Dulu Sarah lebih memilih dikatai 'monyet' dibanding dikatai 'mandul'.
"Dikatai 'monyet' itu seperti pembuktian demokrasi," itu batin Sarah dengan sok serius. Apapun latar belakangnya, satu orang sama punya satu suara. Kira-kira begitu. Semua orang pada hakikatnya sama saja.
Pernah dia menyaksikan sebuah perselisihan panas karena berebut lahan parkir -sungguh hiburan yang hakiki. Dia sedang menunggu abang ojeknya datang di pelataran suatu pusat perbelanjaan, waktu kegaduhan itu terjadi.
Mall sedang penuh-penuhnya, tempat parkir kosong adalah harta paling berharga. Apalagi kalau dekat dari pintu masuk. Tepat di seberang pelataran lobi masuk, sebuah mobil mendecit keluar parkir.
Dari arah barat melaju kendaraan sport hitam tinggi besar. Tak mau kalah, dari arah timur meluncur mobil sedan putih.
Kata orang, semakin pendek jarak ke aspal, semakin cepat sebuah mobil. Tampaknya itu benar. SUV itu kalah cepat, yang berhasil menukik ke lahan parkir kosong adalah mobil sedan. Namun pertarungan belum usai.
Lelaki di SUV hitam tinggi besar membuka kaca.
Sekonyong-konyong berteriak panas, "Monyet, lu!" Bayangkan seekor gorila, hitam tinggi besar, sedang menepuk-nepuk dada, meraung di kerajaan binatang.
Lelaki di kendaraan satu sempat-sempatnya ikut buka kaca.
"Lu juga monyet!" Kemudian balas menghardik walau sedang bermanuver cerdik masuk ke lahan parkir itu. Boleh jadi dia seekor orangutan yang kita sama-sama tahu cukup cerdas untuk buka kelapa pakai batu.
Sarah berkedip-kedip, ikut merasa jadi bagian kerajaan monyet. Dia mungkin simpanse yang bakal cengar-cengir sambil tepuk tangan waktu ada ribut-ribut. Tentu agak jauh di pinggiran sembari ngemil-ngemil pisang.
Manusia dan monyet. Keduanya sama-sama mamalia dan primata. Bernapas dengan paru-paru dan berkembangbiak dengan melahirkan. Cuma yang satu berambut sekujur tubuh sementara yang satu pitak dimana-mana. Perkara akal dan tidak berakal itu bisa dibicarakan.
Dikatai monyet atau tidak monyet, tetap saja ciri manusia lebih mirip monyet dibanding.. Pohon pisang, misalnya.
Atau biawak misalnya, kalau mau contoh lain dari dunia hewan. (Kecuali Kamu wahai buaya 'Halo dek', tentu lebih mirip biawak dibandingkan monyet).
Sementara dikatai mandul, lebih suram layaknya masa penjajahan. Seperti pembuktian bahwa Tuhan memang err... Tidak begitu adil. Atau paling tidak, kalau memang penyataan Dia Maha Adil itu tak terbantahkan, keadilannya tidak terlalu terlihat di dunia. Dalam hal ini soal punya atau tidak punya anak.
Contohnya begini, waktu itu sebuah rapat di kantornya baru saja usai. Pertemuan kali itu bersama rekan-rekan dari bagian lain yang jarang ditemui. Orang-orang saling mengobrol selagi menunggu konsumsi dibagikan. Dalam pelukan pendingin ruangan, aroma kafein menguar membuat orang merasa ingin ngopi-ngopi cantik.
Baru bangkit lalu mengelilingi sisi meja rapat sebesar dua bis kota yang memenuhi ruangan, Sarah berpapasan dengan sebut saja Pak Ogah dan Ableh, dua laki-laki rekannya. Ngobrol sesaat, tiba-tiba soal itu dibahas juga.
Pak Ogah melipir topik tanpa aba-aba, "Btw, sekarang Bu Sarah anaknya berapa?"
Sarah mengernyit waktu terperosok pertanyaan itu.
"Hm. Belum ada." Jawabnya bak gado-gado berkaret dua, jelas-jelas ingin menyudahi basi-basi itu (Ini bukan typo).
"Lho? Bukannya udah satu anaknya? Laki-laki kan?" Sahut si Ableh.
Cenayang amat bapak itu, batinnya sekarang.
Sementara Pak Ogah masih mengejar, "Bukannya nikah udah lama? Berapa tahun sih?"
"Tiga tahun," dia berujar sekenanya. Itu juga sudah dikorting, soalnya aslinya sudah nyaris satu periode ganti presiden.
"Waduh! Kalo tiga tahun mah berarti mandul dong!"