Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #25

Perpisahan

Di luar prediksi dokter apalagi kami semua, kesehatan Ibu setelah memberitahu kami anak-anaknya malah menurun dengan cepat. Tubuhnya semakin lemah dan lemas, ada hari-hari di mana ia hanya dapat terbaring di tempat tidur dan mengeluhkan perutnya yang sakit meski hanya disentuh saja dan napsu makannya menurun drastis malah sering kali ia muntah-muntah, dan saat ia pergi ke toilet darah yang ikut serta dengan tinjannya tidak lagi berwana segar melainkan kehitaman.

Ibu meninggal tiga hari sebelum ia sempat menjalani operasi dan sehari sebelum Mario tiba di Jakarta. Semua orang sangat terkejut dengan betapa cepat menurunya kesehatan Ibu dan semua orang sangat bersedih atas kepergiannya yang menurut banyak orang mendadak. Aku yang menemani Ibu di hari-hari terakhirnya bisa melihat menit demi menit kepergian Ibu dan tanda-tanda yang ia tunjukan setiap harinya. 

“Marni, Marni…,” panggil Ibu saat aku baru memalingkan tubuhku sehabis membantu perawat mengelap kulitnya. “Marni, Papa datang, siapkan pakaian Mama Mar, panggil juga Rio, Marni, Marni…”

Atau di lain waktu di mana Ibu sudah setengah tertidur tiba-tiba saja ia membelai kepalaku dengan tenaganya yang hanya tersisa sedikit. 

“Kalau Mama sudah tidak ada jangan sedih, ini hanya perpisahan sementara.”

Tentu aku langsung menangis tapi sebisa mungkin tidak bersuara. Tila yang ikut berjaga dan tidur di sofa pun ikut terbangun dan duduk dengan pandangan mata terenyuh. 

Ada sebuah gaun putih di mana menurutku gaun paling cantik yang dimiliki Ibu begitu juga saat ia memakainya, Ibu cantik sekali, bobotnya yang berkurang banyak menyebabkan gaun itu jadi longgar ketika dipakaikan ke jenazahnya. Jemari tangannya dibungkus sarung tangan yang ia kenakan saat pesta pernikahannya dengan Ayah dulu. Peti belum ditutup saat Mario akhirnya datang. Sulit bagiku untuk beranjak dari sisi peti bahkan aku sudah tidak ingat siapa saja tamu dan handai tolan yang datang. Maya dan Tila bergantian menjagaku, mereka takut kalau aku sampai roboh tapi hebatnya aku tidak pingsan sedikitpun sampai peti itu dekebumikan meski aku sendiri harus menerima suatu pengakuan dan fakta yang akan membuat hidupku berubah selama-lamanya. 

Mario datang saat hari sudah malam, ia dijemput di bandara oleh sopir kami dan langsung menuju St. Carolus. Aku ingat saat itu ia mengenakan jeket hitam, kaos hitam dan celana jins biru dongker, ia langsung menuju ke tempat aku dan Ibu berada. 

Meski Ibu sangat kesakitan yang kelihatannya tidak tertahan sehingga dokter harus menaikkan dosis pain killer di hari-hari terakhir namun Ibu meninggal dalam tidurnya, ia pergi begitu saja malah dengan sedikit senyuman yang menyungging di bibirnya yang pucat pasi. 

“Mama.” Ucap Mario menggenggam jemari tangan Ibu kami yang diletakan di atas perutnya. “Rio datang Mama, Mama…”

Tanganku menggapai tengkuk Mario dan menarik kepalanya. Kami berpelukan dan menangis seperti saat kami masih bocah dulu. Mario menangis kali itu tidak seperti pada saat kematian Ayah kami. 

“Maaf aku terlambat.”

Aku menggeleng namun tidak menjawab apa-apa, sibuk menumpahkan air mata perpisahan yang entah sampai kapan keringnya. 

Maya membawa sekotak tisu untuk kami, ia bahkan turut menyeka wajahku dengan amat lembut seolah-olah takut akan membuat kulit wajahku terluka. Aku bergeser dan pergi ke kursi yang agak jauh untuk memberi kesempatan bagi Mario untuk mencurahan perasaan dan pesan-pesan terakhirnya kepada Ibu, suatu kemewahan yang aku dapatkan sebelumnya. 

Dari tempatku duduk aku bersandar pada bahu Maya karena Tila saat itu sibuk menyalami rekan dan kolega Ibu. Aku bisa melihat Mario menangis dan berbicara dan menangis lagi, ia tidak seperti biasanya, kali itu ia menunjukan sisi lemah pada dirinya, sisi yang aku dan Ibuku pikir tidak ia miliki setelah kematian Ayah. Mario membelai pipi Ibu, mengajaknya bicara, menunduk, lalu bahunya kejang karena menangis lagi. Aku pun turut menangis lagi dan Maya dengan sabar menemaniku. 

Saat jumlah tamu yang datang mulai berkurang, Mario juga sudah selesai menumpahkan penyesalan dan perpisahanya pada Ibu. Saat itu Maya sedang memohon padaku agar aku mau meminum seteguk saja air gula, ia sepertinya takut aku pingsan karena aku memang belum makan apa-apa dari pagi. Aku bisa melihat Tila berjalan menuju Mario dan mengajaknya bicara dengan serius, yang membuatku bereaksi adalah wajah terperangah Tila dan ekspresi geram pada wajah kakakku. Aku tahu bahwa ada yang tidak beres, meski lemas aku memaksa untuk menghampiri mereka. 

“Ada apa?” Maya tetap di sampingku malah memegangi lenganku menjaga agar aku tidak ambruk.

“Aku menolak Mama dimakamkan satu liang dengan Papa.” 

Lihat selengkapnya