Tidak mudah untuk menjalani kehidupan yang normal lagi setelah aku keluar dari sanatorium. Baik karena adanya prasangka pribadi atau karena memang lingkungan dan masyarakat umum yang belum dapat menerima bahwa terkadang seseorang bisa menjadi amat lelah dengan hidupnya dan membutuhkan waktu untuk rehat sejenak dengan merawat jiwanya yang lelah dan sakit, maka dari itu baik aku atau Mario tidak pernah mengatakan perihal keberadaanku yang mendadak seperti hilang selama dua tahun lebih itu. Meski memang ada beberapa orang yang tahu mengenai keberadaanku dan kondisiku seperti misalnya Maya.
Maya mencoba memperbaiki hubungan yang pernah renggang di antara kami, ia mengaku bahwa ia telah salah paham mengenai keputusan dan perceraian yang terjadi antara aku dan sepupunya tersayang.
Mario sempat melarangku untuk menjawab surel darinya dan setelah memikirkannya secara mendalam selama berminggu-minggu, aku memberikan balasan singkat. Maya segera meminta panggilan video begitu ia membaca surel balasan itu (dalam hitungan jam).
“Aku…, aku sudah tidak memiliki kata-kata yang aku rasa layak untuk aku katakan padamu. Tapi sungguh aku sangat senang kamu mau membalas surelku, mau mengangkat teleponku. Andaikan aku ada di Indonesia aku akan mendatangimu sekarang juga. Memang bajingan itu Attila. Aku sudah tidak sudi berhubungan dengannya lagi.”
Aku menahan diriku untuk tetap mendengarkan sumpah serapah dan rasa syukur Maya yang dituturkannya padaku secara cepat sekaligus berlompatan.
“Maya, kamu tidak perlu bermusuhan dengan sepupumu karena aku. Biarkan itu menjadi masalah di antara kami saja.”
“Tidak, tidak bisa begitu!” dari layar laptop aku dapat melihat latar pemandangan beralih dari balkon apartemennya menuju ke ruangan yang lebih gelap dan terutup. “Tentanggaku sedang makan-makan rupanya jadi berisik sekali. Terkadang saat musim panas kami memang senang makan di balkon. Tidak bisa Mar, sikap Attila sangat kelewatan dan buruk padamu dan sekarang agaknya dia sudah mendapatkan karmanya.”
“Maya, bisakah kamu berhenti membicarakannya?” rasanya masih berat bagiku untuk menyebut nama mantan suamiku pada saat itu. “Aku ingin hubungan kita kembali normal tapi aku juga tidak ingin mengingat-ingat yang sudah-sudah. Aku sangat menghargai kunjunganmu di waktu itu meski tidak banyak yang aku ingat, tapi aku tahu sekarang kamu benar-benar salah satu orang yang benar-benar peduli padaku.”
Maya terdiam, ia menatap layar masih dalam keremangan yang membuat aku sulit untuk melihat air wajahnya.
“Pernahkah aku mengatakan bahwa aku menyanyangimu Mar?”
Aku melirik Mario yang memang mengawasiku sejak sebelum aku melakukan panggilan video dengan Maya. Kakakku itu kurang senang dengan ide aku menjalin hubungan kembali dengan siapa pun dan apa pun yang berhubungan dengan mantan suamiku, tapi aku memintanya secara pribadi dengan alasan Maya salah seorang kawan yang berarti dalam hidupku dan ia tidak memiliki pilihan lain selain mengabulkan apa yang aku ingini.
“Aku tahu. Aku tahu.” Aku kembali melirk Mario yang masih mengamati aku, ia menghela napas dengan ringan. Mataku beralih melirik jam di dinding. “Lantas, ceritakan padaku bagaimana kehidupanmu yang aku lewatkan selama ini? Apa kamu masih menulis sekarang?”
Aku tidak tahu mengapa Maya terus membiarkan dirinya berada di dalam ruangan yang remang hingga penghujung pembicaraan kami namun aku senang mendengar perkembangan hidupnya.
