Sarah baru tahu, sifat manusia bisa berubah 180 derajat karena hormon. Hormon, hal tak terlihat yang ternyata mampu menyetir si empunya tanpa disadari.
"Apa iya?" Hanna berseloroh tak percaya. Titik-titik air dari rambutnya yang masih lembab menetes satu-satu di mangkuk bakso yang mengepul bak pabrik tekstil di depannya.
Mereka melipir ke kedai bakso usai sesi renang barusan.
"Jadi gini..." Sarah memulai konspirasinya sementara menunggu kuah bakso lebih bersahabat pada lidahnya.
Biarkan ia menceritakan kesaksiannya dari awal. Ini terjadi ketika ia dan Hanna memutuskan ikut kursus berenang di kolam dalam.
Pada pertemuan pertama di pekan sebelumnya, Sarah mencengkeram pinggiran kolam dengan buku-buku jarinya yang keriput dihisap air kolam. Ia berpegangan seolah dinding kolam renang itu seorang idol (baca: Cha Eun Woo) yang sedang jumpa penggemar.
Bukan kolam dua meter. Bukan pula tiga meter.
Pelatih perempuan itu membawa mereka pada kolam yang dalamnya bisa memuat rumah tiga lantai. Tanpa atapnya terlihat sesenti pun dari permukaan air.
Konon, kolam itu sering dipakai latihan selam oleh pasukan penyelamatan.
Mereka menghabiskan pertemuan pertama itu dengan menggigil sambil berusaha bertahan bisa ambil napas. Di tepi kolam. Berpijak pada sedikit tonjolan jalur keramik yang mengelilingi kolam itu.
"Nanti di pertemuan kedua, kita coba mulai berenang ya. Pelan-pelan pasti bisa," pelatih mereka menyemangati. Yang lebih terdengar menakut-nakuti begitu mereka sadar lagi bahwa mungkin seekor paus juga muat di kolam ini.
Di pertemuan kedua, Hanna bersungut-sungut spontan menyesali usulnya. Tiba giliran Sarah mencoba berenang dari ujung sini ke ujung sana kolam dalam tersebut. Pelatih akan mengikuti mereka dengan melipir di pijakan sepanjang kolam.
Lalu ia begitu saja mengambang, meluncur dan berenang, seperti biasa layaknya ada di kolam sedang. Dia ingat memandangi dasar kolam, jauh dari atas permukaannya itu, berpikir betapa lucunya kalau di dasar sana ribuan terumbu karang melambai-lambai dan betapa indahnya pola-pola cahaya matahari yang dibawa riak air ke dasar kolam nun jauh di bawah sana.
"Lho, mbak Sarah? Yang pertemuan ini sudah jauh sekali bisa relaks? Syukurlah!" Pelatihnya terkejut.
"Ih, Sarah hebat!" Hanna juga terkejut.
Dirinya apalagi.
Dia sendiri bertanya-tanya. Kenapa kolam dalam ini tak lagi mengintimidasi? Apa yang berubah dalam hidupnya?
Tak begitu lama, dia tahu. Dia tahu. Beberapa hari ini, dia baru mengonsumsi obat-obatan hormon persiapan inseminasi.
Mungkin obat-obatan hormon itu tak hanya stimulasi sel telurnya. Namun juga memicu efek lain yang dibawa hormon-hormon itu. Dia berubah, meski hanya sementara, menjadi Sarah yang lain, yang lebih tenang. Yang tetap tenang meski dasar kolam dalam sejauh rumah tiga lantai ada di bawahnya.
Hormon alami tubuh manusia kan memang mempengaruhi mood, terbukti bedanya suasana hati seorang perempuan kala ia datang bulan ataupun tidak. Nah, mungkin, mungkin saja hormon yang... Err tidak begitu alami ini, entah karena dosisnya yang besar, atau hal lain, punya efek pengaruhi suasana hati dengan lebih nyata.
Itu alasan logis yang terbetik di pikirannya.
Hanna melongo. Kelihatan bingung, tetapi tidak tahu harus bilang apa. Akhirnya dia memilih menyeruput kuah baksonya dulu.
Sarah mengangkat bahunya, sejurus kemudian ikutan menyumpal mulut besarnya dengan sebuah bakso.
***
Mungkin ini cinta. Atau teorinya benar, dan boleh jadi semata-mata pengaruh efek dari obat-obatan hormonalnya. Namun di mata Sarah, siang ini Bram terlihat sama kerennya dengan seorang ksatria.
Kaus berkerah lelakinya yang berwarna abu-abu gajah itu tak kalah mentereng dari kilap setelan baju zirah besi. Dan pucuk rambutnya yang mumbul-mumbul serupa seperti helm perang seorang prajurit dari abad pertengahan.
Beberapa saat yang lalu usai inseminasi, mereka ditinggalkan berdua saja di dalam ruangan periksa itu. Oleh dr. Zachary, Sarah diperintahkan untuk berbaring paling tidak lima belas menit hingga tiga puluh menit tepat setelah inseminasi, agar tingkat keberhasilannya meningkat.
"Kalau bisa berbaringnya jangan banyak gerak tunggu sampai setengah jam ya Bu," kata perawat kembaran Novia Kolopaking itu. Dia dengan cermat menaikkan sedikit rangka tempat tidur di bagian kaki Sarah.
Sarah bisa menangkap sedikit gerakan tangan perawat itu yang menepuk ujung tempat tidur dengan sayang.
"Ruangan ini belum akan dipakai kok. Berarti nanti sampai tepat jam dua belas, Bu," perawat itu menoleh pada satu-satunya jam dinding di dalam ruangan.
"Kalau ada keluhan apa-apa panggil aja. Saya tutup pintunya ya," sang perawat lalu berlalu.
Memang waktu sebelumnya nomor antreannya ke dr. Zachary dipanggil, ia diarahkan menuju ruang periksa yang paling pojok. Bukan ruangan yang biasa dipakai konsultasi. Walaupun begitu masuk, ternyata enggak terasa asing. Soalnya tata ruangannya sama dengan ruangan yang biasa.
Ketika Sarah bengong menunggu, terbaring usai inseminasi itulah, suaminya menjelajah berputar di dalam ruangan itu. Selagi v*****nya terasa masih dipenuhi spekulum yang sudah dilepas tadi, ia mengernyit memperhatikan lelaki itu.
Alih-alih duduk di sofa kecil sambil main hp, Abraham malah mindik-mindik di ruang periksa itu. Seolah dia sedang berada di pameran mebel dan toko perlengkapan rumah tangga.
Memegang-megang meja kerja sang dokter, Bram berkata, "Berapa ya tinggi meja kerja?"
Sungguh pertanyaan kurang penting dibanding kenyataan soal v***** Sarah yang sekian detik sebelumnya baru saja dimasuki cocor bebek dari logam.
Dia yang tahu sepercik hal-hal soal desain dalam ruangan akhirnya tergoda menjawab, "Kan ada standar ukuran tingginya, lho."
Tanpa ia sadari, ia sukarela menggali-gali seantero otaknya dan menambahkan, "Sekitar 75an centi, lupa tepatnya."