Aku ingat sekali kejadiannya itu berlangsung setelah fenomena gerhana matahari total16 yang melintasi sebelas provinsi di Indonesia dan semua orang sangat antusias dengan peristiwa yang tidak sering terjadi itu. Teras Belakang bahkan menyewa teropong dan mengadakan acara interaktif untuk pengunjung yang datang. Aku juga melihat fenomena itu dari dalam rumah karena takut mataku rusak bila menatap langsung ke arah sang baskara.
Aku masih memiliki iPod yang diberikan Ibu, hingga kini pun benda itu menjadi salah satu benda yang paling aku sayangi. Aku sedang mendengarkan Bach saat telepon rumahku berdering nyaring. Aku tidak bergerak dari kursi karena mamang biasanya pembantu yang mengangkat.
“Bu, ada yang cari Bapak. Saya bilang Bapak di kantornya tapi malah bilang kalau begitu mau bicara sama Ibu.”
Aku melepas earphones dan menerima telepon tanpa perasaan apa pun. “Siapa namanya Bi?”
Pembantuku menggeleng kuat-kuat, aku meletakan gagang telepon portabel itu ke daun telinga dan menyapa dengan seramah mungkin.
“Dengan saya sendiri di sini, maaf ini siapa ya?”
“Ah! Ternyata begini ya suaramu.” Suaranya terdengar serak-serak basah.
Bukan suatu cara paling normal apalagi ramah untuk berbicara dengan seseorang.
“Ini siapa?”
“Kamu tidak perlu tahu aku siapa namun aku tahu persis siapa dirimu. Kalau kamu mau tahu aku maka kamu bisa bertanya langsung pada suamimu. Tanyakan saja siapa caddy yang paling disenanginya.” Suara wanita itu terdengar begitu yakin dan percaya diri.
Sambungan telepon diputus dari seberang. Attila memang terkadang bermain golf dengan koleganya tapi aku tahu sebenarnya itu bukan olahraga yang paling digemarinya, dulu ia pernah mengatakan untuk sekedar penunjang bisnis, maka dari itu ia jarang pergi ke lapangan golf.
Attila pulang jauh lebih cepat dari hari sebelumnya, ia makan malam di rumah dengan sikap dan pembawaanya yang selalu tenang.
“Tadi ada yang telepon ke rumah,” kataku membuka percakapan. Jantungku sendiri tidak tenang. “Dia mencarimu, aku tanya siapa namanya tapi ia hanya menjawab bahwa aku harus bertanya padamu, siapa caddy yang paling kamu senangi.”
Attila mengangkat wajahnya dari atas piring, “Orang iseng.”
“Tapi perasaanku tidak berkata begitu.” Kedua tangan Attila masih memegang sendok dan garpu namun mulutnya sudah berhenti mengunyah. “Apakah kamu masih mencintai aku Tila?”
Attila mengangguk tapi tidak segera, “Hmm.”
“Jangan ucapkan cinta kalau kamu tidak sungguh-sungguh merasakannya.”
“Aku sedang makan malam Marni.”
“Aku butuh penjelasan dan kepastian.”
“Kamu konyol mempermasalahkan telepon iseng.”
“Ke mana dulu kamu pergi kalau pulang malam?”
Attila meletakan sendok dan garpu ke atas piring dan mendekap tangan di dada, wajahnya terlihat mulai kesal.
“Kamu kira selama ini aku leha-leha?”
“Oh, aku yakin kamu bukan tipe pria yang seperti itu, aku sangat mengapresiasi kerja kerasmu tapi setelah itu ke mana kamu pergi? Dengan siapa kamu makan malam dan menghabiskan malammu sebelum pulang ke rumah? Ke aku.”
“Omong kosong apa ini?”
“Aku mencintaimu.”
Aku berharap ia mengucakan kata yang sama denganku, tidak perlu dengan segenap hatinya cukup menggunakan setengah perasaanya saja agar membuat diriku sedikit tenang dan lega dalam menghalau prasangka-prasangka yang semakin liar berkembang di benakku tapi ia justru bangkit dan berjalan menuju meja bar yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari meja makan.
“Mungkin kamu terlalu stres, butuh liburan. Kamu bisa mengunjungi Maya kalau mau. Dia juga pasti akan merasa senang.”
“Bersamamu?”
“Aku sibuk, tidak akan sempat.”
“Bahkan saat perayaan sepuluh tahun pernikahan kita nanti?
Attila mengemati gelas whisky yang berada di tangannya, ia menuang sedikit dari botol dan menegak cepat-cepat.
“Itu urusan nanti.”
“Aku tahu kamu orang dengan perencanaan yang detail Tila. Ingat kita hidup bersama bukan hanya sejak kemarin sore saja.” Ucapku dengan gusar.
Attila meletakan botol whisky kembali ke tempatnya dan menarik kursi makan di sampingku.
“Tataplah mataku, apa aku tampak sedang berbohong?”
“Soal yang mana?” secara tidak sadar tubuhku menjauhi tubuhnya.
“Kamu mulai tidak yakin padaku?”
Aku membuang wajahku setelah mata kami bertubrukan, ia tampak jujur tapi waktu itu aku lupa bahwa ia seorang pembisnis dan pembisnis terlatih untuk dapat berkata jujur sekaligus berbohong dalam satu waktu bersamaan.
“Kamu juga tidak menjawab petanyaanku. Masihkah kamu mencintaiku?”
“Aku sudah mejawabnya tadi? Tidakkah itu cukup? Ya, masih. Cukup? Kalau sudah, aku tidak mau kamu membahas omong kosong lagi.”
Kalau aku ingat lagi sekarang, cara bicaranya padaku saat itu sudah bukan seperti cara bicara seorang suami yang mencintai istrinya tapi lebih seperti seorang atasan kepada bawahannya.
Aku mencoba untuk melupakan semua hal yang meresahakan hatiku, tapi semua hal yang meresahkan seperti ditarik oleh magnet gaib untuk terus menempel dan dekat-dekat denganku. Siang itu mobil Sasa mogok sedangkan anaknya harus segera dijemput, aku menawarkan tumpangan kepada mereka. Anak Sasa sungguh manis dan sopan, jika aku memiliki seorang anak aku ingin yang manis seperti dirinya. Tapi tampaknya itu hanya impian mahal yang tidak mungkin pernah bisa aku tebus. Aku sebetulnya juga tidak keberatan andai kata Attila menginginkan anak angkat, tapi tidak, dia juga tidak menginginkan anak yang bukan darah dagingnya sendiri, sampai kiamat sekalipun dia tidak akan pernah dapat menjangkau keinginannya yang itu.
Jarang-jarang mobil Attila terparkir di halaman rumah pada waktu siang hari dan di hari kerja malah, bukan suatu hal yang wajar. Pembantuku mengatakan, bapak pulang dari sebelum jam makan siang tadi dan langsung masuk ke kamar kerja dan belum keluar bahkan sampai sudah lewat jam empat. Aku mengetuk pintu kamar kerja dan tidak mendengar jawaban maka aku terpaksa membukanya dan ternyata tidak dikunci, Tila sedang telungkup di depan laptopnya. Aku mau menegurnya namun saat kulit kami bergesekan tubuhnya ternyata demam tinggi. Aku membangunkannya dan mengajaknya pergi ke dokter namun ia menolak dan ingin tidur saja. Aku merawatnya dengan telaten, mengganti kompresnya setiap beberapa menit sekali, menyuapinya dengan bubur encer, memberikannya obat dan memijat-mijat tangannya sampai ia tertidur.