"Pa, ini kopinya diminum dulu." Aku meletakkan secangkir kopi hitam di dekat tangan ayahku yang masih sibuk mengetik sebuah dokumen di larutnya malam.
"Ngapain kamu? Ganggu aja!" Pria paruh baya itu menggeser cangkir itu hingga terjatuh ke lantai, tepat di depan kakiku.
Aku tersenyum getir, "Papa nggak mau kopi yang ini, ya? Papa mau Dira buatin apa?"
Papa hanya diam tanpa menjawabku. Menganggap seolah aku tidak ada.
"Maaf, ya, Pa. Ruangan Papa jadi kotor begini. Dira bersihin dulu, habis itu Dira buatin yang baru buat Papa." Aku berjongkok memunguti satu per satu pecahan kaca yang berserakan.
"Tidak perlu! Kamu pergi aja!"
Aku hanya bisa bersabar. Selalu saja begini. Aku pergi tanpa mengucap sepatah kata lagi. Takut membuat Papa kembali marah.
"Aku kok kayak nggak diharapkan hadir di keluarga sendiri, ya? Mereka seolah lupa kalau aku juga bagian dari keluarga ini, bukan orang luar." Aku bergumam seraya melangkahkan kaki menuju dapur.
"Aduh! Kamu ini gimana sih?" Aku tersentak mendengar suara itu.
Oh, tidak! Mama terjerembab akibat air yang sebelumnya tak sengaja aku tumpahkan.
"Mama nggak apa-apa, kan? Maafin Dira, Ma, Dira nggak sengaja." Aku membantu Mama, tapi ia menepisnya dengan kasar.
"Halah, alasan aja kamu!" Mama mendorongku hingga punggungku terbentur dengan kaki meja makan.
"Dasar ceroboh! Mimpi apa Mama bisa punya anak yang begitu ceroboh kayak kamu!"
"Aku juga nggak percaya kalau aku terlihat nggak berguna di keluarga ini," lirihku tanpa didengar oleh Mama.
Seekor kucing berbulu putih bersih menghampiriku. "Hai, Kucing. Kamu tadi lihat nggak? Semuanya salah aku, ya?"
"Aku harus gimana, Cing? Aku harus gimana biar mereka lihat aku?"
"Aku cuma mau dianggap, aku cuma mau terlihat. Sesimpel itu harapanku saat ini."
"Kalau aku bisa, aku pasti udah keluar dari rumah ini sejak lama. Tapi aku nggak bisa, aku nggak bisa ngelakuin itu." Aku melirih sembari menggelengkan kepala berulang kali.
"Alasan aku tetap di sini karena aku nggak punya tempat pulang lain lagi selain rumah ini. Nanti kalau aku udah bisa punya rumah sendiri, kamu pasti aku ajak, kok, Cing."
"Aku pasti bisa ngelewatin ini semua. Sabar, ya, Cing. Kamu dan aku pasti bisa keluar jadi rumah tahanan ini."
Ya, aku hanya punya seekor kucing yang paling kupercayai. Memberi kepercayaan kepada orang lain memang tidak semudah mengedipkan mata. Jadi aku lebih memilih berbagi dengan sesuatu yang tidak akan membuka mulut kepada orang lain.
Setidaknya, rahasiaku aman ditangan si Kucing. Hahaha, lucu memang. Tapi aku butuh tempat berbagi, dan disaat itulah Kucing yang malang menghampiriku.
"Ayo, Ra, kamu kuat! Semangaaatt!!"
Aku bangkit dan mulai membereskan kekacauan kecil yang terjadi.
"Ayo, Cing, temenin aku bikin art digital pesanan Bu Ratna." Aku menggendong Kucing dan membawanya ke kamar yang terletak di dekat dapur.
Aku mulai berkutat dengan pekerjaanku. Tanpa disadari, pergantian hari sudah sebentar lagi.
"Astaghfirullah, aku lupa kalau belum setrika baju seragam buat besok." Aku menepuk dahi, bangkit dari dudukku, dan mulai mengerjakan kegiatan baru.
Aku menguap dan mengeluarkan air mata. Tidak, tentu saja aku tidak menangis. Air mata itu keluar akibat kantuk yang sudah tak tertahankan.
Mataku semakin berat untuk terbuka. "Awh," rintihku saat lengan kananku terkena setrika panas.
Aku berlari mencari salep tanpa menyadari jika setrikaan yang kutinggalkan dapat merusak baju seragamku.
Sekembalinya aku setelah mengoleskan obat, "Astaghfirullah!" Aku mencabut kabel dan membenarkan letak setrikaan.
"Yah, besok aku pake seragam yang mana, dong?"
Aku mencoba memutar otak. Aha! Aku menemukan jalan keluar lain.
Aku membereskan semua setelah selesai menyetrika setumpuk baju yang terdiri seragam Papa, Mama, dan juga Kakak.