Mereka Bilang Saya Mandul

Nurina Listya
Chapter #9

Jarum Tak Ada Ujung

Kalau hidup adalah sebuah novel, di bab ini Sarah penasaran sekali ingin langsung buka halaman terakhirnya.

Dia akan menyisir lembar-lembarnya. Sampai ujung. Masa bodoh dibilang tukang spoiler. Tetapi sayangnya bukan. Ia tak bisa ambil jalan pintas untuk memuaskan rasa penasarannya. Ia menghela napas perlahan.

Abraham sudah berangkat. Ia juga baru selesai sarapan dan tuntas membersihkan meja makannya. Segelas coklat panas bertengger di meja kerjanya di rumah. Pagi ini ia sudah duduk di hadapan layar monitor komputer. Pelan-pelan dia melirik jam dinding. Satu jam lagi jam sembilan. Jantungnya berdetak seirama jarum jam. Tik tik tik...

Agak enggan, ia sekarang beralih mengerling pada lemari es. Dari sana, dari kulkasnya di bagian bawah. Ia berencana mengeluarkan ampul obat setengah jam lagi.

"Setelah dikeluarkan dari lemari es, pastikan obat Anda dalam keadaan tidak dingin saat digunakan. Sediakan waktu sekitar 20-30 menit di suhu ruang," kata seorang perempuan di sebuah video. Perempuan itu menerangkan dengan wajah datar seolah berbicara soal cuaca.

Matanya kembali menatap roman wajah perempuan itu, di layar komputer. Videonya singkat, sekitar lima menit. Bahkan nanti obatnya juga ditusuk sesaat saja, lima detik menurut video. Namun setiap bunyi detik dari jam dinding mengingatkan Sarah dia makin dekat pada jam sembilan, dia bisa merasai telapak tangannya mulai kuyup.

Ia menyimak sekali lagi video itu. Sedari kemarin dia sudah cari info soal injeksi kedua obatnya ini. Iya injeksi, asem kan? Sebenarnya sepekan yang lalu di ruang periksa rumah sakit Z, dr. Zachary sudah memberitahunya.

"Bagaimana, Bu? Kita coba inseminasi pada siklus ini?"

"Namun harus dipastikan bapak dan ibu bisa datang inseminasi di tanggal ini. Takutnya sudah main suntik-suntik ternyata ada keperluan?"

Hah suntik-suntik? Sarah luar biasa ingin menggeleng lalu lompat ke jendela di belakang punggung dr. Zachary.

Dokternya itu menunjukkan tabel jadwal rencana inseminasi. Setelah diperlihatkan tabel tersebut, sebelum ia setuju memulai program iui, Sarah harus memastikan bahwa Abraham bisa hadir di rumah sakit Z pada hari tertentu. Hari keempat belas dalam siklusnya.

Dia menelepon dulu lelaki itu. Nada tunggu panjang telepon membelai-belai degup jantungnya. Berharap Bram tahu-tahu sedang ada meeting penting tak bisa diganggu begitu. Batal deh.

"Tanggal sekian? Sebentar ya aku cek dulu," suaminya menyahuti ringan.

Nada suara Bram terdengar biasa. Seperti orang normal lainnya. Seperti nada suara pegawai di kantor yang tidak ketakutan bakal disuruh suntik-suntik. Sarah jauh lebih memilih dikejar deadline bosnya daripada duduk di kursi pasien dengan ancaman seperti sekarang. Ancaman dikejar jarum tak berujung.

"Sipp, oke nih, bisa sayang," ujar Abraham.

Sempat-sempatnya suaminya itu menyelipkan kata sayang. Sarah rasanya ingin menyelusup masuk pori-pori layar hpnya.

"Yakin ya aman tanggal tersebut?" Dia mengulang. Barangkali dalam detik terakhir ada rekan di sebelah kubikel Bram tetiba mengingatkan seminar super penting. Terus, batal lagi deh, hehe.

"Insyaallah aman, beb," Bram meyakinkan dengan nada guru PAUD yang sedang piknik di kebun binatang.

Bab beb, bab beb.

"Ehem, ya bisa di tanggal itu, Dok," Sarah berdehem. Tenggorokannya kering menelan kecemasan bayang-bayang runcingnya jarum-jarum suntik.

"Ok, saya jelaskan sedikit soal obatnya ya Bu. Yang tablet ini diminum mulai besok sampai hari ke tujuh," dr. Zachary memandunya sambil menjentikkan pulpen pada tabel jadwal rencana inseminasi.

"Jadi obat-obatan ini untuk stimulasi indung telur. Diharapkan ukuran sel telurnya sesuai, di sini minimal 18 mm dan bisa ovulasi di hari ke empat belas."

Sarah memperhatikan tabel sambil bertanya-tanya kapan suntik-suntiknya akan terjadi. Mana tahu dokternya ini berubah pikiran, 'Batal suntik-suntik deh Bu.' Hore!

"Ibu nanti kontrol di hari kedua belas, untuk lihat apakah ukuran sel telurnya sudah memenuhi syarat. Termasuk juga syarat soal tebal rahimnya."

"Kita balik lagi nih. Karena obatnya ini dimaksudkan menyerupai hormon alami tubuh, usahakan diminum tepat sesuai jadwal. Yang ini jam sembilan pagi, besoknya juga tepat jam sembilan. Ok ya Bu?" Dokter itu menerangkan.

"Ok, dok," dia masih bisa mengangguk normal, sebab sampai saat ini masih bahas obat minum biasa.

"Kemudian, nanti dimulai hari ke sembilan, obatnya berupa suntik."

Dia mencengkeram kedua pegangan kursi.

"Lalu ibu injeksi sendiri obatnya di rumah," nada profesional dr. Zachary kali ini membuat Sarah merasa duduk di atas duri-duri.

Sarah mendelik, "Haaa?"

"Tenang, Bu. Nanti saya ajari dulu caranya," suara lunak dokternya berusaha menenangkan.

Lihat selengkapnya