Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #28

Asmara

Pembatalan pernikahan membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar apalagi dikatakan mudah. Mulanya Attila bersikukuh tidak mau melepaskanku tapi satu bulan kemudian ia setuju untuk berpisah denganku. Aku tidak menuntut apa-apa darinya, aku hanya ingin lepas dari dirinya, itu saja. 

Maya terpukul dengan perpisahan kami dan dari cara ia mengungkapkan kesedihannya aku dapat menduga bahwa sedikitnya ia juga menyalahkan dirku, tapi aku tidak membela diriku. Aku tidak ingin terjadi keributan apa pun. Mertuaku sendiri tampaknya tidak keberatan aku berpisah dengan anak mereka dan aku pun tidak peduli mengenai tanggapan serta cibiran apa yang mereka lontarkan kepadaku atau kepada anak kandung mereka sendiri yang sudah pasti tidak akan terdengar lagi di telingaku. Aku hampir jarang keluar rumah dan sepertinya Mario juga tidak keberatan tapi ia juga tampak menderita setiap kali melihat aku mendesah pilu hampir di setiap waktu. 

Saat itu anehnya sebanyak apa pun aku makan es krim berat badanku seakan tidak mau bertambah, selama apa pun aku menonton televisi dan tidak bergerak sedikit pun lemak tidak menumpuk di pinggang ataupun di perutku. Satu kali aku menonton film Richard Gere dan Diane Lane yang diadopsi dari novel Nicholas Sparks18 yang sedang ditayangkan di kanal khusus film. Aku langsung bisa mengingat sekaligus membayangkan wajah Ibu yang begitu bangga saat menceritakan suatu pengalamannya yang berharga yaitu dapat melihat wajah tampan dan karismatik Mr. Gere secara langsung. 

Tubuhku semakin kurus dan kurus dan pucat seperti mayat, rambutku rontok parah, aku hanya dapat memejamkan mataku tiga malam sekali dan aku masih cukup jauh dari usia menopose tapi menstruasiku berhenti keluar selama empat bulan. Dalam lubuk hatiku yang terdalam aku menyimpan banyak penyesalan dan ketakutan, aku tahu itu, hanya saja aku tidak mampu mengungkapkannya pada siapa pun. Kadang bila melihat ke bawah, ke arah telapak kakiku, aku seperti bisa melihat dan merasakan arus air yang datang dan mengalir di sekitarku, dalam perasaanku seperti ada jurang air terjun yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja di depanku.

Aku mematikan ponselku dan menutup diriku dari dunia luar. Semakin dalam aku menjebak diriku sendiri, semakin aku terperangkap dan sulit untuk mencari jalan keluar dari perangkap itu. Jaring perangkap itu semakin kuat menjeratku. 

Pada suatu malam saat waktu sudah menujukkan lewat tengah malam dan aku masih memandang layar televisi dengan pandangan mata kosong, tiba-tiba saja ia muncul kembali. Wajah itu sudah jauh lebih tua, lebih bergelambir, rambutnya sudah lebih tipis tapi kedua kelereng hitam itu masih sama persis dengan dulu. Dia Sembara, dia sedang berbicara di dalam layar televisi! 

Jempolku membesarkan volume suara meski baik suara ataupun kata-kata yang diucapkan olehnya tidak benar-benar masuk ke dalam gendang telingaku karena pikiranku terlampau sibuk memerhatikan wajah yang dulu sering aku impikan itu. Ia tampak sehat dan senang dengan hidupnya, terlihat dari caranya tertawa yang penuh dengan rasa pecaya diri. Tidakkah ia memiliki penyesalan seperti diriku? Atau dia hanya terlalu pandai menutupinya? Waktu selalu dapat merubah sesorang, apalagi kalau orang itu sudah lama sekali tidak kita jumpai. 

Aku tidak pernah pandai bermain sosial media jadi aku tidak begitu mengikuti perkembangan hidup orang lain selain mereka yang memang berhubungan intens denganku dan kini aku baru tahu bahwa Sembara menjadi salah satu anggota parpol terbesar di Indonesia. Mungkin karena pengetahuan baru mengenai kehidupannya sekarang aku merasa wajahnya tampak sedikit pongah, satu hal yang aku syukuri saat menjadi istri Attila adalah bahwa ia tidak pernah tertarik pada politik. Kain putih sekalipun bisa berubah menjadi abu-abu bila diberikan kepada para politikus. 

