"Janu,"
"Iya, Bu?"
"Semalam Karin bilang kalau kamu butuh kacamata kan? Ini ada kacamata punya ayahnya Karin dulu. Kamu coba aja siapa tahu cocok sama kamu."
Janu mengambil kacamata milik ayah lalu memperhatikannya sebentar. Dia pun memakainya lalu mengerjapkan matanya beberapa kali, tatapannya langsung tertuju padaku.
"Gimana?" tanyaku.
"Lumayan jelas, Bu. Terimakasih."
"Syukurlah." Ibu tersenyum lega.
"Ayo berangkat, kita udah mau telat nih." ajakku.
"Eh, tunggu sebentar," Ayah menahan langkah Janu yang sudah mau keluar rumah.
"Kenapa, Yah?"
"Ini kemarin Ayah abis perbaiki hape ini. Memang udah agak lama sih modelnya, tapi kamu perlu kan? Ini Ayah kasih ke kamu. Kamu sekarang bisa hubungi kami dan teman-teman kamu." Ayah menyodorkan ponsel berwarna silver itu pada Janu. Mata Janu berbinar dibalik kacamatanya.
"Janu nggak minta hape kok, Yah."
"Nggakpapa, Ayah kasih ini buat kamu. Kamu pasti butuh."
"Terimakasih banyak, Ayah. Pulang nanti Janu bakal bantu Ayah kerja."
"Sudah sana cepat berangkat, sudah jam berapa ini?"
"Karin sama Janu berangkat dulu!"
Aku akui Janu memang terlihat lebih manis saat memakai kacamata, tidak terlihat culun malah seperti orang jenius.
"Aku udah masukin nomorku di hape kamu. Semoga bisa kamu gunakan dengan baik ya." ujarku sambil naik ke jok belakang sepeda.
Tak pernah terbayang tiap pagi hariku akan berubah seperti ini, karena aku bertemu dengan si pewawancara ini. Walau aku adalah hanya bagian kecil dari ingatannya, aku juga ingin dia mengingatku kembali.
🔱🔱🔱
Karena Janu mengiyakan ajakan Lukas untuk mengikuti turnamen futsal, beberapa hari ini aku menemaninya berlatih di lapangan sekolah tiap sepulang sekolah. Beberapa kali juga Janu menyuruhku agar tidak terus menungguiku dan pulang duluan ke rumah tanpanya.