MERANTAU

hendri putra
Chapter #2

Episode 2 : MERANTAU

Setelah beberapa hari berpikir dan merenung, akhirnya Madan memutuskan untuk mencoba peruntungannya pergi merantau.

Saat itu hari masih terlalu pagi,kabut malam masih belum hilang.

Madan ketika itu setelah sholat subuh menghampiri Buya Maliki untuk menyampaikan maksud serta mohon izin dari sang Buya.

Buya Maliki orang tua yang berwajah teduh serta pembawaan yang tenang juga berwibawa.

Rambut yang memutih tertutup oleh peci yang selalu dipakainya.

Sesekali sambil berjalan kadang sang buya juga mengelus-elus janggutnya yang panjang dan juga mulai memutih.

Selain sebagai guru silat dan guru mengaji madan waktu kecil, Buya Maliki merupakan sahabat dari almarhum ayah madan.

"Assalamu'allaikum Buya!" Madan memberi salam kemudian menghampiri dan mencium tangan sang buya.

"Wa'allaikumusalam!" jawab buya.

"Buya sudah mendengar kabar dari amak Madan, apa jadi hari ini Madan berangkat?" Tanya sang Buya.

Karena buya sudah tahu, Madan berpikir untuk tidak lagi menjelaskan apa pun kepada buya maliki.

"Betul Buya, rencananya nanti siang Madan berangkat." jawab Madan.

"Dengan apa Madan berangkat?"

"Mungkin madan menumpang dengan uda Saman buya."

"Saman? Saman anak Marlis itu?"

"Iya Buya."

Buya Maliki mengangguk-angguk.

"Jadi begini Buya, Madan hendak minta izin dan minta restu Buya juga nasehat dari Buya untuk bekal Madan di rantau." Lanjut Madan.

"Jika ingin meminta restu, lebih baik Madan minta restu kepada amak. Ridho Allah ridho orang tua, jadi jika amak Madan ridho Madan pergi merantau, Insya Allah jalan Madan di rantau akan lapang selapang-lapangnya,"

"Tapi, Buya cuma bisa berpesan untuk Madan, berjalanlah di jalan yang baik. Dimana bumi dipijak di situ langit di junjung, tahu kata mendaki, mendatar juga melereng. Hormati yang lebih tua sayangi yang lebih muda. Bercanda dengan kawan seumuran dan yang terpenting yang lima waktu jangan sampai tinggal!" Lanjut sang Buya.

"Madan paham dan akan mengingat-ingat apa yang Buya sampaikan. Madan titip anak-anak mengaji ke kawan-kawan yang lain Buya."

Buya Maliki merogoh kantongnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan.

"Ini terimalah, untuk bekal Madan di jalan." kemudian orang tua itu menyodorkan uang itu kepada Madan.

"Tidak usah Buya, Madan masih ada sedikit uang untuk bekal dijalan." Madan menolak pemberian buya Maliki.

Sang buya tetap memaksa dan memasukan uang itu ke dalam kantong baju pemuda itu.

"Mau Madan pakai atau Madan berikan ke amak Madan itu terserah. Tapi tolong terima saja pemberian Buya ini." ujar buya lalu orang tua itu bergegas pergi setelah cucunya datang dan mengajak dia pulang.

"Terima kasih Buya," ucap pemuda itu lirih.

Di Rumah amak Madan sudah mempersiapkan keperluan sang anak yang akan berangkat merantau.

"Assalamu'allaikum...!" 

"Wa'allaikumsalam!" Jawab amak Madan dari dalam.

"Sudah bertemu Madan dengan Buya Maliki nak?" tanya amak madan.

"Sudah mak." jawab Madan singkat sambil meminum kopi yang sudah disiapkan amaknya sedari tadi.

"Ini Buya Maliki menitipkan uang untuk amak." Madan menyerahkan uang yang diberikan oleh buya tadi kepada amaknya.

"Ini terlalu banyak untuk amak500 ribu, ambillah untuk Madan separuhnya."

"Tidak usah mak, amak simpan saja untuk kebutuhan amak, kalau untuk Madan, Madan ada simpanan mak." Tolak pemuda itu.

Kedua ibu dan anak itu saling bercerita dan ngobrol cukup lama.

Sampai pada akhirnya uda Saman datang.

"Tidak jadi ikut kau Madan?" Tanya uda Saman dari balik pintu.

"Masuklah Saman dulu, ibuk buatkan Saman kopi ya?" amak Madan menawarkan.

"Ndak usahlah buk, saya sedang terburu-buru." tolak uda Daman.

Madan mengambil tasnya dan menghampiri amaknya.

"Mak, Madan pergi dulu. Do'a kan Madan bisa membangkitkan batang tarandam dan mengangkat derajat keluarga kita." ucap Madan sambil mencium tangan amaknya.

