Ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Ini tidak mudah. Petugas rumah sakit benar, nomor telepon Jefri tidak lagi aktif.
"Bisa, Rin?"
"Nggak bisa. Lukas udah bisa hubungin keluarganya Janu?"
"Gue udah nyoba nelpon ayahnya, sama aja, nggak aktif semua."
"Ibunya? Saudaranya?"
"Ibunya Janu udah nggak ada, gue juga nggak pernah nyimpen nomor saudaranya."
"Aduh, gimana ya?" Wajah kami diliputi kebingungan. Termasuk Janu yang terlihat sangat sedih.
"Udahlah, kita langsung samperin alamatnya aja. Pertama kita cari alamat si Jefri dulu baru nanti gue tunjukkin alamat rumahnya Janu. Gimana?"
"Oke."
Aku berboncengan dengan Janu, sedangkan Gita dengan Lukas.
"Si Yuki nggakpapa nih lo ikutan sama kita, Kas?"
"Santai aja dia mah, paling-paling abis ini gue kena semprot. Enggak, bercanda."
Langit mulai gelap, dengan bermodalkan ponsel canggih milik Lukas, kami mengitari kota mencari alamat seorang Jefri Janardana ini.
"Janu, kamu nggak inget Jefri itu siapa?" tanyaku. Janu yang sedang mengayuh pedal sepeda tak langsung menjawabku, mengingat-ingat sebentar.
"Aku bener-bener nggak ingat, Rin." jawabnya.
"Hm, Lukas juga nggak tahu Jefri itu siapa sih katanya. Yang aku tahu Lukas memang deket banget sama kamu dan keluarga kamu kan? Berarti Jefri bukan keluarga kamu?"
Aku hanya terus mengoceh mempertanyakan keadaan. Tentu saja yang kutanyai pun tak menjawab. Dia tidak tahu dan tidak ingat apa-apa.
Sekitar hampir satu jam mencari, akhirnya kami sampai di rumah mewah yang menurut GPS ponselnya Lukas adalah rumah Jefri.
"Nih rumah Jefri." Lukas memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu mendekati pagar rumah itu.