Hari-hariku sebagai ibu rumah tangga purnawaktu sering kali sangat menjemukan, sehari-hari aku kebanyakan berdiam diri di rumah, membaca, menyuruh pembantuku memasak ini dan itu. Mendengar musik di iPod pemberian ibu atau memutar CD di stereo, berselencar di internet, sesekali chatting dengan Mario dan sering kali dengan Sasa yang juga menjadi ibu rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang amat sehat dan aktif.
Meski menetap di negeri Jiran tapi ia sangat aktif mengikuti gosip terkini dari tanah air malah lebih hebat lagi pengetahuannya dibandingkan aku. Lewat Sasa aku jadi tahu bahwa Sani sudah hamil empat bulan saat pengumuman pernikahan itu dibuat dan bahwa seungguhnya Sani merupakan selingkuhan Priya karena secara resmi Priya memang menjalin hubungan putus-nyambung dengan seorang pemain film yang juga tidak kalah beken malah sudah lebih lama berkecimpung di dunia hiburan dibandingkan berdirinya band besutan Priya. Beberapa bulan sebelum kehamilan itu terjadi menurut Sasa, sang bintang film pernah melabrak Sani saat sedang dugem. Aku sendiri tidak terlalu tekejut mendengar gosip itu.
Maya terkadang mengajakku pergi ke mal, ke pameran, ke acara-acara dia bersama teman-temannya yang lain. Satu kali ia pernah mengajakku untuk menemaninya pergi ke Merak.
“Aku tidak bisa besok, aku harus menjamu orang di rumah, rekanan bisnis Tila, sudah pasti aku harus berbenah rumah sejak pagi. Memang kenapa sih kamu mau ke Merak?”
“Kamu ingat sepupuku yang lainnya yang pernah aku ceritakan padamu dulu sekali itu?” Jawab Maya melalui sambungan telepon. “Yang punya pacar dokter dan ex-nya hilang saat huru hara sembilan delapan.”
“Lupa-lupa ingat, kenapa memang?”
“Dia meninggal! Pesawat yang ditumpanginya jatuh di Laut Cina Selatan saat menuju ke Jepang, beberapa hari yang lalu. Gila bukan?”
“Aku turut berduka May.”
“Ini membuat aku semakin takut naik pesawat Mar, pertama kedua orangtuaku kini sepupuku…” Ia terdengar sangat ngeri. “Pacarnya itu, aku dengar sekarang depresi. Memang kita baru benar mengetahui nilai seseorang bila orang itu sudah tiada. Dan besok keluarga sepupuku alias keluarga besar dari pihak ayahku juga akan mengadakan acara simbolik pelepasan Edward di laut. Makanya aku tanya besok kamu lowong atau enggak.”
Andaikan aku tidak benar-benar ada acara dan tentunya acara itu tidak bersinggungan dengan kepentingan Tila dan keberlangsungan usahanya pasti dengan mudahnya aku akan mengganti jadwal acaraku.
Tila juga sesekali mengajakku pergi makan malam di luar (setelah menikah Attila tidak pernah pergi ke dapur dan menyentuh peralatan memasak) atau datang ke acara makan malam bisnis dengan koleganya, menghadari pesta ini-itu dan tentunya Ibu tidak melupakan aku, bila aku sudah lama tidak datang ke rumah biasanya Ibu yang mengunjungiku (ia tidak pernah menginap di rumah aku dan Tila) sekedar untuk bersantap makan malam atau bahkan dia yang mengajak kami untuk makan siang di luar rumah bersama saat akhir pekan.
Tentu saja keluarga Tila juga sering mengadakan acara kumpul keluarga dan termasuk kami pun diharapkan kehadirannya jika tidak maka pertemuan selanjutnya akan menjadi lebih berat bagi kami khususnya buatku, karena selain pertanyaan seputar kehamilan juga kami akan didesak untuk jangan sampai mangkir lagi di acara keluarga selanjutnya dan itu sangat membut diriku merasa tertekan selain kesepian dan frustrasi.