"Iya nak, amak do'a kan apa yang terbaik untuk Madan dan untuk keluarga in." ujar orang tua itu sambil berhiba hati.

Madan memeluk amaknya,kedua ibu dan anak itu pun saling menangis.

"Jangan lupa pesan amak nak, yang lima waktu jangan sampai tinggal!" pesan amak Madan.

Madan mengangguk pelan.

"Bik Ijuih, tolong jaga amak Madan." pesan Madan kepada Bik Ijuih adik dari amak Madan.

"Madan tenang saja, amak Madan bibi jaga untuk Madan." balas tek Ijuih.

Madan menyalami dan mencium tangan tek Ijuih juga.

"Assalamu'allaikum....!" kemudian Madan berlalu pergi.

"Wa'allaikumsalam!" jawab kedua orang tua itu.

Tampak wajah amak Madan begitu sedih melepas kepergian anaknya, karena baru kali ini ibu dan anak itu terpisah untuk waktu yang mereka sendiri tidak tahu pastinya kapan akan bertemu lagi.

Madan naik mobil truk uda Saman,dia duduk di tengah karena di sebelah kiri ada kernetnya atau asisten sopir.

"Jadi, kemana tujuan Madan kalau sudah sampai di ibukota?" tanya uda Saman sambil menjalankan mobilnya.

"Mungkin saya akan mencari si Bidin dulu da, melihat situasi di rantau baru mencari kerja." Madan menjelaskan.

"Si Bidin? Hahahaha." uda Saman tertawa seperti mencemooh atau meremehkan.

Walau pun uda Saman tau bagaimana keadaan si Bidin di rantau karena sering bertemu. Namun dia enggan menjelaskan ke kepada Madan soal itu karena itu bukan urusan dia.

Truk itu terus melaju menuju ibu kota,menuju mimpi yang masih menjadi misteri bagi Madan.

             *******

Setelah tiga hari dua malam perjalanan,truk yang ditumpangi madan sudah memasuki ibu kota.

Uda Saman menginjak rem dan menghentikan mobilnya.

"Uda cuma bisa sampai disini mengantarkan Madan, dilihat dari alamat yang diberikan si bidin,kemungkinan si Bidin tinggal di pusat kota, sedangkan uda ke arah area industri mengantar muatan mobil ini." kata uda Saman.

Madan diam sejenak dan berpikir.

"O...iya, Madan bisa naik taksi untuak bisa sampai ka alamat si Bidin itu. Lebih mudah daripada Madan naik bis." uda Saman menjelaskan.

"Baiklah, Madan turun disini saja. Hari masih sore-sore, biar Madan tidak kemalaman mencari alamat si Bidin itu." Madan kemudian siap-siap hendak turun.

"Terima kasih uda Saman, telah mengantarkan Madan sampai di rantau."

"Sama-sama Madan,mudah-mudahan apa yang Madan cita-citakan bisa terwujud di perantauan ini." balas uda Saman.

Mereka pun berpisah ditempat itu.

Madan berdiri memperhatikan mobil yang ditumpanginya sampai mobil itu menghilang disebuah tikungan.

"Bismillah!" ujar pemuda itu dengan senyum optimis.

Cukup lama Madan berdiri dan menunggu taksi lewat.

Saat taksi itu lewat,dia pun melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi itu.

Taksi berhenti dan sang sopir menanyakan kemana tujuannya.

"Kemana bang?" tanya sopir itu.

Madan membuka secarik kertas dan menyerahkan kerta itu kepada sang sopir.

"Century no 25? Uni hunian elite ini bang." kata sopir taksi itu.

"Bapak tau alamatnya?" tanya Madan.

"Tau, tapi dari sini cukup jauh bang" jawab si sopir.

"Kalau abang gak keberatan soal ongkos,saya mau mengantarkannya." sambung si sopir tadi.

"Memang berapa pak ongkosnya?"

"Ya sekitar 150 ribu lah bang." 

"Mahal betul?"

"Standardnya memang begitu bang, malah sopir taksi yang lain mungkin bakal mengambil lebih."

Madan berpikir sejenak,diperiksa uang dikantong masih sisa 250 ribu.

"Yang penting sampai dululah." Pikir dia dalam hati.

"Ya sudah pak, antarkan saya!"

Madan kemudian naik dan taksi itu berjalan menuju alamat yang telah ditentukan.

"Abang ini baru datang ke ibu kota ya?" Tanya si sopir memecah keheningan karena dari tadi mereka hanya diam saja.

"Iya pak!" jawab Madan singkat.

"Jadi dijalan century itu abang mau menemui siapa?"

"Teman saya pak."

"Teman?" Tanya si sopir heran.

"Iya, kenapa bapak heran?"

Lihat selengkapnya