"Mas, salah aku apa? Setiap pulang kerja kamu selalu marah-marah." Tanya Rena.
"Sudah, kamu jangan cari gara-gara, aku lagi capek, apa kamu mau aku pukul lagi?" Ancam Feri.
"Yang cari gara-gara itu kamu mas, setiap pulang malam, selalu marah-marah tanpa sebab."
Tanpa menjawab ucapan Rena, tiba-tiba saja Feri menampar dan mendorong tubuh Rena hingga terjerembap ke lantai.
Namun Rena diam saja tidak melawan, seakan dia menunggu Feri untuk melakukan kekerasan lagi kepadanya.
"Kenapa kamu selalu kasar sama aku mas, kalau ada apa-apa ngomong, jangan selalu mukulin aku, sakit kamu mas."
"Kamu yang sakit Ren, kenapa kamu tidak pernah membalas aku? Seakan kamu merasakan kenikmatan atas kekerasan yang aku lakukan, kamu yang sakit jiwa Ren!" Bentak Feri pergi meninggalkan Rena.
Rena duduk termenung masih diatas lantai yang dingin. Entah pertengkaran ini sudah yang keberapa kalinya, sejak mereka menikah tiga tahun yang lalu.
Tahun pertama pernikahan mereka, Feri selalu bersikap hangat kepada Rena. Namun ketika Rena mengutarkan niatnya ingin memiliki anak, sikap Feri berubah seakan tidak menginginkannya.
Feri selalu marah-marah jika Rena membahas masalah anak, Rena juga tidak tahu apa alasannya, karena Feri tidak pernah menjelaskan kepadanya.
Dulu, Rena memutuskan untuk menikah dengan Feri, selain ia mencintainya, juga karena ia yakin Feri orang yang baik dan bertanggung jawab terhadap hidupnya kelak jika sudah berumahtangga nanti.
Dengan sikapnya yang baik, santun dan terlihat sangat mencintainya, tidak ada alasan Rena untuk menolak pinangannya kala itu.
Karena Feri berjanji kepada ibunya Rena, kalau ia akan selalu membahagiakan Rena, selalu membuatnya tersenyum, dan tidak akan pernah membuatnya menderita.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Hampir dia tidak pernah membuat Rena tersenyum dan bahagia lagi, malah selalu marah-marah dengan alasan yang tidak jelas dan kerap melakukan kekerasan terhadap Rena.
Rena lupa kapan terakhir kalinya Feri membuat dirinya bahagia, karena yang ia ingat, ia selalu disakiti dan sering dicaci maki tanpa tahu alasannya.
Hatinya kini remuk redam, sudah hancur berantakan. Tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa.