"Kenapa harus takut melihat langit, Dok?"
Sambil menyalin beberapa catatan medis, dokter menghela napas. Ia merebahkan pundak pada kursi yang sedang menopang tubuh kurusnya, lalu kembali menegakkannya. Ia juga melepas kaca mata bening itu, untuk tetap tegar menatap wajah gadis kecil di hadapannya.
"Ini seperti trauma psikologis." Jawabnya singkat.
Lalu ia mengalihkan tatapannya pada sosok gadis bertubuh mungil, tepat berada di sebelah sang ibu. Tatapannya kosong, hanya memainkan jemari. Sedangkan sang ibu, ia mulai meneteskan air mata, tanpa isak tangis, tapi jelas ia sedang berkabung.
"Mulai sekarang, kita harus lebih fokus pada perkembangan Psikologisnya, beri perhatian lebih agar kondisi kembali normal." Sambung dokter sambil menyodorkan kotak tissu.
Bella bukan hanya menjadi anak tertua dalam keluarganya, tapi ia juga anak perempuan pertama dan memiliki seorang adik laki-laki berusia 5 tahun lebih muda darinya. Kini Bella sudah duduk di kelas 3 SD. Lingkungan tempat Bella tinggal juga bisa dikatakan strategis, dekat dengan keramaian, juga akses yang sangat mudah. Meskipun bukan bermukim di kota besar, namun Bella tak kekurangan apapun.
Aisyah juga tak kurang memanjakan putri semata wayangnya itu. Ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Bella. Meskipun kondisi ekonomi keluarga Bella tergolong sederhana, namun Aisyah tetap fokus mengutamakan kepentingan Bella.
Lagi, Aisyah masih saja tak percaya, kakinya gemetar, begitupun dengan jemarinya. Ia tak menyangka Bella mengalami trauma yang begitu besar. Kecurigaan itu sudah beberapa Minggu yang lalu dirasakannya, namun ia tak berpikir sejauh itu.
Cerita apa yang selama ini tersemat pada Bella? Sampai ia harus mengalami trauma yang begitu berat. Aisyah masih bertanya pada diri sendiri, kesalahan apa yang ia lakukan atau apa yang ia abaikan sampai sang putri kesayangannya berubah?
Ya, Bella ketakutan saat melihat langit.
Ia merasa seolah langit akan runtuh jika ia berada di bawahnya. Sejak saat itu, Bella enggan keluar rumah, atau hanya sekadar main di teras pun ia tak sudi.
Saat pulang sekolah, ia memilih memakai topi dan jaket, agar tidak melihat langit. Perasaan sakit yang ia tahan, tak ada satu pun yang paham.
Di sekolah pun Bella sering di-bully, ia dianggap gila oleh teman-temannya karena tidak mau bermain di luar kelas dan selalu mengatakan bahwa langit akan runtuh.
Beberapa guru mulai menyadari perubahan sikap Bella dan menyampaikannya kepada Aisyah. Sang ibu sontak kaget. Sudah sejauh itu, dan Aisyah tak pernah sadar.
Wajar saja, Aisyah tidak pernah berada di rumah saat siang hari. Bella dititipkan kepada sang nenek yang sudah sepuh. Jangankan untuk menjaga Bella, dirinya sendiri sudah tak mampu berjalan lebih dari 5 menit. Nenek hanya mampu sekadar mengingatkan rutinitas yang harus dilakukan oleh cucunya, seperti berangkat ke sekolah, makan dan tidur siang, pergi mengaji, mengerjakan PR, serta tidur tepat waktu.