Waktu menjejak lantai ruang periksa, Sarah sungguh mengira hidupnya sudah selesai.
Tamat tak bersambung. Iya, berlebihan sih. Apalagi sesak yang menghimpitnya susah ia singkirkan. Pesona pintu ruang periksa dokter sungguh memikatnya untuk balik badan keluar lagi. Walau entah bagaimana ia sukses melangkah dan akhirnya duduk juga di hadapan dokter kandungan konsultan kesuburan, suatu spesies baru yang sepanjang ia menikah belum pernah ia jumpai.
"Halo, Bu Sarah," dr. Zachary tersenyum menyambut dari kursinya, tanpa aba-aba ditambah tanya, "Sekarang usia berapa, Bu?"
Sarah pelan menyebut usianya, tua menurut standar usia perempuan yang berusaha hamil. (Kalau dipikir lagi, tua juga meski tanpa mau promil. Yang jelas dia mulai merasa senang dipanggil 'kakak' alih-alih 'bunda' oleh penjaga toko di pusat belanja. Walau kita semua sama-sama tahu, sudah pasti itu kan strategi jualan).
Roman muka dokter itu biasa saja sih, tapi boleh jadi barusan dokternya menghela napas gara-gara pasien yang ini terlalu tua. Sarah mengembangkan lubang hidungnya. Menanti pertanyaan berikutnya.
"Sudah berapa lama pernikahannya?"
Nah ini. Sarah hapal betul. Kalau ditanya: "Udah nikah berapa lama?" Di kondangan, biasanya disusul nada julidawati (serta julidawan), "Ih kok belum isi sih?"
Hampir saja dia menggertakkan gigi (dan membalikkan meja di depannya) kalau tidak buru-buru ingat barusan yang tanya seorang dokter kandungan. Satu-satunya pihak yang masuk kategori sopan soal tanya-tanya isi atau nggak isi. Lalu ia sebutkan jumlah tahunnya, yang hampir dua periode ganti presiden itu.
Lanjut disusul pertanyaan, "Apakah dicatat hari keberapa siklus haid hari ini?"
Sarah langsung cemas menghitung dalam hati, lalu tiba-tiba ingat ia punya catatan di aplikasi telepon selulernya. "Ini hari ke sembilan, dok."
"Ah, baik. Seharusnya dicek pada hari kedua, atau ketiga tiap siklus, Bu. Tapi nanti kita cek saja dulu," dokter itu menyahuti.
Perempuan itu mengangguk, wah dia telat seminggu. Kalau-kalau ada yang bertanya padanya, tips promil pertama dari Sarah, periksa ke dokter ketika hari haid kedua atau ketiga.
"Pertama kali haid di usia berapa Bu?"
Dia mengingat-ingat dan menyebut umurnya dulu waktu pertama datang bulan.
"Apa selama ini haidnya tiap bulan datang? Berapa hari biasanya?" Kata dr. Zachary sembari menulis-nulis.
"Iya, dok." Sarah melanjutkan, "Biasanya lima sampai tujuh hari."
"Normal ya Bu. Untuk jarak tiap siklus rata rata berapa, Bu?"
"Err, biasanya agak panjang," Sarah menjawab. Dari dulu dia iseng menghitung di kalender tapi supaya hitungannya pasti, ia mengintip hpnya lalu menyebutkan kisaran jumlah harinya.
"Oh, itu masih masuk jumlah hari siklus yang normal. Normal biasanya antara 21 hingga 35 hari."
Dia mengangguk, baru tahu. Ini tips promil kedua darinya, catat segala hal rinci soal haid.
"Nah, setiap haid, ada keluhan kah?" Dr. Zachary menambahkan, "Sakit yang amat sangat?"
"Kebanyakan tidak sakit dok. Paling hanya pegal dan sedikit kram perut."
Sarah mengingat selagi berujar, "Kadang kalau kram sekali, minum jamu kunyit asam gitu, dok."
Saat remaja, dia baru sadar soal kadar gawat atau tidaknya sakit menstruasi. Waktu SMA, teman sebangku Sarah selalu kesakitan ketika datang bulan. Wajah remaja perempuan itu pucat selagi meringis tanpa suara dan keringat dingin berlarian dari dahinya. Baru kali itu dia melihat seseorang kesakitan sampai tak bisa bicara.
Sarah hanya bisa membantu mengisi botol kompres air panas dari dispenser sekolah. Bingung harus bagaimana menolongnya. Lalu beberapa kali akhirnya mengantarnya ke ruang UKS. Bahkan sesekali kawannya itu izin tidak masuk sekolah sebelum dan pada hari awal menstruasi.
Beberapa bulan kemudian, temannya cerita, "Gue baru dianter nyokap ke dokter kandungan." Sambil bisik-bisik.
Mata Sarah membulat waktu itu. Untuk remaja di zaman tanpa mengguritanya media sosial, pergi ke dokter kandungan itu seperti pergi ke bulan. Ngeri-ngeri sedap. Apalagi takut digosipi hamil segala rupa.
"Terus, di USG cobaa..." Bisik kawannya lagi. Sejurus kemudian buru-buru disusul klarifikasi, "USG nya di perut lah, kan gue belum married."
Dia menyimak temannya menjelaskan lebih seru. Nama kondisi itu endometriosis, makanya tiap mens selalu menyakitkan. Ternyata itu gangguan pada lapisan dalam rahim, endometrium. Lapisan dalam ini yang meluruh tiap kali seorang perempuan haid.
Akhirnya kawan sebangkunya itu menenggak tablet yang diresepkan oleh dokternya supaya tidak tersiksa tiap bulan. Dulu dia terpana karena pengetahuan soal itu misterius untuknya. Di zamannya, kebanyakan remaja asing dengan pengetahuan reproduksi sendiri. Tidak ada yang membicarakan soal itu terang-terangan, baik keluarga atau guru. Paling mendekati ya saat belajar biologi reproduksi manusia, itu juga baru di penghujung masa SMA.
Sumber terpercaya seperti pengalaman kawannya ini, melekat lama di dalam benak. Makanya Sarah merasa bisa mengukur bahwa selama ini hari-hari datang bulannya tidak terlalu mengganggu kegiatan.
"Kalau keputihan? Apa sering ada sehari-hari?" Tambah dokter itu.