Tayangan yang sedang aku tonton itu merupakan tanyangan relai. Si pembawa cara dan Sembara sedang membahas mengenai alasannya sebagai seseorang yang sudah sukses menjadi pengusaha batu bara dan sawit di Kalimantan namun kini mau turun dan bekercimpung ke dalam dunia politik dengan menjadi anggota perwakilan daerah dan kini ia sedang menggelakan program perpustakaan keliling di wilayah tersebut. 

Sembara tampak sangat menguasai topik pembicaraan, agak arogan malah dan terlalu percaya diri. Saat jeda iklan aku memperhatikan diriku sendiri, betapa lusuhnya baju yang aku pakai sedari kemarin dan batapa kecilnya pergelangan tanganku. Saat aku melihat tungkai kakiku aku bisa melihat tulangku terlihat bertonjolan. Bila Sembara melihatku kini aku yakin ia akan langsung buang muka.   

Aku mematikan volume suara dan hanya melihat wajah Sembara dengan tatapan nyalang. Betapa ia begitu dekat sekaligus begitu jauh pula. Sampai acara itu selesai aku masih berdiam di depan televisi. Mario dan pembantu kami masih tidur lelap, masih empat jam lagi sebelum matahari terbit. 

Mario tentu khawatir dengan keadaanku, ia selalu menanyakan apakah aku sudah makan ataukah aku perlu sesuatu dan aku selalu menjawab bahwa aku tidak perlu apa-apa, aku bahkan tidak tahu lagi apa yang aku perlukan bagi diriku sendiri, masih bernapas saja sudah bagus menurutku. 

Mario tidak pernah menegurku secara langsung, mungkin ia takut atau mungkin ia juga masih merasa bersalah karena secara tidak langsung ia juga turut membuat kondisiku sehancur itu. Tapi waktu itu aku lupa bahwa bukan hanya hidup aku saja yang hancur melainkan juga hidup Mario. Ia harus merahasiakan semuanya seorang diri sedari remaja dan terus mencoba membahagiakan Ibu dan menenangkan perasaan kami. Aku terlalu bodoh dan egois untuk memikirkan jiwa Kakakku saat itu. 

Untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan aku menyalakan ponsel dan begitu layarnya menyala aku dibombardir oleh berbagai macam pesan, aku melewati itu semua dan langsung mencari nama Sembara di mesin pencarian. Aku mendapatkan informasi bahwa setelah lulus kuliah ia pergi ke Jerman untuk melanjutkan studinya dan kembali ke Indonesia sekitar sepuluh tahun yang lalu, bekerja di perusahaan swasta bonafide sampai sekian tahun, lalu meneruskan usaha pamannya yang orang penting kemudian jadilah ia politikus. Yang tidak berubah adalah kebiasaannya membaca buku, di laman sosial medianya bahkan ia merekomendasikan beberapa judul buku setiap bulan (fiksi jarang sekali ia rekomendasikan) dan juga beberapa kali ia membagikan foto istri dan anak perempuannya yang cantik. 

Istrinya juga pengusaha dan mantan putri daerah. Aku ingat saat ia mengatakan bahwa ia ingin membunuh ayahnya sendiri, sudahkah ia melakukannya? Aku rasa belum. Dan apakah Sembara juga senang bercerita kepada wanita itu, apakah wanita itu pendengar yang lebih baik dari diriku? Kemungkinan besar iya. Aku merasa benar-benar kalah dari semua orang yang ada di muka bumi ini. 

Meski aku kelelahan tapi jemariku bekerja dengan semakin gesit, kini aku mencari nama Ana tapi tidak ada apa-apa yang aku temukan. Apakah ia masih hidup dan apakah ia bahagia kini? Aku ingin tahu dan bahkan ingin menghubunginya dan memintanya untuk melupakan segala yang sudah terjadi. 

Aku terus mencari nama dan informasi yang sebetulnya sama sekali tidak aku perlukan, semakin jauh aku berselancar aku semakin yakin bahwa hidupku semakin gagal dan tidak berarti. Jika waktu itu ponselku meledak mungkin akan lebih baik karena aku bisa langsung mati. Tetapi, perasan sesak itu, perasaan terjebak di antara air yang semakin lama semakin tinggi merendam diriku dan mendorong tubuhku menuju tebing jurang air terjun rasanya semakin nyata. Jiwaku terhina dan perasaan mengasihi diri sendiri semakin mencekikku dan melumpuhkan eksistensiku. Aku tahu aku memiliki gunting dan cutter di laci, dengan akal pendek aku meraihnya dan merobek pergelangan tanganku, pasti cukup dalam karena darah yang mengucur cukup deras. Aku tidak merasa sakit tapi aku dapat mencium bau besi. 

