Berkawan dengan Hanna selama tiga dekade, Sarah selalu percaya diri ia bisa menebak apapun yang bakal temannya ucapkan. Apapun.
Tetapi waktu siang ini suara perempuan itu-yang si empunya tanpa malu-malu mengaku sebagai kembaran Putri Marino- terpantul di dasar kolam, ia jadi ragu.
"Sar, latihan renang di kolam dalam yuk!" Seru Hanna.
Bagai disengat tawon, kedua kupingnya seketika pengang diterpa gelombang usulan Hanna. Sarah yang sedang meluncur ke tepi kolam kewalahan ketika tanpa peringatan air menyerbu masuk lubang hidungnya. Perih seperti dikecup seekor ubur-ubur.
Tak mau kalah, ia masih berusaha berenang hingga ujung. Ini baru putaran keenamnya. Sebut ia perenang pemula yang ambis (baca: banyak waktu senggang) namun ia sudah bertekad bisa berenang delapan putaran saat datang di kolam siang ini. Sayangnya ia tak mampu menahan protes yang meluber dan sekonyong-konyong menjerit bodoh sewaktu giliran muncul ambil napas,"Kolam dalam?!" Air kolam kali ini berbondong-bondong menyergap mulutnya.
Gelagapan kembali dipenuhi air berkaporit, Sarah bergegas menapak dengan kedua kakinya di dasar kolam renang. Padahal sedikit lagi sampai ujung kolam.
Ia dua kali mencelupkan kepala ke dalam air. Menghempas gelembung-gelembung udara dari hidungnya sebelum kembali muncul di atas air. Sampai akhirnya tidak begitu perih untuk lanjut berseru, "Takut ah!"
"Yaa sama pelatih dong, Sar..." Hanna berujar ringan seolah barusan tadi mengajak jajan seblak. Suaranya agak menjauh terbawa arus.
Kawannya itu menguar-nguarkan kaki waktu mengambang dengan punggung di atas permukaan air. Mengambang tenang ke tengah kolam.
Sarah memandangi pucuk bangir hidung temannya yang pelan-pelan menjauh. Walau tergoda untuk senggol bacok dengan Hanna akibat ancaman berenang di kolam dalam tadi, aroma samar bunga Kamboja dari sisi-sisi kolam mampu juga meredam gelombang kehebohannya. Mengingatkan kembali tujuannya untuk menenangkan diri hari ini.
Kolam renang umum itu sepi di siang hari kerja ini tetapi ia merasa percuma bertarung dengan suara kecipak air yang menyembur dari sisi-sisi kolam. Juga kedua lututnya yang masih bergetar membayangkan 'itu', dasar kolam dalam. Gelap dan rutin datang di mimpinya waktu sakit demam.
Hanna dan dirinya baru belajar berenang ketika mereka berdua sudah punya gaji sendiri. Motivasinya? Suka iri -dan cenderung medit- karena kalau tugas keluar kota menginap di hotel kok rugi tidak bisa pakai kolam renang hotel yang cantik-cantik itu. Tetapi kalau ditanya orang kantor, keduanya kompak beralibi, "Biar biasa olahraga, mau hidup sehat."
Kala itu keduanya dipandu seorang pelatih, yang waktu ditanya: apa masih bisa walau sudah tua baru belajar renang?
Pelatih perempuan itu tertawa sambil berujar, "Siswi saya ada yang berusia 80 tahun. Udah biasa dan banyak mengajar orang dewasa."
Kedua sahabat itu mengangguk semangat meski latihan renang itu selain lumayan merogoh kantong mereka, juga membuat mereka seperti sepasang paus yang ketakutan tenggelam di kolam cetek. Di tengah-tengah gerombolan bocil yang cekikikan bermain air. Hingga kedua perempuan itu senang waktu di akhir lima kali pertemuan akhirnya bisa berenang.
Satu lagi hal di daftar harapan dalam hidup yang bisa Sarah coret. Namun dia dan Hanna baru berani berenang di kolam yang tak lebih tinggi dari tubuh mereka. Coba-coba di kolam dalam, kedua perempuan itu berakhir melekat beriringan di dinding kolam seperti keong tutut di tepi sawah.
"Suatu hari nanti! Kalau sudah lancar, kita pasti bisa di kolam dalam!" Pekik Hanna menggema di dinding batu alam belakang kolam. Rok di baju renangnya berkibar-kibar bak bendera.
Tak ayal di mata Sarah, sahabatnya terlihat segigih Bung Tomo di hotel Yamato.
Tahun-tahun berlalu dilahap kepadatan kerja, dan renang seringnya hanya jadi pelarian waktu senggang, yang tidak terlalu banyak. Kemudian tiba di waktu sekarang, saat kebebasan datang. Dia si pengangguran yang sedang berusaha hamil, waktunya kali ini betulan lengang. Sahabatnya merintis usaha yang bisa ditinggal-tinggal, tidak harus sepanjang waktu habis seperti dulu temannya terkungkung di kantor.
Kedua alis Sarah melenting. Seharusnya dia bisa memprediksi ini. Dia akan menodong lebih jelas pada Hanna. Nanti, ketika temannya balik ke tepi kolam. Selagi bersandar di dinding kolam renang, ia memutuskan untuk bersantai. Meninggalkan bayang-bayang dasar kolam dalam di balik kerutan otaknya.
Sarah mengangkat kedua tangan, pura-pura terbang di antara kerimbunan taman yang mengelilingi kolam renang umum. Angin lirih berhembus dari sela-sela ranting pepohonan yang berjajar di tepi kolam. Sehelai bunga kamboja jambon terombang-ambing di atas air membawa pikirannya teringat beberapa hari lalu. Ketika ia dan Abraham kembali lagi ke klinik kesuburan di rumah sakit Z.
Meski hari kedua pada siklusnya kali ini ada di hari kerja, namun karena perlu konsultasi soal analisis air mani jadi sekalian ia berangkat bersama Abraham. Sarah dicek USG transvaginal seperti sebelumnya. Jelas bukan kegiatan kesukaannya, walaupun dia berusaha menghibur diri. Setidaknya sekarang tubuhnya sudah bisa di USG transvaginal. Hore! Ini lho, dia, Sarah Annisa yang akhirnya bisa USG lewat v*****. Persis layaknya perempuan pada umumnya.
Cek ketebalan rahim, kemudian kondisi sel-sel telurnya di sisi kiri dan kanan indung telur.
Kesimpulan dr. Zachary membuat hatinya cerah.
"Bu, endometrium atau lapisan rahimnya bagus. Sesuai dan normal ketebalannya." Dokter itu mengangguk.
Ditenangkan begitu oleh seorang dokter kandungan konsultan kesuburan, ia sedikit menghela kegelisahannya. Harapan perlahan terbit dalam hati Sarah. Dia tidak menimang harapan sebesar itu waktu pertama melangkahkan kaki ke klinik kesuburan.