Setelah tidak menulis selama hampir tujuh tahu Maya memutuskan untuk kembali menulis, kali ini dengan jangkauan pembaca yang lebih luas. Ia sudah menyelesaikan naskahnya dan sedang mencari agen yang bersedia membantunya untuk menjajakan kisah cinta berbalut penghianatan di era Hindia Belanda. Selain itu, ia dan Lorenzo berniat menjadi orangtua asuh bagi seorang anak yang mereka temui di Somalia (mereka masih belum memiliki niatan untuk menikah secara resmi). Bibirku jatuh begitu lebar saat mengetahui mereka pernah pergi ke negara yang sedang mengalami perang saudara itu.
“Kamu sendiri, apa yang akan kamu lakukan kedepannya Mar?”
“Aku ingin kembali bekerja kalau bisa,” ucapku sambil kembali melirik Mario, “aku sangat ingin menjadi wanita yang produktif. Namun, sejujurnya aku tidak tahu harus bekerja apa atau di mana. CV ku begitu lama kosong dan pengalaman kerjaku pun sudah begitu usang. Sebetulnya aku tertarik bekerja di majalah lagi seperti dulu tapi melihat kenyataan bahwa industri percetakan apalagi penerbitan majalah banyak yang gulung tikar, tergantikan dengan media sosial aku rasa hal tersebut hampir mustahil. Entahlah, aku belum punya rencana pasti. Jadi belum banyak yang dapat aku katakan.”
Mario setuju saja dengan niatanku untuk kembali bekerja dan memang menurut dokter sebaiknya aku memiliki kesibukan yang positif. Meskipun Mario tidak keberatan untuk terus menghidupi kami namun aku tidak pernah setuju dengan ide itu. Meski ia kakakku dan meski ia begitu baik, ia tetap memiliki kehidupan dan masa depannya sendiri.
“Tapi itu cukup untuk sekarang ini. Aku senang kamu mau kembali bekerja, aku pikir itu akan sangat baik untukmu. Atau untuk menyegarkan dirimu, aku bisa mengirimimu tiket pulang-pergi ke sini, oh itu pasti akan sangat bagus untuk kita!”
“Mungkin nanti-nanti saja Maya. Keunganku agak ketat saat ini, tapi terima kasih sekali atas undanganmu. Sebentar lagi kami akan makan malam, sudah dulu ya! Tolong sampaikan salamku pada Lorenzo.”
Mario langsung menghampiriku saat sambungan video kami sudah terputus.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Sejujurnya, jadi lebih baik. Lega karena bisa berbicara dengannya lagi dan lega karena tahu ia masih mau berada dalam hidupku.”
“Maaf karena aku selalu mencegahnya untuk menghubungimu.”
Aku menggeleng dan menutup laptop kepunyaan Mario yang aku pinjam, “Aku tahu alasan Mas Mario dan itu bukan sesuatu dengan tujuan buruk.”
“Kalau kamu memang mau pergi berlibur, pergilah. Jangan pikirkan soal uang.”
“Tidak. Mana mungkin bisa begitu. Aku tahu Mas sudah keluar uang banyak sekali untuk biaya aku di sanatorium, belum obat-obatan dan lain-lainnya. Aku tidak bisa membebani dan berhutang lebih dari pada itu kepada Mas Mario.”
Mario menyentuh bahuku dengan amat lembut, “Itu bukan hutang namun kewajibanku. Jangan membebani pikiranmu dengan pikiran yang aneh-aneh. Tidak ada hutang di antara kita.”
“Tidak, tidak bisa begitu. Suatu hari nanti Mas akan menikah dan memiliki keluarga sendiri. Jangan memanjakan aku seperti ini atau aku tidak akan pernah bisa bangkit sepenuhnya nanti.”
Mario melempar pandangan matanya ke sandal karet yang dikenakannya dan melepas tanganya dari bahuku.
“Aku masih teguh dengan pendirianku yang dulu itu.”
