Jika sekarang Sarah cuma punya satu kesempatan bertanya dalam hidupnya, dia jelas bakal menodong, "Apa sebabnya sel telur saya kecil, dok?! Kenapa?"
Apa, dok, apaa... Kemungkinan besar sambil mengguncang-guncang dengan heri (heboh sendiri) miniatur rahim dari keramik di atas meja dr. Zachary.
Tentu ini tidak jadi dia lakukan. Alasannya ada dua.
Satu, dia tidak mau dokternya kapok menerima dia sebagai pasien.
Atau lebih parah, malah dia digeret keamanan gara-gara bikin rusuh di rumah sakit. Kemudian videonya meledak di media sosial. Oh tidak. Tidak bisa, dia tidak cukup kaya dan kuat mental untuk melalui itu semua.
Dua, dia baru sadar ada sosok lain di ruang periksa itu. Bermata jeli selagi menempel di dinding belakang dr. Zachary. Betulan melekat rapat pada dinding. Seolah bermaksud jadi makhluk tak kasat mata, atau tokek raksasa.
Seragam laki-laki itu sewarna perawat di RS ini, meski dari tadi dia tak menggantikan perawat 'selamat pagi Emak' itu. Betulan hanya bergerak memperhatikan lekat-lekat dokternya. Sarah sibuk menyapu tambahan rasa malunya ke pojok hati sementara menyadari sesuatu. Bisa jadi itu mahasiswa dokternya. Entah calon dokter, sedang koas, intern apa itu istilahnya atau malah calon dokter spesialis. Soalnya RS Z ini satu keluarga dengan sebuah universitas yang memiliki fakultas kedokteran. Walau jelas untuk belajar, tak ayal ia merasa ganjil ditonton sepanjang sesi periksa begini.
"Untuk siklus bulan ini kita pantau saja dulu Bu," dr. Zachary memberitahunya. Pulpen kembali mencuat di tangannya, sibuk catat-catat.
Ia mengiyakan dokter itu, sesekali melirik tambahan sepasang mata di balik punggung dokternya.
"Baru kita mulai di siklus bulan depan. Nanti ibu ketika haid hari kedua dicek lagi," lanjut dr. Zachary.
"Baik, dok," jawab perempuan itu sembari berpikir kapan melontarkan pertanyaan super penting tadi.
"Saya tambah juga asam folat untuk persiapan kehamilan dan vitamin D, ya Bu."
Sarah lagi-lagi mengangguk. Namun kali ini lalu ngebut bertanya, "Dok, kenapa sel telur saya kecil ya?"
"Banyak faktor, Bu. Bisa dari usia, hormon, radikal bebas. Tadi itu, stres..." Ungkap dokternya, tidak terlalu menggebu.
Bisa jadi memang tidak begitu penting penyebabnya, pikir Sarah.
Dokter itu diam sejenak. Sebelum kembali menatap Sarah dan Bram bergantian,"Nah, Bapak dan Ibu. Kemudian, untuk promil perlu dicek kedua pihak. Baik istri maupun suami karena keduanya berperan di sini."
Mungkin ini tips promil dari Sarah berikutnya: Datang cek bersama suami, karena laki-laki juga ikut andil dalam pembuahan kan.
Dr. Zachary menambahkan, "Usia bapak berapa sekarang?"
Suaminya menyebut sebuah angka kepala tiga.
Beberapa waktu lalu, Sarah sambil mesem-mesem baca berita usia rawan hamil itu tiga puluh tahun. Tentu untuk perempuan. Ini menurut kepala BKKBN. Dia sudah mau menyinyiri pernyataan itu pada suaminya. Protes buat apa ngurusin umur perempuan ditambah makin galau dia jauh lebih tua dari 'ambang batas hamil' itu.
Tetapi hanya bisa meringis getir waktu tahu kepala BKKBN ternyata dokter kandungan. Semangat ghibahnya mengempis seperti balon ditusuk jarum. Meski dua tahun berikutnya, berita dari kepala badan kependudukan itu jadi usia rawan hamil sekitar 32 hingga 35 tahun. Dan Sarah tidak pernah jadi lebih muda sepanjang waktu berjalan. Ya sudah, dia cuma bisa sadar kalau ini resiko pejuang garis dua yang keburu tua namun belum hamil juga.