Ada banyak waktu di mana yang ada hanyalah aku dan diriku saja. Pembantu kami di rumah masih kelewat muda, usianya masih remaja dan begitu selesai mengerjakan tugasnya ia pun selalu sibuk dengan pacarnya yang tidak lain tidak bukan adalah sopir kami. Praktis aku lebih sering berbincang dengan diriku sendiri dan seringkali itu justru malah menyiksa. Karena aku baru menyadari bahwa aku adalah pengkritik paling handal sekaligus paling kejam terhadap diriku sendiri.
Kadang semalam suntuk aku bergulat dengan pikiranku sendiri sementara Tila sudah jauh terlelap dalam istirahat dan dengkurannya yang halus, malam-malam seperti itu benar-benar menyiksa rasanya, aku sering mempertanyakan benarkah keputusanku untuk menikahinya atau seberapa dalam cintanya padaku yang sesungguhnya atau malah sebaliknya, seberapa besarnya cinta di dalam dadaku untuk dirinya, bila aku harus memberikan sebelah ginjalku padanya, maukah aku? Aku merasa saat itu bahwa tidak bisa dan jawaban yang aku berikan dari pertanyaan kepada diriku sendiri itu justru membuat aku stres dan semakin sulit untuk tidur. Aku merasa belum manjadi istri yang baik, jika aku belum menjadi istri yang cukup baik bagaimana mungkin kami akan dikaruniai seorang anak sedangkan tugas menjadi ibu lebih berat dari pada menjadi seorang istri.
Aku pernah mendengar bahwa suami adalah anak pertama dari seorang perempuan, kalau begitu aku saja belum mampu mencintai anak pertamaku dengan sepenuh hati bagaimana mungkin Sang Raja Dunia mau memberikan aku anak kedua jangan lagi anak ketiga dan seterusnya. O, betapa aku ingin menghukum diriku sendiri bila pikiran itu kembali datang menyerbuku.
Karena tidak tidur semalaman aku bangun dengan loyo dengan lingkaran hitam yang menampakan dirinya dengan semakin tegas di sekitar kedua mataku seiring dengan usiaku yang terus saja menupuk. Attila selalu bangun tepat jam enam pagi, tapi hari itu ia bangun lebih pagi lagi dan ia sudah tidak terlalu kaget dengan adanya malam-malam di mana aku tidak bisa tidur.
“Kenapa tidak minum obat tidur?” itu pertanyaan yang dilontarkannya pertama kali saat matanya sudah terbuka penuh.
“Takut kebiasaan.”
Ia mengecup pipiku dan bergegas ke kamar mandi. Aku bangun dengan pikiran kusut dan kaki yang rasanya tidak benar-benar menjejak bumi. Tila keluar dari kamar mandi dan meregangkan tubuhnya.
“Sepertinya aku tidak bisa sarapan di rumah.”
“Kenapa? Kok tumben?”
“Aku lupa bilang semalam, kalau hari ini aku ada meeting dengan calon investor dari Semarang. Soal rencana coffe shop bergaya futuristik itu, ingat? Aku sudah pernah cerita bukan?”
Tila memang selalu membagikan rencana dan perkembangan bisninya denganku dan karena itu aku juga merasa ia masih menghargai diriku meskipun saat itu aku hanya seorang IRT dan pangangguran.
“Iya ingat, meeting di mana? Jam berapa?”
“Orangnya menginap di JW Marriott.”
Aku tidak ambil pusing, memang begitu kegiatan Tila selama ini dan tidak ada prasangka apa pun. Aku ambilkan kemejanya dan memastikan bahwa pakaian yang akan dipakainya nanti benar-benar sudah halus rapi dan tidak lupa aku membuatkan kopi dan susu juga roti isi keju kesukaanya meski aku tahu ia sudah memiliki janji breakfast meeting.
