Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #26

Tawarnya Rasa

Hampir setelah dua tahun kematian Ibu aku baru berusaha untuk kembali menjadi orang yang normal, akhirnya aku sadar bahwa Ibu pernah mengalami hal yang lebih berat dari pada diriku dan ia bisa bangkit kembali. Ibu memiliki dua orang anak sementara aku tidak, akan tetapi aku masih memiliki Attila dan juga Maya yang sangat peduli padaku.

Aku mulai menata diriku kembali. Berat badanku susut banyak, semua baju-bajuku longgar, meski tidak berselera tapi aku memaksa diriku untuk makan dengan baik dan mulai belajar tersenyum dengan tulus lagi. Maya tampak sangat gembira dengan kembalinya diriku atau perkembangan diriku kalau menurutnya. 

“Ooh aku senang sekali kamu kembali Marni! Ooh…, betapa aku mencintaimu!” Maya mengecup pipiku kanan-kiri saat aku turun dari tangga. 

Kala itu ia sudah resign dari pekerjaannya di Top Girl! dan memiliki bisnis kecil-kecilan berupa tempat meni-pedi di sebuah ruko yang cukup ramai pengunjung, selain itu novelnya yang lainnya juga sedang dalam proses untuk menjadi serial televisi jadi ia lumayan sibuk. 

“Maaf Maya selama ini aku sudah membuatmu muak dengan terus diam seperti patung.”

“Aku sama sekali tidak marah padamu, aku tahu betapa menyakitkannya menjadi anak yatim piatu. Mereka yang belum merasakan memang tidak akan tahu bagaimana rasanya tapi aku paham, aku paham dukamu Mar.” 

“Aku sangat beruntung karena memilikimu dan Tila.”

Maya tersenyum dan membimbingku pergi ke meja makan. Rupanya ia membawakan makanan untukku. 

“Percaya atau tidak ini semua Lorenzo yang memasaknya.”

“Apa? Dia memasak untuk seseorang yang tidak dikenalnya? Apakah ia jelmaan malaikat?”

Maya tertawa, “Senang selera humormu telah kembali!”

Garlic bread, lasagna dan salad balsamic, sudah dihidangkan di piring saji oleh pembantu. 

“Mumpung dia ada di sini aku harus memanfaatkannya untuk makan masakan asli Itali tiap hari dan tentu saja aku tidak bisa melupakan dirimu yang kekurang gizi begini. Ayo makanlah, aku jamin delizioso.” Kedua jempol Maya mengacung ke udara. 

“Mengapa tidak kamu undang Lorenzo-mu itu untuk datang ke sini? Kita makan bersama. Sekarang aku sedang tidak ada makanan enak di rumah, bilanglah padanya agar lusa datang ke mari akan aku hidangkan makanan dari Sabang sampai Merauke khusus buatnya.”

“Kamu merestui kami?” bintang-bintang berkelap-kelip di kedua buah mata Maya, ia langsung tampak girang. 

“Oh, itu tugas Tila, tugasku hanya menjamu dan mengenalnya saja. Nanti aku akan bilang pada Tila supaya chef di restorannya itu menyediakan makanan yang layak dan enak untuk Lorenzo supaya ia makin terkesan padamu. Biar bagaimanapun keluarga merupakan hal yang penting.” Mendadak aku diam dan sadar akan omonganku sendiri yang terdengar seperti omong kosong. 

Maya tahu mengenai pertengkaranku dengan Mario meski tidak tahu pasti apa duduk perkaranya, ia juga lekas sadar atas ucapanku yang justru juga melukai diriku sendiri. 

“Ayo makan, sebelum dingin lagi.” Maya buru-buru meyela diriku sebelum kembali jatuh ke dalam lamunan kelam.

Aku makan sampai perutku sakit sangking kenyangnya. Lorenzo-nya ternyata sangat pandai memasak. 

“Bila ia pensiun dari dunia perfileman, aku rasa dia bisa membuka restorannya sendiri.”

“Memang begitu rencananya,” perlahan-lahan wajah Maya bersemu kemerahan. “Aku dan dia berencana untuk pindah ke kota asalnya dan mendirikan restoran. Restoran Italia dan Indonesia bersebelahan.”

“Aku serius Maya, ini bukan alur dari novel yang sedang kamu kerjakan bukan? Apa judulnya…, aku ingat yang kamu katakan dulu itu, Moment of Life, ya kan?”

Well, itu baru rencana kasar kami saja. Lorenzo sudah setengah tahun ini ada di Singapura untuk keperluan syuting film tentunya, tapi maka dari itu ia bisa pulang-pergi ke ke Jakarta setiap akhir pekan tapi akhir tahun nanti ia harus kembali ke Amerika. Aku suka dengan ide tinggal di Eropa tapi tidak dengan di Amerika dan rupanya Lorenzo pun ingin kembali mengenali tanah leluhurnya dan selebihnya aku masih belum tahu.”

“Tapi itu artinya kalian sudah benar-benar berada di tahap yang serius! Apa dia mengajakmu untuk tinggal bersama?”

Aku tidak mengucap kata pernikahan karena aku tahu itu masih merupakan topik yang sensitif bagi Maya. 

“Aku bukan malaikat apalagi perawan suci apalagi Lorenzo, kamu tahulah apa maksudku. Aku tidak keberatan tinggal begitu saja dengannya di manapun tapi aku tahu itu akan membuat Tila dan keluarganya mungkin saja kali ini akan benar-benar membuangku dan aku rasa aku tidak sanggup bila harus dicampakan oleh mereka.”

Aku tersenyum singkat, “Kalian akan menemukan jalan dan kali ini kamu akan bahagia Maya. aku yakin sekali.’

“Kenapa menurutmu begitu?”

Aku mengangkat kedua bahuku, “Feeling saja!”

Lihat selengkapnya