“Kamu berbeda dari Papa,” aku berusaha membuat nada bicaraku semeyakinkan mungkin, karena seiring bertambahnya usia nyatanya wajah Mario menjadi begitu mirip dengan wajah Ayah kami, “kalau kamu punya istri dan keluarga aku yakin Mas akan memperlakukan mereka dengan sangat baik. Jangan menghukum diri Mas sendiri dengan sesuatu yang tidak perlu, apalagi karena kesalahan orang lain meski orang itu adalah Papa kita sendiri.”
“Keputusanku itu tidak ada hubunganya dengan sejarah keluarga kita Mar. Itu murni keputusan yang aku ambil karena keinginanku sendiri.” Bibir Mario tersenyum saat mengatakan kata-kata itu seolah-olah ia menganggap itu dapat meyakinkan diriku.
Aku membalasnya dengan senyum yang lebih lebar, “Jangan begitu yakin, namanya jodoh tidak ada yang tahu, bukan? Barangkali besok hari Mas Mario bertemu dengan jodoh Mas dan keinginan Mas itu dapat berubah. Namun, bila tidak berubah sekalipun apa boleh buat, aku akan terus menumpang di rumah ini kalau begitu.” Ujarku dengan gugup dan menutupinya dengan menepuk-nepuk punggungnya. “Ah, sudah begini malam. Sebaiknya aku membantu menyiapkan makan malam, lalu kita harus tidur cepat malam ini. Ingat kita harus menjemput Ana dan Mara di Gambir besok pagi.”
Aku mengucapkan kalimat itu dengan benar-benar antusias sekaligus bahagia, aku melangkah menuju area dapur dengan setengah menari penuh gembira. Satu demi satu, menit demi menit aku mulai merasakan kenikmatan akan kehidupan lagi.
***
Mara yang berusia empat tahun memandangi cangkir Anpanman yang sebelumnya merupakan milik Mario dan kini sudah didaulat menjadi miliknya setiap kali berkunjung ke Jakarta. Mario dengan rajinnya mengenalkan karakter superhero yang menurut Mario hampir dikenali oleh semua populasi manusia di Jepang sana. Bahkan Mario sampai mengajarkan lagu theme song19 kartun tersebut kepada Mara yang dengan bangga sudah dianggap Mario sebagai keponakannya sendiri. Aku pun jadi suka ikut-ikutan menyanyikan lagu bernada ceria tersebut karena setelah diterjemahkan oleh Mario aku jadi mengerti apa arti lirik lagunya, bagus sekali dan mengena dihatiku.
“Untuk apa aku dilahirkan dan apa yang hendak aku lakukan dengan hidupku? Aku tidak ingin tidak dapat menjawabnya! Dengan menjalani hidup penuh semangat membuat hatiku gembira! Itulah mengapa aku harus terus tersenyum. Ya! Kamu bahagia! Hidup adalah suka cita! Kamu menyadari betapa hebatnya hidup ini! Meskipun luka di hatimu masih terasa perih… Ah, ah, Anpanman20….”
Akhirnya aku bekerja di sebuah klinik kecantikan yang baru dibuka di dekat rumahku, mulanya karena usia dan sebagainya aku bekerja sebagai kasir lalu bertahap demi bertahap aku dilibatkan bersama tim manajemen untuk membantu membuat materi promosi sosial media di klinik tersebut. Aku banyak belajar ilmu baru, dunia pemasaran berkembang banyak! Hari-hariku sibuk akan tetapi ternyata aku sangat menikmatinya.
Klinik kecantikan itu sering menggaet artis atau influencer untuk bekerja sama membuat konten promosi. Aku cukup stres dan tegang saat mengetahui bahwa Sani yang sudah lama menikah dengan Priya dan memiliki empat orang anak dengannya akan datang ke klinik dan melakukan syuting promosi di suatu akhir pekan.
Penampilan Sani berubah drastis, ia menggunakan pakaian panjang dan sangat bersahaja. Aku terkejut bukan main sampai-sampai harus didorong dari belakang agar dapat kembali bekerja dan menyambutnya dengan selayaknya.
“Ya, ampun Marni apa kabar?” ia menghampiriku terlebih dahulu dan malah langsung memberi salam tempel di pipi kanan dan kiriku tanpa permisi. “Kamu kok ya masih langsing saja sih, seperti dulu? Tidak banyak berubah! Aku saja sudah begini gembrot.” Ucapnya dengan keramahan yang berlebihan.
