"Ra, lo marah sama gue?"
Pikir saja sendiri. Aku masih kesal pada Alden akibat kejadian di kantin tadi.
"Lo nggak bisa marah sama gue. Gue udah nolongin lo."
"Kalau nggak ikhlas, nggak usah." ucapku dengan sinis.
"Dasar cewek. Ribet banget kalau lagi marah," gumam Alden yang masih terdengar olehku.
"Gue nggak bakal berhenti sampe lo maafin gue," kata Alden.
"Terserah!"
"Ra, ayo dong. Berat nih."
Aku diam. Aku tahu itu pasti berat. Ia mendorong motornya dan berjalan mengikutiku.
"Cepet tua, loh, kalau marah-marah."
"Ra, ayo dong. Jangan ngambek gini sama gue."
"Janji, gue nggak bakal kayak tadi lagi. Kecuali di situasi yang nggak memungkinkan."
"Udahan, dong. Masa gitu aja, marahnya sampe segitunya sih."
Sebenarnya ada yang aku tunggu dari Alden. Setelah mengoceh sekian lama, tapi ia belum mengucap permintaan maaf sekali pun.
"Ra–"
"Tinggal minta maaf aja susah banget sih!" kesalku.
"Jadi itu yang lo tunggu?" ujarnya sedikit berteriak. Ternyata ia berhenti sedikit jauh dariku.
Aku menghentikan langkah tanpa berbalik atau bahkan menoleh sedikit pun.
Tunggu. Aku mendengar Alden menyalakan motornya.
"Gue nggak bisa. Bagi gue, itu nggak semudah yang lo kira."
Ada apa dengan Alden? Ia melewatiku begitu saja. Ah, persetan!
"Ngatain cewek ribet, sendirinya juga ribet."
Tapi sebenarnya siapa Alden? Kenapa dia seolah disegani murid seantero sekolah? Bahkan hanya dengan tatapan bisa membuat mereka yang mencaciku menutup mulutnya.
•••
"Assalamualaikum. Eh, Mama udah pulang? Atau cuma mau ambil berkas yang ketinggalan?"
"Bukan urusan kamu."
Aku menghela napas, harus sabar. Aku yakin, pohon kesabaranku pasti akan berbuah manis.
"Aku buatin sirup, ya, Ma."
Aku berjalan ke arah belakang dan meletakkan tas di kamar tanpa mengganti pakaian.