanya Tila malah semakin memanjakan Marni.” Ucapku sambil memamerkan sepasang anting berlian yang tergantung elok di daun telingaku.
“Baguslah, karena kalau sampai tidak bisa mati dengan tidak tenang Mama nanti.”
Ada banyak hal yang tidak aku ceritakan pada Ibu demi kebaikannya dan demi kebaikan rumah tanggaku sendiri. Misalnya alasan sesungguhnya mengapa aku berhenti bekerja yang aku katakan kepada Ibu karena aku ingin istirahat selama beberapa waktu dan juga pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Mami mengapa sudah hampir setahun menikah aku belum juga mengandung, padahal tentu saja bukannya aku dan Tila tidak berusaha dan tidak berdoa untuk mendapatkan momongan. Tapi anak bukanlah sesuatu yang dengan mudahnya kami dapatkan. Belum ada seekor burung bangau yang bersuka ria menjatuhkan keranjang bayi ke dalam rahimku.
“Kamu lihat tidak spanduk penjualan di depan rumah Yangti yang baru dipasang minggu kemarin itu?”
“Tidak. Marni kan sekarang kalau datang lewat arah yang lain Ma, jadi tidak pernah lagi melewati depan rumah Yangti.”
“Oh ya benar juga, Mama kadang lupa kalau rumahmu sudah tidak di sini lagi. Mama ingatnya kamu sedang berada di kosan.”
“Ah, Mama itu kan sudah lama sekali.”
Aku duduk dengan nyaman di kursi sofa berbalut kain linen yang terasa nyaman di saat udara sedang panas.
“Iya, ya sudah lama sekali. Oh, ya rumah Yangti itu mau dijual sekarang, hasil penjualannya akan dibagikan ke saudara-saudara Yangkung yang masih hidup karena bundanya Ana menolak uang tersebut.”
“Loh, kok begitu?”
Ibu mengangkat bahu, “Permasalahan keluarga Mama rasa.”
“Lantas Ana ada di mana sekarang ini?” aku tak kuasa menahan rasa penasaran dan antusias dalam benakku.
“Setahu Mama dari pembicaraan dengan saudara Yangkung yang diberi tanggung jawab untuk menjual rumah itu, orangtua Ana tidak mau mengakuinya lagi sebagai anak bahkan bapaknya memuat pengumaman di koran entah tanggal berapa terbitnya yang jelas sudah lumayan lama. Lantas di mana Ana kini berada tidak ada saudaranya pun yang tahu.”
Ibu mengamati diriku dengan seksama ketika menceritakan pengetahuannya itu padaku. Aku merasa sedih dan bersimpati kepada Ana, entah kehidupan seperti apa yang dijalaninya kini dan apakah ia sungguh bahagia dengan Fani? Aku tidak tahu, aku hanya berharap pilihannya tidaklah keliru.
Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan berita mengenai Ana tapi meskipun aku berusaha berita itu terus menghantui aku dan menambah penyesalanku setiap harinya, setiap jam, menit dan detik. Aku ingin tahu kabarnya, keberadaanya dan kondisinya tapi aku tidak tahu di mana harus mencarinya dan tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Aku hanya dapat mendokan semoga Tuhan dan para malaikat tetap bersamanya dan melindunginya di waktu paling berat sekalipun. Aku berharap dan terus berharap bahwa kelak suatu saat nanti di waktu yang mungkin masih begitu jauh ada kesempatan bagi kami untuk berjumpa lagi.
Attila tidak pernah mengenal Ana secara pribadi, ia memang terkadang mendengar nama itu aku sebut dengan Maya (yang sangat jarang) maka bukan tidak mungkin menurutnya Ana hanyalah seorang teman biasa bagiku dan ketika ada hari-hari di mana aku melamunkan Ana ia menegurku seakan-akan yang hilang itu hanya hal remeh dalam masa laluku. Tapi itu bukan salahnya, salahku yang tidak memberitahunya.
“Minggu depan ibuku mengundang kita untuk menginap di rumahnya.” Ujar Tila dengan membuka satu persatu kancing kemejanya. “Sekalian nanti ada acara makan-makan biasa untuk menyambut kepulangan anak kakakku.”
Aku mendesah dalam hati dan menarik kaos rumah Tila dari dalam lemari pakaian, tidak sulit mencari pakaian atau menjadwalkan pakain kerja untuknya karena semua bajunya hanya di domininasi warna-warna dasar yang suram dan paling terang hanya warna putih. Begitu pula perabotan di rumah kami tidak berbeda dengan gaya perabotan di apartemennya dulu, minimalis dan minim warna.
Medadak aku sudah merasa lelah harus berhadapan dengan keluarga besar Attila bahkan hanya dengan membayangkan acara yang akan mereka adakan saja. Setiap tahun kayak iparnya selalu memiliki seorang anak baru. Aku tahu mereka bukan keluarga yang kekurangan tapi aku heran meski ada bantuan baby sitter apakah mereka tidak lelah memiliki anak-anak sebanyak itu? Tiga orang anak dan masih keci-kecil semua, tapi aku menelan bulat-bulat pertanyaan itu sebab tahu diri bahwa sebagain besar juga dibumbui oleh perasaan iri terhadap mereka.
“Apa Maya akan hadir juga?”
Tila melepas kacamatanya, ia tampak jauh lebih tampan tanpa kacamata. Kedua buah matanya tampak lebih sayu memang, akan tetapi itu juga yang membuat tatapannya jauh lebih lembut dan bila dilihat dari jarak yang sangat dekat kedua bola mata itu tidaklah berwarna hitam pekat melainkan coklat yang cenderung terang.
“Dia belum memberitahumu ya?”