Mereka Bilang Saya Mandul

Nurina Listya
Chapter #1

Perempuan Tua dan Laut

Ada dua hal yang menghantui Sarah pagi itu.

Satu, menyadari sesaat lagi v*****nya bakal dikilik-kilik alat USG, dan dia (harusnya) sukarela mengalaminya.

Dua, melihat kasir rumah sakit dengan wajah tanpa dosa beberapa jam lagi menunjukkan deretan angka. Angka-angka yang -dapat dengan mudah ditebak- akan menenggelamkan rekening tabungannya.

Ia melirik patung perempuan di tengah meja marmer. Plitur kayu pada kulit perempuan itu berkilat manja ditempa cahaya lembut lampu di ruang tunggu. Warna kayunya coklat tua dan permukaannya halus, bisa jadi dibandrol enam digit rupiah. Jujur saja, dari caranya menelengkan wajah, perempuan itu terlihat agak angkuh di mata Sarah. Kedua matanya balas menatap lalu cengengesan usil tanya, "Sudahkah Anda cek saldo sebelum kemari hari ini?"

Sarah mencibir sedikit. Iseng, dia memajukan badan dari sofa kemudian menjulurkan tangan. Dengan telunjuknya setitik saja dia geser patung perempuan itu supaya tak lagi menghakiminya.

"Ehem..." pelan suara di sebelah berdeham tertahan. Pelan sekali.

Sarah menoleh. Sepasang ulat bulu gendut yang ia hapal bentuknya, menyatu. Suaminya menautkan alis. Bertanya-tanya. Ia balas menyengir saja, selanjutnya kembali bersandar di sofa tunggu.

Matanya masih melihat suaminya, Abraham Arizal, yang kembali tampak kalem. Mau tak mau ia akui, lelaki itu seperti cocok-cocok saja duduk di ruang tunggu ini. Keduanya memberi suasana yang sama: tenang, agak misterius dan berwarna beige, krem keabu-abuan.

Beberapa saat sebelumnya, waktu pagi-pagi ia dan Bram berangkat dengan mobilnya yang biasa saja dari rumah, Sarah merasa bak memulai petualangan yang baru. Petualangan besar. Berdua saja. Ia, si perempuan tua ini, dan suaminya. Berlayar ke samudra lepas asing dalam bentuk klinik kesuburan di rumah sakit, yang tak kelihatan ufuk timurnya. Petualangan yang mendebarkan.

Begitu tiba di parkiran rumah sakit, setitik perasaan tadi makin menggelitik hatinya.

Hamparan parkiran itu sepenuh parkir di pusat perbelanjaan waktu tanggal habis gajian. Nun jauh dari ujung tempat mereka bisa parkir, lobi rumah sakit terlihat. Dan, dengan jantung berdegup agak sebal, Sarah bisa melihat kolom-kolom kokoh lobi itu yang berlapis entah marmer entah batu alam apa. Pokoknya dia bisa melihat kilapnya yang menggentarkan itu dari jauh.

Ketika masuk lobi melewati sepasang pintu kaca otomatis, titik perasaan itu meluas sampai lipatan-lipatan ususnya. Dia merasa sedikit mabuk laut sekarang.

Rumah sakit orang kaya tidak berbau karbol atau cairan pembasmi kuman, mereka berbau seduhan kopi dan aroma panggangan roti. Di lobi yang lapang itu, tidak cuma ada pusat informasi, di kanan kiri berjajar kafe, toko kue, dan restoran-restoran. Lengkap dengan area makan serta area duduk-duduk yang dipenuhi lautan sofa gemuk bak roti sobek. Betul-betul menyerupai pusat belanja dan wisata kuliner dibanding tempat berobat.

Di sini Sarah sudah hampir saja, sedikit lagi, balik lagi keluar lobi. Lalu pulang saja ke rumah, rebahan di sofa sambil membelai-belai deretan angka di rekening layar HP-nya. Angka-angka yang ia dapatkan dari keringat dan airmatanya sendiri (kadang pendingin ruangan di kantor lamanya sedang diperbaiki, jadi tentu ia berkeringat waktu bekerja).

Tetapi di sisinya, Bram, suaminya, tetap melangkah tenang. Kedua kaki tambatan kapal hidupnya itu maju perlahan di lobi lapang yang sama sekali tidak lengang pagi itu. Melintasi orang-orang dengan parfum menguar yang, dari wanginya, curiga dibandrol tujuh digit rupiah. Seolah lanjut berjalan di sini hal biasa saja begitu.

Sejenak lelaki itu menengok ke belakang, menganggukkan kepala sembari berkata padanya,"Yuk?"

Sarah berkedip-kedip di tengah lobi, sibuk memutuskan mau dibawa kemana hidupnya. Sebelum akhirnya mengekor lelaki itu.

Mereka naik lift berhenti di ruang tunggu lantai lima, mengambil nomor antrean dan selembar kertas stiker berisi data Sarah. Lalu diberitahu bisa menunggu di lantai enam. Untuk ukuran rumah sakit, memang semua orang tampak lebih gesit untuk memberi informasi. Namun ketika di ruang tunggu lantai enam, mereka agak bingung harus kemana.

Ruang tunggunya lebih mungil, tapi tetap warna krem keabu-abuan dan diterangi lampu tanam bercahaya putih hangat yang lembut. Dari ruang tunggu, ada dua koridor kanan dan kiri.

Lihat selengkapnya