Tila keluar rumah jam tujuh dan aku segera mandi setelah ia pergi, yang aku tidak ketahui bahwa ia sempat kembali ke rumah untuk mengambil map yang lupa ia bawa dan ia tinggalkan di ruang kerjanya. Mataku berat setelah mandi dan tertidur dengan menyalakan televisi, aneh kadang mendengar suara riuh malah bisa meninabobokan kita. Sekitar jam sembilan aku terbangun dengan breaking news yang menyorot wajah tegang sang pembawa berita. Aku perlu memakai kacamata untuk melihat tajuk berita di layar. Terjadi Ledakan di JW Marriott15.
Aku ingat beberapa tahun sebelumnya hotel itu juga pernah menjadi lokasi peledakan bom bunuh diri dan menewaskan dua belas orang sedangkan ratusan lainnya menderita luka-luka baik serius ataupun ringan, tapi kini beda ceritanya karena suamiku sedang berada di sana! Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel yang berada di atas nakas dan menguhubungi ponsel Attila dan langsung disambut dengan pesan bahwa nomor tersebut berada di luar jangkauan. Kepalaku pusing dan keringat dingin langsung membanjiri tubuhku. Dengan kepanikan yang melanda aku berusaha menghubungi Maya yang langsung menyambutku dan ia sedang berada di kantor, ia membisu tanpa suara sebelum ketakutan merambat melalui suaranya, ia juga terdengar histeris dan malah lebih sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri. Aku merasa begitu kedinginan dan juga ketakutan, tidak mungkin Tila menjadi korban, tidak mungkin ia meninggalkan aku dengan cara begini.
Aku terus berusaha menghubungi Tila. Aku hampir gila dan bahkan aku tidak peduli dengan telepon dari keluarga Tila yang silih berganti menghubungiku, justru aku menelepon Ibu yang sedang berangkat ke kantor.
“Mama,” ucapku di tengah-tegah isakan dan derasanya air mata. “Aku harus bagaimana Mama?”
Ibu datang tidak lama kemudian, ia langsung memelukku dan berusaha menengakan diriku. Menjelang jam sepuluh ada telepon masuk ke ponsel, aku sudah tidak memiliki tenaga dan aku terduduk lemas di atas sofa terus menyaksikan perkembangan berita di televisi dan menelaah wajah-wajah yang disorot kamera, adakah Tila di antara mereka? Apakah aku harus bergegas menuju ke rumah sakit? Tapi rumah sakit yang mana? Aku menutup wajahku dengan bantal dan menangis dengan kencang.
Ibu menggapai ponsel yang terus saja berdering dan bergetar di atas meja. Matanya melebar dan cepat ia menekan tombol untuk menerimanya.
“Tila! Ya ampun Nak, kamu di mana? Kamu tidak apa-apa?”
Aku melempar bantal sofa yang aku peluk dan lekas berdiri, aku harap aku tidak salah dengar sebab perasaan kehilangan itu sudah nyata sekali aku rasakan.
“Syukurlah Tuhan kamu baik-baik saja,” ibu memegang jantungnya sendiri. “Ada-ada, Marni khwatir sekali, sejak tadi ia menangis. Kami kira….” Ibu tidak sempat menlanjutkan kalimatnya dan langsung mengoper ponsel itu padaku, air matanya sendiri pun meluncur turun.
“Sayangku!” ucapku dengan mengharu biru.
Tila menjelasakan betapa beruntungnya dia karena kelupaan membawa map yang tertinggal di ruang kerja karena bila tidak pastilah ia pun turut menjadi korban dan alasan mengapa aku sulit menghubunginya adalah karena memang ia sudah berada di kawasan Kuningan saat bom itu meledak, lalu lintas jalanan begitu macet begitu juga lalu lintas sinyal telepon. Aku segera menghubungi Maya yang sedang berada dalam perjalanan menuju rumahku dan baru saat itu aku menghubungi keluarga besar Attila.