Ketika kemarin Sarah mengajak ibunya ikut ke rumah sakit via ponsel, dia sama sekali tidak mengira bakal melibatkan panjat-panjat pohon dulu pagi ini.
Sarah berjinjit lagi. Tangan kanannya menggapai. Belum sampai juga. Dia betul-betul menyesal nggak hobi lompat tali waktu SD.
Ia melirik kursi plastik kecil yang jadi pijakannya. Selalu disimpan di gudang belakang yang teduh dan warnanya lembayung muda, bukan hitam plastik daur ulang. Tampaknya masih kuat.
Kaki kanannya sekarang melekat di batang pohon pepaya. Dorong badan sendiri. Perempuan itu menghirup udara. Kemudian menahan napas juga lemak perutnya. Hingga akhirnya sampai juga tangannya.
Dia ayunkan pisau mengiris batang buah pepaya. Satu buah pepaya matang berhasil dipeluknya. Besar sepanjang pelukannya.
Sarah meletakkan dulu pepaya elok itu di meja teras. Daripada kemaruk ambil dua buah, tahunya jatuh semua. Aduh, pasti sedih. Dia meringis.
Dia geser sedikit kursi plastik tersebut. Tanah di sekelilingnya padat, ditumbuhi rumput gajah mini. Abraham rutin mencabuti gulma di taman belakang ini sembari dengar lagu di akhir pekan.
Perempuan itu bertolak pinggang. Memicingkan mata setajam silet (Feni rose kali). Mengintai target di atas sana. Satu lagi pepaya bakal ia panen. Kali ini tumbuh dua pohon pepaya di pekarangan belakang rumah. Indahnya tanah di negeri tropis, kalau habis makan buah berbiji bisa ditanam lagi dengan mudah.
Sayangnya lahan di rumah Sarah terbatas. Jangankan pohon durian, yang suaminya ingin sekali tanam. Ia bahkan tak bisa menanam mangga di pekarangan seperti di rumah ibu mertuanya yang lapang.
Pohon pepaya satu lagi buahnya belum ada yang menjelang matang. Sementara pohon yang ini ada dua buah yang merah merona. Memang sudah saatnya ia panen, sebelum ia didahului codot rebutan pepaya.
Sarah berpijak lagi pada kursi, mengulang manuver yang tadi. Fokus supaya tidak cedera. Hingga sebuah pepaya sekali lagi berhasil dengan selamat ia peluk turun. Hijau kuning dengan semburat kemerahan. Mulus tanpa lebam.
Dia merapikan kaki kursi dari serpihan tanah lalu dimasukkan ke dalam gudang. Pisau berlumur getah pepaya ia lap dengan kain berlapis minyak goreng, kembali kinclong seperti sebelumnya.
Kemudian Sarah membungkus satu persatu pepaya dengan tas-tas kain bekas jajan online. Saat ini dia agak menghindar jajan daring, soalnya barang bukti hasil foya-foyanya itu sudah menumpuk di rumah. Selain, tentu saja, karena sedang berhemat.
Selagi siap-siap berangkat ia teringat percakapan kemarin.
"Besok bawa pepaya, nduk," kata ibunya usai mengiyakan mau ikut ke rumah sakit.
"Dua yo. Kayaknya pas aku terakhir ke sana ada dua yang mau matang," ibunya berujar di ponsel.
"Kebanyakan nggak Bu?" Dulu waktu masih serumah pemakan pepaya di keluarganya cuma dia dan ibunya. Adiknya bahkan suka mencibir pepaya bau beo, padahal jengkol saja lelaki itu lahap.
"Lha itu, mau dibawa buat Bu Tresno. Kan pada suka."
Sarah otomatis mengangguk, mengenali nama seorang tetangga rumah ibunya.
"Kita sekalian jenguk, Pak Tresno baru pulang dari rumah sakit," cerita ibunya.
"Baiklah..." Sahut Sarah kemarin.
Kedua pepaya kakak beradik sudah aman meringkuk di dalam bagasi jok motornya. Dia merapikan tas punggungnya lalu memasang helm. Setelah memastikan rumahnya terkunci ia berangkat.
Jalanan cukup ramai di hari kerja ini. Perjalanan masih panjang ke RS Z tetapi rumah orangtuanya sejurusan dengan rumah sakit tersebut. Dia berbelok ke deretan permukiman orangtuanya.
Dia tahu kadang ibunya suntuk di rumah jadi sering pergi atau sekadar makan-makan bersama kawan-kawan, sesama pensiunan di komplek perumahan.
Sesampainya di rumah ibunya, dia buka kunci sembari masuk menggendong dua buah pepaya. Satu pepaya tiba dengan selamat di meja makan. Satu lagi masih ia bopong dengan hati-hati selagi mencari ibunya di rumah masa kecilnya itu.
"Wah sudah datang..."
"Yuk langsung ke tetangga," ibunya melipir.
Sarah mengekor. Semburat cahaya pagi redup menerobos jendela-jendela waktu ia melintasi lorong rumah.
Tiba di rumah tetangga itu, mereka langsung menjenguk ke dalam rumah. Pak Tresno terlihat masih pucat duduk di kursi roda nonton TV di ruang tengah. Secercah warna muncul waktu dikatakan dibawakan oleh-oleh pepaya matang. Rupanya memang kesukaan.
Bu Tresno mengupas sebelah pepaya dengan cepat. Mencicipi seiris lalu menyajikan potongan tebal buah itu untuk suaminya.
"Manis tho pak?"