Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #30

Meraki

Mario kesulituan untuk pulang ke Indonesia, setelah kedatangannya ke Taiwan selama tiga hari virus COVID-19 ditemukan di negara tersebut. Setiap turis dilarang untuk meninggalkan negara itu dan dalam kepanikan yang tiba-tiba menyebar begitu cepat ke seluruh penjuru bumi, karantina mulai diberlakukan di mana-mana. 

“Apakah virus itu sudah sampai di Indonesia?” tanyaku dengan panik.

“Belum, bagaimana dengan Mas Mario, kapan dia bisa pulang? Masa dia mau terus tertahan di negara orang.”

“Entahlah ia masih dikarantina di hotel tempatnya menginap. Katanya situasi di sana juga agak kacau. Tapi ia berjanji kalau sudah mendapat izin untuk meninggalkan negara itu akan segera mengabariku.” 

Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah Ana dan beberapa kebiasaan di rumah itu sudah mulai aku pelajari dan aku resapi. Ana selalu bangun pagi, tidak peduli hari apa pun itu ia selalu bangun tepat jam lima pagi, setelah itu ia akan membuka semua jendela rumah dan menghirup udara bersih dan segar dari gunung selama beberapa menit sebelum mulai menyeduh kopi untuk dirinya, aku dan si Mbok yang baru akan datang pukul enam. Dan ya, meskipun baru pukul lima tapi matahari cepat sekali tingginya jika berada di dataran tinggi. 

Mara baru akan bagun jam enam dan setelah berleha-leha ia akan pergi mandi (dia sudah menolak untuk dimandikan) lalu sarapan dan setelahnya berangkat ke sekolah. Sesekali aku melempar pandangan ke luar kamar Ana, teringat akan pesta hantu yang pernah dilihat dan diceritakannya padaku belasan tahun yang lalu. 

Gunung Lawu sendiri wajahnya masih sama seperti ketika aku datang berkunjung ke sana sewaktu remaja dulu. Gunung itu tidak berubah tapi kami para manusianya yang semakin berubah dari hari ke hari.

Ana memiliki dua buah mobil, satu yang biasa ia kemudikan untuk pergi ke kota atau tempat yang agak jauh, juga sebuah Kijang tua untuk keperluan perkebunan dan persawahan tapi transportasi yang paling sering ia gunkaan sehari-hari adalah sebuah sepeda motor. Aku sempat terkaget-kaget pada saat pertama kali melihat ia membonceng Mara untuk pergi ke sekolah. Ana yang dulu tidak bisa menyetir mobil malah sekarang ahli menggunakan sepeda motor di jalan desa yang naik-turun dan berkelok-kelok. 

Setelah pulang dari mengantar Mara, biasanya Ana akan membuka laptopnya dan melihat laporan penjualan dari toko mini market yang ia beri nama Mara Mart yang berlokasi di dekat alun-alun kota, di dekat Pasar Baru Magetan. Dan tentu saja sawah dan perkebunan orangtuanya tidak ia biarkan terbengkalai begitu saja dan untuk masalah itu karena ia kurang begitu ahli ia meminta bantuan kepada saudara bapaknya untuk membantu mengelola dengan sistem bagi hasil setiap masa panen tiba. 

Terkadang Ana juga pergi untuk memeriksa toko dan juga vila yang ia sewakan, aku paling suka dengan hal ini karena bisa melihat cara kepemimpinan Ana dan bagaimana cara ia memperlakukan para pegawainya. Ia tampak tegas namun juga dapat mendengar dan tahu kapan harus bersikap lembut kepada orang-orang. Aku berlajar banyak walau hanya mengamatinya saja. 

Menjelang tengah hari kami pulang, menyiapkan makan siang untuk tuan putri Mara yang baru pulang sekitar jam sebelas siang. Setalah Mara pulang, baru hidup kami menjadi semarak dan setiap hari ada saja kegiatan menyenangkan yang kami lakukan bila tidak ada pekerjaan-pekerjaan penting yang mengganggu. Kami senang pergi ke sawah untuk melihat-lihat hasil bumi yang sedang ditanam, memancing, melihat orang-orang bekerja membangun calon rumah baca yang kami nanti-nanti, berpiknik di kebun, menonton Totoro yang pertama kali diperkenalkan oleh Mario atau sekedar membacakan buku-buku cerita kepada Mara. 

Pekerjaan yang aku singgung-singgung sebelumnya sebenarnya bukannya sebuah pekerjaan betulan, Ana memintaku untuk menjadi asistennya namun nyatanya aku tidak melakukan apa-apa selain memperhatikan dirinya saja. Tapi tentu saja aku tidak keberatan. Ritme hidup yang lebih lamban, udara sejuk yang terus mengisi paru-paruku, air yang hampir selalu kelewat dingin setiap kali aku mandi baik di siang hari sekalipun, warna hijau atau biru yang hampir selalu mengisi pandangan mataku. Hidup yang sangat berbeda dengan dunia tempatku lahir dan menjalani kehidupan selama ini yang aku kira tidak akan membuatku merasa nyaman apalagi betah untuk tinggal berlama-lama namun ternyata kini aku sangat menikmatinya dan akhirnya mengerti mengapa Ana selalu ingin kembali pulang ke desanya. 

Aku tidak bisa menyembunyikan keraguan apalagi keresahan dalam diriku kepada Ana. Ana tahu meski aku berusaha untuk tetap tenang mengenai Mario namun sesungguhnya aku sangat gusar dan sangat tertekan. Aku sangat takut kehilangan dirinya dan aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang sebenarnya sedang kami hadapi saat itu. 

