Di usianya yang kepala tiga, Abraham Arrizal tidak menyangka dia bakal ditodong untuk m*********. Iya, 'solo karir' mengeluarkan sperma!
Akhir pekan itu, selepas fajar menjelang, waktu sekuriti komplek perumahan masih menguap saat membukakan portal, Bram berangkat ke rumah sakit bersama istrinya. Sebetulnya dia agak cemas.
Tadi malam dia baca-baca soal analisis sperma. Tentang apa saja yang akan dianalisis, dari jumlah, pergerakan hingga bentuk sel sperma. Banyak informasi yang ia serap. Tetapi yang paling dia pikirkan sekarang adalah: cara mengeluarkannya.
Dia melirik istrinya.
"Hoam..."
Menguap juga persis satpam tadi. Embun menyamarkan kaca samping tempat duduk Sarah.
Bram kembali menatap jalan di hadapannya. Saat menghindar dari ibu-ibu pemotor sein kiri belok kanan, ia mendengar grasak-grusuk dari sisinya. Tuplak, suara kotak makan dibuka. Aroma telur dadar memenuhi mobil.
"Bang, sarapan dulu," suara cicitan istrinya.
Ia mengangguk. Mungkin istrinya tidak lihat, soalnya perempuan itu kembali bersuara.
"Udah lapar belum?"
Kruk... Lambung Bram menjawab pertanyaan itu.
Suara kelontang sendok garpu terdengar seperti aba-aba.
Dia mangap layaknya seekor kuda nil di kebun binatang. Istrinya memasukkan sesendok makanan. Munjung. Rasanya seperti dijejali satu sekop nasi dan telur dadar.
Sembari pipi menggembung ala tupai, dia mengunyah perlahan. Ada yang beda dari telur dadar ini, apa ya? Pikirnya.
"Aku nyobain resep baru. Namanya shaksuka." Istrinya berkicau.
Sha apa? Batinnya.
"Shak shoo kah," celetuk istrinya memecah suku kata.
Dari dulu dia curiga Sarah bisa baca pikirannya.
"Jadi telurnya diceplok langsung bareng tumisan tomat. Sampai tomatnya berubah kayak saus gitu." Suara Sarah terhenti waktu perempuan itu ikut sarapan.
Nah, kan. Bram mencecap ulang sedikit. Oh, pantas berbeda. Dia menelan makanannya. Lalu tanpa banyak pikiran, mangap kembali.
Satu sekop kembali masuk. Duh lupa. Mestinya pas mulut kosong dia bilang jangan kepenuhan isi sendoknya.
"Harusnya pakai paprika bakar. Ih, mana punya. Akhirnya pakai paprika iris aja biasa."
Bram mengangguk.
"Habis itu, ditambah rempah-rempah lainnya. Corriander, cumin, bawang bombay, apalagi ya tadi?" Jeda itu istrinya kembali ikut makan.
Betul kata orang, perempuan itu punya stok dua puluh ribu kata untuk diucapkan per hari. Atau malah tiga puluh ribu kata ya? Lupa.
"Mm," Bram menyelesaikan gumaman sebagai sahutannya dengan mulut penuh.
Dia lanjut mengunyah telur dadar, eh telur shaksuka tadi.
Beberapa suapan berikutnya diiringi kuliah singkat soal si resep telur barusan. (Asalnya dari Tunisia di Afrika Utara, dsb dsb)
Lelaki itu mendengarkan selagi menyetir. Terkadang pikirannya berkelana kenapa pagi-pagi dia sudah dibawa ke Tunisia oleh istrinya.
Jangan tanya Bram untuk menunjukkan di bola dunia, dia pernah kebingungan perbedaan Padang Panjang dan Ujung Pandang. Apalagi kemudian disahuti: sekarang sudah nggak disebut Ujung Pandang disebutnya Makassar. Yang jelas dia selalu kelupaan menyahuti agar jangan disuap dengan sendok munjung. Sampai pada akhirnya sarapan mereka tuntas dan sesaat lagi tiba di rumah sakit.