“Ah enggak, kamu masih cantik seperti dulu.” Ucapku canggung.
“Enggak nyangka loh, bisa ketemu lagi. Di sini lagi, sekarang kamu kerja di sini?
Sikap hangat Sani dan amnesianya malah membuat aku gelagapan. Mau menolak namun banyak mata yang mengawasi kami, mau membahas yang lalu-lalu juga aku tidak yakin apa perlunya lagi bagi kami. Tapi tatapan mata Sani yang berubah serius membuat aku menjadi semakin gamang.
“Banyak hal yang terjadi di antara kita Mar dan aku tahu sebagian besar adalah karena kesalahan diriku. Aku bukan orang baik namun aku berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin, bisakah kamu mencoba melupakan apa yang sudah lama berlalu di antara kita?”
“Akan aku coba,” aku terpaksa tersenyum.
Setelah proses syuting selesai dan setelah Sani pergi, rekan-rekan kerjaku mulai memberondongku dengan berbagai pertanyaan dan dari mereka aku jadi tahu bahwa ternyata setelah terkena kasus narkoba yang melibatkan diri mereka dengan pihak kepolisian, Sani dan Priya secara bertahap mengubah image mereka di publik dan akhir-akhir ini nama mereka kembali naik setelah Priya dan bandnya mengubah halauan musik mereka ke arah musik rohani.
Aku menceritakan kisah pertemuan itu kepada Ana dan Mario. Mata Ana nyalang, sementara Mario seperti biasa mendengarkan dengan seksama tanpa banyak komentar.
“Menurutmu itu benar-benar menjadi jati dirinya atau hanya sesuatu yang tampak di permukaan saja?” ucapnya dengan lidah terbelit.
Aku memangku Mara dan membelai rambutnya yang lembut, ia sedang meneguk susu dalam cangkir kesukaanya dengan rakus.
“Tidak tahu, tapi semoga saja bukan hanya kepura-puraan semata.” Rambut Mara yang tebal aku sisir dengan jari-jemariku dengan berlahan takut ia kesakitan. “Tapi, anehnya aku sudah tidak merasakan amarah atau kebencian saat berbicara dengannya. Maksudku sudah biasa saja begitu, memang masa lalu tidak akan pernah berubah dan aku memang pada waktu itu benar-benar marah padanya tapi sekarang rasanya seperti ya sudahlah, begitu saja. Apa kalian paham dengan maksudku?”
“Tidak begitu.” Ana menoleh pada Mario.
“Mungkin itu artinya sebenarnya di alam bahwa sadarmu, kamu sudah memaafkan apa yang terjadi di antara kalian dulu, begitu?”
Aku tertegun mendengar pertanyaan Mario. Kaki Mara berayun-ayun membuat pahaku terasa sakit.
“Mungkin saja,” jawabku. “Seperti Mas Mario yang sudah memaafkan Papa, betul?”
Setelah sekian puluh tahun, kemarin adalah kali pertamanya Mario mau mengunjungi makam Ayah, biasanya ia sama sekali mengabaikan makam yang berada persis di sebelah makam Ibu. Ia menyebar bunga dan menatap batu nisan bertulisakan nama Marlon disamping nisan bertuliskan nama Mirna itu dengan tatapan pasrah.
“Aku pikir lebih mudah seperti itu dari pada terus mengabaikannya.”
Aku melirik Ana yang terus menatap Mario, bulu matanya yang lentik menambah kesan mesra dari caranya menatap kakakku.
“Mara, tadi kamu bilang sama Tante kalau kamu mau tahu kelanjutan cerita Totto Chan21 dan sekolah barunya kan? Ayo, kita ke kamar, Tante akan bacakan, lagi pula ini sudah saatnya tidur siang bukan anak manis?”
Mara melompat turun dan pangkuanku, dengan terus menggandeng tanganku ia menuntunku menuju tangga atas, ke kamar yang kami sediakan untuk Ana dan Mara setiap kali mereka datang berkunjung.