Kekhawatiranku sempat mereda saat Mario akhirnya diizinkan untuk meninggalkan Taiwan sepekan kemudian, ia tiba dengan selamat di Jakarta dan mulai bekerja seperti biasanya kembali. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena pada awal bulan Maret ditemukan kasus pertama virus mematikan itu di Depok23 dan segera membuat geger semua orang. 

“Aku harus pulang ke Jakarta.” 

“Apa Mas Mario akan setuju?” Ana menoleh setelah menutup pintu kamarnya. “Mara sudah tidur, badannya agak hangat pantas ia manja sekali.”

“Apa kita perlu ke dokter?” tanyaku menghampiri pintu kamar tidur Ana. 

“Tidak, aku rasa ia hanya terlalu lama berendam di kolam karet.” Kolam renang karet merupakan kado kedua dari Mario untuk Mara. Ana menghela napas. “Ya, begitulah anakku kalau sedang gandrung sesuatu sampai lupa yang lain-lain, hidungnya juga meler tadi, ia pasti kena flu.”

“Apa tidak perlu minum obat?”

“Tidak, tadi sudah aku beri minyak telon di pungggung, perut dan kakinya, besok kalau belum baik baru akan aku beri obat. Soal kamu ingin pulang ke Jakarta, bukannya Mas Mario bilang lebih baik bagi kamu untuk tetap tinggal di sini sampai kita benar-benar tahu bagaimana kondisi yang sesungguhnya terjadi?”

“Dan siapa yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi? Setiap hari ada orang yang dilarikan ke rumah sakit karena sesak napas atau mengalami penurunan kesehatan, pemerintah belum memberikan keputusan apa-apa tapi aku yakin akan diberlakukan pengetatan perjalanan. Aku tidak mau Mas Mario sendirian An, tidak dalam kondisi yang mengerikan dan tidak pasti seperti ini.”

Ana terdiam, kami berdua terdiam di depan pintu kamar. Memang sehari sebelumnya aku sudah mengemukakan keinginanku itu kepada Mario via telepon dan seperti kata Ana ia malah menyarankan agar aku tetap tinggal di desa bersama Ana dan Mara, menurutnya jauh lebih aman bagi kami, karena letak rumah saling berjauhan dan kualitas udara pun jauh lebih baik daripada di kota. Mario meyakinkan aku untuk tidak khawatir karena ia selalu menggunakan masker dan selalu menjalankan protokol kesehatan seperti yang disarankan WHO dan pemerintah. 

Karena bumi seperti sedang istirahat berputar begitu pula kehidupan orang-orang yang mendadak kehilangan kesibukan dan rutinitas harian mereka, tiba-tiba orang-orang jadi memiliki banyak waktu luang namun sayangnya justru tidak dengan Mario yang jadi semakin lama membalas pesan-pesanku dan sulit untuk dihubungi dan kedua hal tersebut semakin membulatkan keinginanku untuk pulang ke Jakarta, untuk menemaninya, setidaknya bila salah satu dari kami ada yang terkena virus tersebut maka kami bisa saling mengurusi, begitulah pemikiranku. 

“Tidak. Aku tidak mengizinkanmu pulang ke sini. Seperti kataku kemarin.”

“Aku memiliki hak untuk menentukan ke mana kakiku mau pergi dan aku memutuskan bahwa aku mau pulang secepatnya.” 

“Untuk kali ini aku mohon jangan keras kepala Mar,” Mario terdengar lelah dan juga putus asa.

Ana yang berada di dekatku menghentakan kepalanya seperti sebuah isyarat agar aku menyerah dengan keinginanku. 

“Mas Mario benar,” ucap Ana tanpa bersuara. 

Aku masih ingin ngotot namun tidak ada gunanya bila Ana dan Mario sudah satu suara. Maka dengan berat hati aku menerima keputusan Mario. 

Saat pemerintah mengumumkan diberlakukannya PSBB, keinginanku untuk pulang kembali menggebu-gebu dan lagi-lagi Mario melarangku untuk pergi. Ana pun ikut-ikutan merlarangku dengan keras. 

“Bisa-bisa malah kamu kena virus di jalan, lagi pula mau masuk ke Jakarta pun aku dengar dari orang di pasar sangat sulit sekarang-sekarang ini.”

Bila sudah diingatkan seperti itu aku hanya dapat merengut sedangkan Mara yang sekolahnya diliburkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan hanya kebingungan menatap kami berdua. 

Pembangunan rumah baca di halaman rumah Ana sudah hampir selesai namun karena ada larangan dari Ketua RT bagi warga untuk tidak boleh berkerumun maka terpaksa pekerjaan yang tinggal finishing itu ditunda, juga sampai waktu yang tidak ditentukan. Semua serba abu-abu. Hari esok menjadi sesuatu yang amat jauh untuk dibayangkan. 

Mara tampak senang saja tidak perlu bangun pagi tetapi ia juga menjadi agak uring-uringan karena tidak dapat bertemu dengan teman-temannya di sekolah dan bahkan dilarang oleh Ana untuk bermain dengan anak-anak tetangga, kalau sudah begitu biasanya ia akan menangis sampai ia lelah sendiri atau aku perlu membujuknya dengan mengajaknya bermain boneka, masak-masakan atau membacakan dongeng Seribu Satu Malam. Tapi rasanya itu semua tidak cukup untuk menggantikan masa anak-kanak Mara yang sebagian harus terisolasi dan direnggut begitu saja oleh pandemi yang amat mengerikan itu. 

Sesekali aku melakukan panggilan video dengan Maya. Keluhannya mengenai penanganan pandemi di tempatnya tinggal tidak lebih baik dari pada keluhanku namun kami memiliki banyak ketakutan yang sama. 

Lihat selengkapnya