Mara sudah naik kelas dua SD saat aku dan Mario berencana mengunjungi mereka, Virus itu masih ada namun keadaan sudah banyak berubah. Jumlah penerima vaksin semakin meningkat, social distancing masih berlaku namun tidak seketat dulu, pariwisata dan perjalanan antar wilayah sudah tidak begitu sulit lagi apalagi bagi yang sudah memiliki sertifikat vaksin, begitu pula dengan kunjungan dalam dan keluar negeri, Maya berencana untuk mengunjungi Indonesia akhir tahun nanti dan Ana menjanjikannya untuk menginap di penginapannya yang menghadap Danau Sarangan secara gratis selama sepekan. Kami sangat tidak sabar menunggu kunjungannya. Banyak hal yang terasa berbeda dan hilang kesannya saat disampaikan melalui panggilan video dan dengan yang disampaikan secara langsung.
Sasa secara mengenjutkan mengajak aku untuk membangun bisnis bersama, yaitu membuat suatu toko roti artisan. Aku sempat ragu karena aku pikir aku tidak akan mampu membangun sebuah usaha namun tentu saja Mario mendorongku dan merasa gagasan itu sangat baik. Kalaupun kami gagal setidaknya aku memiliki suatu pengalaman baru.
“Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan sesungguhnya baru di mulai di usia empat puluh tahun, barangkali ini adalah kesempatanmu.” Ujar Mario saat kami sedang mendiskusikannya.
Usaha itu tidak membutuhkan modal yang terlalu besar karena pertama-tama kami akan berjualan secara daring. Karena aku dan Sasa sama-sama berpengalaman di bidang pemasaran dan mengambil kursus membuat roti, semua hal dapat kami kerjakan bersama-sama. Yang menjadi masalah utama adalah meskipun benar aku pernah ikut kursus memasak dan membuat roti namun sudah lama aku tidak melakukan kegiatan tersebut, aku perlu berlatih dan membuka catatan lamaku.
“Kalau aku mau melakukannya, maka harus aku lakukan dari hati dan sepenuh hati!” gumamku.
Hatiku begitu berdebar saat menerima pesanan pertama dan saat membuat adonannya pun aku tidak merasa puas sama sekali, tapi anehnya tanggapan dari konsumen kami luar biasa baik. Dan tidak disangka-sangka seiring berjalannya waktu setiap hari ada saja pesanan yang masuk. Dan kali itu nama pemesannya membuat aku bukan main terkejut sampai mengeja namanya berkali-kali. Lantas aku segera menghubungi Ana.
“Aku yakin itu adalah Mariska teman SMA-ku, An! Aku ingin berbicara dengannya. Atau mungkin saja ia tahu aku pemilik usaha roti artisan ini jadi sesungguhnya ia ingin menjalin pertemanan lagi denganku, bisa saja bukan?”
“Hmm, tapi dari mana dia tahu? Kan wajah kamu tidak pernah muncul di video promosi, paling banter juga tangan kamu saja dan kalau tiba-tiba muncul apa tidak akan membuat dia malah takut? Kalian kan sudah tidak pernah bertemu selama dua puluh tahun lebih.”
“Takut? Kamu pikir aku ini sudah berubah menjadi kuntilanak apa. Dengar, aku rasa ini kesempatan besar untuk memperbaiki sesuatu yang mestinya aku perbaiki puluhan tahun yang lalu An. Ada banyak penyesalan dan keraguan dalam hidupku dan tentu saja itu bukan salah siapa-siapa melainkan diriku sendiri dan kali ini aku merasa ini adalah jalan untuk memperbaiki salah satu di antara sekian banyak hal-hal itu.”
“Lalu, apa yang mau kamu lakukan?”
“Bukan sesuatu yang heboh. Alamat pengirimannya masih sama seperti alamat rumahnya di Kemang dulu, jadi aku pikir mungkin lebih baik aku sendiri saja yang mengatarkannya langsung, siapa tahu kami bisa bertemu nanti.”
“Lantas kalau benar dia penerimanya kira-kira apa yang akan kamu katakan padanya pertama kali?”