Waktu Sarah remaja, dia pernah pergi ke negeri Narnia. Atau dia saja yang merasa seperti melancong di negeri itu.
Ingatan manusia itu kalau Sarah pikir-pikir kadang seperti cermin yang telah pecah berkeping-keping. Kamu bisa berkaca di tiap kepingnya. Tetapi yang dipantulkan bukan hanya potongan parasmu saja. Jadinya macam-macam. Malah yang terpantul mungkin lampu di kamarmu, atau gantungan baju yang kalau malam serupa makhluk tak kasat mata. Memang aneh.
Sarah akui ia bukan orang yang mudah menggali memorinya. Ia pelupa sedari muda. Namun di titik ini, sekonyong-konyong ada satu masa ketika ia SMA yang mampu ia kenang dengan jernih. Seolah kemarin dia baru saja menginjakkan kakinya di sana.
Boleh dibilang, sekolah SMA Sarah punya banyak cara mewarnai kehidupan dia semasa remaja.
Polesan warna itu bukan cuma dari pelajaran akademik, kehidupan sosial atau jajanan di kantinnya. Tetapi juga dari acara darmawisatanya.
Tiap tahun sekolahnya selalu menjadwalkan kunjungan lapangan. Dia lupa waktu kelas berapa, tapi sekolahnya pada karyawisata tahun tersebut membawa para siswa pada sebuah kompleks bangunan di puncak gunung. Tadinya dari hiruk pikuk kota tetiba ada di tengah kehijauan hutan pinus, seperti masuk ke dunia lain lewat lemari penuh mantel.
Alur jalan raya yang bis mereka lalui semakin lama semakin berkelok-kelok. Awalnya si A, ketua kelas yang tiba-tiba banyak diam. Disusul gadis populer si B yang mendesis, "Pusing ihh..." Lalu ikutan bersandar pada bantal boneka sapi yang dibawanya.
Tanpa berlama-lama, keceriaan remaja satu kelas itu redup perlahan-lahan seiring bis mendaki gunung. Seisi bis tak lagi riuh bernyanyi. Malahan yang berbunyi adalah suara bersahutan dari penghuninya mengeluarkan isi sarapan tadi pagi. Udara bis terasa mencekam disekap bau muntahan.
Ketua kelas tersadar langsung mengeluarkan senjata, aroma minyak kayu putih memenuhi udara dalam bis. Yang gemar aroma minyak itu merasa menghirup bau surga. Sementara buat yang tidak suka, makin banyak berdoa.
Sarah serasa mengawang-awang dibuai rasa mual. Bendahara kelas, sebut saja namanya Puput, yang duduk di sebelahnya masih lelap. Padahal biasanya gadis itu ceriwis cerita aneka rupa. Remaja itu dengan cerdik menenggak obat anti mabuk sebelum berangkat tadi.
"Nyesal nggak minum obat mabok perjalanan," keluh Hanna di seberang lorong bis.
Sekarang sudah terlambat, pikirnya. Sarah mengamini selagi menyesap permen jahe. Tak lupa tangannya merogoh saku dan mengulurkan beberapa bungkus pada sahabatnya. Hanna menyambar permen-permen itu seperti penyelamat.
Ketika tiba di tujuan, anak-anak SMA Z meluruskan kaki dan mengangkat tangan mereka. Berusaha mengembalikan nyawa pada tubuh mereka. Wajah-wajah lesu berangsur perlahan kembali merona. Akhirnya bisa menghirup udara segar. Udara pekat oksigen menyapu lembut pada wajah-wajah mereka. Seseorang menguap lalu menyadari mulutnya beruap bak lokomotif. Berikutnya anak-anak saling menyembur napas yang berkabut.
Hawa dingin menyusup sela jaketnya, dia tak akan heran kalau seputarannya diselimuti salju persis di Narnia. Sarah memandang sekeliling yang dipenuhi raksasa kehijauan. Tak ada setitik pun salju. Namun pucuk-pucuk pohon pinus bergerombol dengn asri mengelilingi area yang mereka datangi.
Mereka digiring seperti sekawanan hewan ternak. Lalu berkumpul pada semacam amfiteater di tengah lapangan komplek bangunan. Di hamparan rumput yang berundak-undak dengan jalur-jalur batu alam sebagai area duduknya. Masing-masing mencari tempat duduk lalu berjajar menanti agenda selanjutnya.
Di depan, di tengah lapangan panitia memulai acara dengan tes toa yang berdenging, "Nging!"
Usai lembar kerja materi dibagikan, Sarah mulai membaca isinya. Ah, rupanya bukan negeri Narnia. Di tempat ini dia akan belajar mata pelajaran biologi. Soal reproduksi binatang.
Di sisi terjauh lapangan ada plakat nama komplek bangunan tersebut. Tercetak baris-baris tulisan di plakat itu: Balai Inseminasi Buatan.
Tak lama bu guru A yang tampak seperti mochi karena pupuran bedaknya beranjak ke tengah lapangan. Bu guru dari sekolahnya itu menggelinding dengan gesit merebut pengeras suara.
"Selamat pagi bapak dan ibu dari Balai Inseminasi Buatan. Terima kasih sudah menerima kami dari SMA Z pada hari ini..." Ia membuka acara.
Kemudian dengan ceria menyampaikan beberapa patah kata sambutan. Tidak terlihat tanda ibu gurunya itu baru saja mabuk darat. Di sisinya ada seorang bapak berkumis dan berjenggot rapi.
Tuan Tumnus itukah dirimu?
Namun saat Sarah perhatikan, kedua kaki lelaki itu nampak normal. Tetapi kurang tahu juga. Mana tahu di balik sepatu dan celana coklatnya itu tersembunyi sepasang tungkai kaki kambing.
Bapak si pegawai balai tersebut kemudian dengan santai lalu memulai materi, "Teman-teman dari SMA Z, selamat pagi!
"Gimana kabarnya pagi ini?" Tuan Tumnus kembali menyapa.
Beberapa siswa riuh menyambut.
"Baik. Sudah siap memulai ya? Pada hari ini kami akan menjelaskan tentang tahap inseminasi buatan pada hewan ternak." Tuan Tumnus dibantu asistennya menampilkan beberapa papan informasi.
Gemerisik lembaran kertas tugas terdengar di sana sini.
"Inseminasi buatan ini salah satu teknik mengembangbiakkan hewan ternak. Selain itu ada juga transfer embrio, teknik ini lebih khusus lagi. Untuk proses inseminasi buatan, pertama kita memerlukan induk jantan sebagai penghasil sperma."
Dasar remaja, yang laki-laki cengengesan begitu dengar kata sperma. Sementara para remaja putri kasak-kusuk seperti menggosipi selebriti.