Dia baru saja pulang dari surau setelah selesai menunaikan sholat isya berjamah.
Jarak surau kerumahnya tidak cukup jauh tapi disepanjang jalan itulah dia terngiang-ngiang tentang ajakan si Bidin kawan masa kecilnya untuk tinggalkan kampung dan pergi merantau ke kota besar.
Apa lagi dari cerita si Bidin yang didengar lewat telepon tadi sore itu,dia katanya sudah hidup enak di sana.
"Assalamualaikum!" Dia mengucap salam saat sampai di depan pintu rumahnya.
"Wassalamu'alaikum!" Terdengar suara wanita paruh baya menjawab salamnya dari dalam rumah.
Kreeekk....
Pintunya berdenyit saat dia membuka pintu.
"Sudah pulang Madan dari surau?. Cepatlah nak makan kita lagi, amak sudah menunggu sejak tadi." Ucap wanita tua itu sambil menyiapkan makanan.
Pemuda itu lantas duduk di tempat dia biasa duduk.
"Jadi, bagaimana anak-anak tadi?. Apa lancar mengajinya?"
"Lancar mak." Jawab pemuda itu singkat.
Setelah semua siap, sang ibu ikut duduk bersimpuh dihadapan anaknya.
"Semenjak tadi sore, amak lihat Madan termenung dan merenung, apa ada masalah?" Tanya si ibu.
"Tidak ada masalah apa pun mak." Jawab sang anak yang ternyata bernama Madan.
"Amak ini orang tua mu Madan, orang yang membesarkan Madan, jadi amak ini tidak bisa Madan dustai. Ceritakan lah ada apa sebenarnya?"
"Benar mak, tidak ada masalah apa pun kok mak." Jawab Madan sambil menyuap nasinya.
"Apa karena telepon si Bidin tadi sore itu?" Tebak sang ibu.
Madan terkejut dan menghentikan suapannya.
"Ingin pergi marantau Madan?"
"Tidak mak, tidak mungkin Madan meninggalkan amak sendirian."
"Kalau benar Madan ingin pergi marantau, pergilah, kok amak tidak usah Madan pikirkan. Amak masih kuat, kalau sakit-sakit sedikit ada bibi mu, Ijuih. Yang akan merawat amak."
Madan tidak menjawab lagi, dia lanjutkan makannya.
Suasana rumah sunyi sampai selesai makan.
Selesai makan madan pun langsung masuk ke kamarnya.
Mencoba untuk tidur namun matanya sulit terpejam karena terngiang-ngiang ucapan si Bidin sore tadi.
Dia dilanda dilema yang baginya cukup besar.
"Pergi merantau meninggalkan ibunya dan membangkit batang terendam atau hidup begini-begini saja di kampung,bertani dan jadi guru mengaji?" Pikirnya.
Dinginnya udara malam akhirnya membuat pemuda itu terlelap juga.
********
Matahari mulai naik dan panas cukup terik siang itu.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara azan zuhur.
Madan bergegas keluar dari sawah dan kemudian dia berjalan ke arah kali kecil di dekat sawah itu untuk membersihkan diri serta bersiap-siap untuk melaksanakan sholah zuhur.
Madan selalu membawa perlengkapan sholat jika ke sawah dan dia bisa sholat di pondok dekat sawah tanpa harus pulang.
Biasanya setiap istirahat, dia selalu ditemani ibunya untuk makan siang.
Namun siang itu setelah mengantarkan makanan, sang ibu harus pergi ke pasar katanya ada keperluan.
Pemuda itu makan dengan lahap siang itu maklum sedari pagi sudah bekerja di sawah.
Sawah itu pun bukan sawah milik keluarganya namun dia hanya petani upahan.
Diupah mingguan untuk menggarap sawah orang.
Setelah magrib dia menjadi guru mengaji untuk anak-anak sekitar kampungnya.
Apa pun pekerjaan dilakukannya karena dia lah yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya wafat beberapa tahun yang lalu.
Madan selalu berpikir, diam di kampung akan terus seperti ini atau pergi untuk merubah kehidupan.
Lamunannya buyar ketika dari arah samping kanan terdengar suara orang berdehem.
"Ehkheemm....!"
Madan menoleh ke kanan, dia terkejut namun juga cukup senang dan itu terpancar dari senyum dan wajahnya.
"Nadia!" Seru Madan memanggil sebuah nama.
"Bukan Nadia, tapi Dokter Nadia!" Ujar seseorang dari belakang gadis cantik yang bernama Nadia tadi.
Madan memanjangkan lehernya ingin tau siapa gerangan yang bersuara tadi.
"Rizal!" Seru Madan lagi.
Lelaki yang dipanggil dengan nama Rizal itu tersenyum sambil melambaikan tangan.
Madan segera berdiri dan menyalami mereka satu per satu.
Rizal dan Nadia adalah teman Madan waktu SMP dulu.
Madan dan Rizal malah teman satu kelas bersama dengan bidin.
Sedangkan Nadia merupakan adik kelas mereka.
"Bagaimana kabar bang Rama?" Tanya gadis cantik itu dengan suara lembut.
Madan itu nama aslinya adalah Ramadhan,cuma Nadia yang memanggilnya dengan sebutan Rama.
Sedangkan kawan-kawan yang lain lebih suka memanggilnya dengan nama Madan karena dari kecil amak nya juga memanggil nama dengan nama Madan.
Belum lagi madan menjawab,sudah dipotong oleh Rizal.
"Seperti yang kamu lihat, Madan baik-baik saja dan tetap berteman dengan kerbau hahaha."
"Hush! bang Rizal jangan mengejek seperti itu." Bela Nadia.
"Ahh...tidak kok, apa yang dikatakan Rizal memang betul adanya," jawab Madan tersenyum.
"Tadi si Rizal bilang kamu sudah menjadi dokter ya?. Wah! selamat ya!" Sambung Madan lagi.
"Iya bang, baru 3 bulan ini dan Nadia sudah bekerja di rumah sakit internasional di ibu kot." Ujar gadis cantik itu.
"Wuih...! hebat! di rumah sakit internasional pula!" puji Madan.
"Ahh...bang Rama jangan terlalu memuji seperti itu." Kata gadis itu sambil tersipu malu.
"Begini Madan, kami kesini tidak lama-lama. Ini juga kunjungan kami terakhir karena besok kami akan kembali ke ibu kota lagi." Kata Rizal.
"Iya, kalau Nadia tidak paksa dia, dia tidak mau datang kesini." potong Nadia.
"Kenapa kalian baru datang sudah mau pergi lagi?" tanya Madan.
"Kami disini sudah hampir satu minggu bang." jawab Nadia.
"Sudah satu minggu?"
"Iya betul!"
"Sudah satu minggu, tapi baru hari ini kalian datang menemui ku?. Bagus betul kalian!" Ujar Madan sedikit kesal.
"Kan diawal sudah dikatakan, kalau tidak dipaksa Nadia, aku mana mau kesini".
"Begitu? jadi kalian terpaksa mengunjungi aku?"
Terjadi sedikit perdebatan antara Madan dan Rizal sebelum pada akhirnya ditengahi oleh gadis cantik itu.
"Sudahlah bang Rizal, bang Rama jangan berdebat lagi. Lebih baik bang Rizal beri tau saja tentang kabar gembira ini secepatnya kepada bang Rama." Ujar Nadia kesal.
"Oke...oke..." Rizal mengangguk.
"Kabar gembira apa?" Tanya Madan penasaran.
"Kami akan menikah 3 bulan lagi."
Taaarrr.....!!
Matanya membesar,mulutnya terbuka dan pandanganya kosong ke depan.