MERCY

Gridea
Chapter #1

Part 1 Encounter

Petir menyambar bersahut-sahutan. Menari di langit layaknya pertunjukan cahaya yang epik. Hujan deras mengguyur hutan dan separuh kota. Kabut putih tipis mulai menyelimuti hutan di lembah gunung.

Petir yang cukup besar, menyambar salah satu tiang listrik. Akibatnya separuh kota diselimuti kegelapan. Tak ada aktifitas di luar ruangan. Semua warga kota memilih berdiam diri dalam rumah hingga badai mereda. Menghangatkan badan di dekat perapian, dan minum secangkir susu cokelat hangat.

Tampak dari kejauhan, seorang gadis berjalan menerobos hujan, menembus rindangnya pepohonan. Sekeranjang tanaman herbal berhasil didapatkannya, tergantung di lengannya setelah seharian berkeliling hutan.

"Kenapa tiba-tiba badai datang di hari yang seharusnya cerah?"gerutunya, mendongak menatap langit yang diselimuti awan gelap. Jubah panjang dengan tudung yang dikenakannya, berkibar tertiup angin.

Meski agak lambat dari biasanya, Luna pun tiba di pinggiran hutan. Hanya perlu menyeberangi jembatan untuk sampai di pinggiran kota tempat rumahnya berada. Angin bertiup lebih kencang di sekitar tepi tebing. Jembatan gantung kecil yang menghubungkan kota dan hutan mulai terlihat dari kejauhan. 

Luna mendongak sesaat ke langit. Hari semakin gelap. Awan yang mirip permen kapas abu-abu masih menggantung luas di atas kepalanya. Pertanda badai masih panjang.

Jembatan gantung bergoyang seiring angin yang berhembus semakin kencang. Badai terus mengamuk seakan enggan berhenti. Luna tampak ragu sejenak. Ia menelan ludah sambi menatap jurang yang terbentang tepat di bawah jembatan yang rapuh itu. Ada sedikit keraguan yang mengganggu pikirannya.

"Sekarang atau tidak sama sekali!"seru Luna menyemangati diri sendiri. Kakinya mengambil langkah pertama. Tatapannya penuh tekad.

Tidak ada pilihan karena jembatan itu satu-satunya jalan. Menunggu hingga malam sangat beresiko jika mengingat banyaknya binatang buas yang mungkin saja sewaktu-waktu datang. Bersembunyi juga tak memungkinkan karena hanya pepohonan di sekitar. Tak ada gua ataupun tempat berteduh yang layak untuk beristirahat. Dan terlalu lama di bawah hujan jelas bukan pilihan yang tepat. Belum lagi, petir yang terdengar bersahutan mengerikan.

Angin masih berhembus kencang. Jembatan gantung tempat Luna berpijak, mulai berguncang keras. Namun ia berusaha tetap tenang dengan kedua tangannya semakin erat mencengkeram tali jembatan. Keranjang miliknya pun berayun-ayun tertiup angin.

Berulang kali Luna menarik napas dan membuangnya pelan. Berharap itu cukup meredam debaran jantungnya. Kakinya gemetar tak sanggup menutupi ketakutannya.

Kriiieet! Kratak! Kratak! Buuum!

Suara jembatan yang memang sudah lapuk, terdengar jelas. Namun, suara terakhir itu bukan berasal dari jembatan. Itu lebih mirip suara ledakan di kejauhan.

Luna mengarahkan pandangan ke sekeliling. Hening. Yang terdengar hanya suara angin berhembus, petir bersahutan, dan jembatan lapuk yang hampir tak mampu bertahan.

Serpihan bebatuan kecil berjatuhan dari tebing. Napasnya mulai terengah. Itu adalah badai terburuk yang pernah ia temui, bahkan sialnya ia masih terjebak di luar rumah. Luna semakin panik, dan mulai kembali melangkah, ketika sekali lagi terdengar suara seperti ledakan.

Sinar biru terang muncul, dan menyambar sisi seberang jembatan, tak jauh dari tempat Luna berdiri. Semuanya terjadi begitu cepat. Jembatan runtuh seketika. Menjatuhkan Luna bersama sekeranjang tanaman herbal yang diperolehnya susah payah. Teriakan Luna hilang ditelan derasnya hujan dan petir yang menggelegar.

Apakah ini akhirnya? Tapi aku belum mau mati. Tidak, dengan cara mengerikan seperti ini. Batin Luna meronta bersamaan dengan tangisnya yang larut dalam derasnya hujan yang turun.

Lihat selengkapnya