Aku berbaring telentang di lantai dan membiarkan tubuhku hanyut terbawa arus, jatuh ke dalam air terjun dan tersangkut di sebuah batu karang. Sekelilingku air, dadaku sesak. Hanya aku yang tidak memiliki apa-apa. Tidak ada yang dapat aku banggakan mengenai diriku. Hidupku hanyalah sebuah penyesalan dan kesia-siaan belaka dan kini untuk hidup pun aku harus bergantung kepada Mario, orang yang pernah aku musuhi. Betapa menyedihkannya diriku ini. 

Ibu mungkin akan sangat kecewa padaku karena hendak menyia-nyiakan sebuah kehidupan yang telah begitu diperjuangkannya dengan susah payah, tapi aku yakin Ibu akan paham bila aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan perasaan malu ini. Aku rindu padanya, juga pada Ayah tapi aku tahu aku tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi. Aku pendosa, orang yang bunuh diri itu melakukan dosa besar tapi dunia juga bukan merupakan tempat yang indah lagi. Seperti yang ditulis Sembara, There are all kinds of love in the world, but never the same love twice. 

Yang terakhir aku lihat adalah lampu gantung di kamar tidur sebelum mataku terbuka lagi dan wajah cemas Mario jadi orang pertama yang menyambutku kembali ke kehidupan. Itu pun tidak lama karena ia langsung berlari keluar mencari perawat atau dokter. 

Pada perasaan dan pemahanku aku masih duduk di atas batu karang dengan air yang kini berwarna keruh mengelilingiku, sesak dadaku malah semakin menjadi-jadi. Bahkan dalam usaha bunuh diri pun aku gagal. Aku sedih karena apa pun yang aku lakukan dan aku pilih tidak pernah menuju jalan yang aku kehendaki dan tidak ada seorang pun yang mengerti perasaanku. 

Mario meraih tanganku yang tidak terluka, menggenggamnya dengan erat, “Maafkan aku,” ucapnya serak, ia tidak berusaha sama sekali menyembunyikan kepedihan dalam suaranya, ia tampak begitu jujur. “Mafkan aku.” Ia terus mengulangi kata-kata itu lebih dari selusin kali dalam sehari. 

Sejujurnya aku sangat tersentuh, aku bisa merasakan perasaan dan kepedulian yang amat tulus darinya. Aku ingin berbicara tapi aku sedang berada di tengah batu karang dengan arus deras disekelilingku, bila pun aku berteriak orang lain tidak akan bisa mendengarku apa lagi menggapaiku. Dua pekan kemudian aku dipindahkan ke sanatorium kejiwaan. 

***

Setiap hari Mario datang menjengukku, setelah jam kantor tentunya. Terkadang aku membalas tatapan matanya dan sering kali tidak. Terkadang tertangkap oleh mataku bahwa ia tampak kelelahan dan juga sedikit linglung. Aku sadar bahwa itu pasti sebab musababnya karena diriku. Akan lebih mudah bagi hidup Mario andai aku tidak ada di dunia ini. Pikiran untuk melukai dan memusnahkan diriku memang sudah mulai berkurang akibat bantuan obat-obatan dan terapi yang diberikan oleh dokter dan ners yang dengan sangat telaten merawatku. Setiap hari mereka selalu memberikan afirmasi yang membangun rasa percaya diriku, mungkin aku tidak akan pernah pulih tapi sedikit demi sedikit aku merasa arus air itu mulai surut dan meski aku masih terkurung di batu karang namun sesekali aku bisa merasakan bahwa angin segar pun masih bertiup sepoi-sepoi.

Selama dirawat, aku paling menyukai waktu rekreasi yaitu waktu di mana aku bisa duduk-duduk dengan tenang di taman sanatorium itu. Taman itu lebih mirip dengan kebun bunga mini. Ada berbagai macam kembang dengan berbagai macam rupa dan warnanya tetapi yang paling menarik minatku adalah bunga anggrek yang menempel pada pohon mangga. Kadang tanpa sadar aku suka bergumam seorang diri, jika ada seorang perawat didekatku ia akan mulai mengajaku bicara, biasanya soal buku dan entah dari mana mereka tahu bahwa aku gemar membaca buku jadi aku juga suka diberi buku-buku yang kebanyakan buku cerita anak-anak. Tapi bila tidak ada siapa-siapa di dekatku aku akan terus bergumam sampai aku sendiri menjadi lelah. 

Aku sering teringat akan wajah Sembara semasa muda, pertengkaranku dengan Attila…, dengan mertuaku, tamparan di pipi oleh Ana dan hari di mana aku mulai berseteru dengan Mario. Kenangan-kenangan itu sangat menyakitkan tapi sering merongrong akar ingatanku.

“Aku tidak mandul, aku perempuan paling sehat.” Ujarku kepada angin. 

Tanganku disentuh dari samping, tangan seorang wanita, kuku-kukunya cantik dan berwana hijau pupus. Aku tersenyum, tanpa menoleh aku sudah tahu siapa pemilik jemari-jemari langsing itu. 

“Dia pernah berkata bahwa perempuan mandul itu tidak ada harganya. Semestinya aku tidak perlu memikirkannya karena aku tidak mandul tapi orang-orang tidak mengerti. Jadi tidak ada bedanya lagi apa yang fakta dan apa yang asumsi.”

Tangannya kuat meremas jemariku dan aku mendengar suara yang tertahan. 

“Tapi kamu tahu kata orang tidak baik membahas impian dan rencana hidup dengan orang, katanya hal itu justru menjegal mimpi itu menjadi kenyataan. Dulu aku pikir itu lelucon, sekarang aku rasa benar kenyataannya. Aneh ya? Kok bisa-bisanya begitu.”

“Mar…”

“Aku punya rahasia, banyak rahasia! Besar dan kecil, aku akan memberitahumu salah satu rahasia kecilku. Waktu aku SMP aku pernah memecahkan tabung reaksi di lab biologi dan buru-buru aku sembunyikan. Guru kira tabung tersebut hilang. Aku tidak mengaku tapi besoknya aku ganti tabung tersebut dengan tabung yang baru. Mahal harganya, aku terpaksa puasa jajan selama beberapa waktu. Ibuku baik tapi bukan berarti tidak bisa tegas apalagi kalau aku berbuat salah. Dia memarahiku semalam.”

“Marni, aku Maya.” Dia berusaha keras untuk tidak menangis. 

“Papa pernah mengatakan padaku bahwa saat aku dewasa sebaiknya aku tumbuh menjadi wanita seperti Mama. Aku pikir hal itu terdengar wajar, pertama karena Mama adalah istrinya dan yang kedua sebab ia adalah Mamaku yang mudah saja ditipunya selama ini. Aku suka… Hmm, aku suka membayangkan…, apa yang mau aku ceritakan tadi? Aku lupa.”

Aku menarik tanganku dan memegangi kepalaku yang mendadak terasa panas.

“Marni…,” jemari yang indah itu pun berpindah tempat menuju wajahnya sendiri. 

Bukan aku yang tidak sanggup menatap wajahnya namun ia yang menutup wajahnya rapat-rapat. Mario datang dengan wajah khawatir, rupanya sejak tadi ia mengawasi kami. 

“Aku mau ke kamar.” 

Seorang ners yang berdiri tak jauh dari Mario dengan sigap mendatangiku dan menuntunku menuju kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara Maya dan Mario tapi sejak hari itu Maya tidak pernah mengunjungiku lagi di sana.

***

Setelah hampir empat bulan tinggal di sanatorium, Mario mulai memenuhi taman bunga mini itu dengan bunga-bunga lainnya (tentu setelah diberi izin oleh pihak sanatorium). Aku jadi semakin senang menunggui taman itu padahal dulu-dulu aku tidak pernah bisa begitu melihat keindahan yang terkandung dalam kembang-kembangan. Kadang para ners juga memberikan selembar kertas dan krayon agar aku dapat mengasah bakat menggambarku yang telah lama aku lupakan. Hari-hari itu terasa cukup menyenangkan meski sangat monoton tapi aku menikmatinya. 

“Sekarang kamu lebih sering tersenyum.” Kadang kala bila Mario dapat datang lebih cepat ia suka menemaniku duduk-duduk santai. “Aku senang melihatmu tersenyum.”

Aku menoleh dan tersenyum tipis pada kakakku dan lanjut mencorat-coret dengan sesuka hatiku. 

Lihat selengkapnya