Mereka memulai hari dengan menepati janji. Hari Sabtu ini Abraham dan Sarah sudah tiba di rumah sakit Z pagi-pagi.
Menurut Sarah agaknya ia dan Bram terlalu rajin, tetapi memang niat. Apalagi dia merasa harus menuntaskan inseminasinya pada siklus ini. Gemas-gemas gimana gitu.
Sepasang suami istri itu mendapatkan berkah oleh karena telah datang walau matahari pun masih memicingkan mata. Parkir terdekat dari gedung rumah sakit Z masih lowong.
Beberapa mobil telah parkir dengan cantik, namun masih banyak juga ruang kosong selang-seling di sana sini. Dengan leluasa mereka pilih-pilih spot parkir.
Bram memilih ruang parkir di area yang agak lebih tinggi. Dia bilang, "Kalau hujan, aman enggak tergenang."
Sarah mengangguk setuju saja. Tidak menentang suaminya dengan cicitan apapun. Paling penting mereka tidak perlu jalan begitu jauh ke lobi rumah sakit.
Begitu sampai di lobi, ia sama sekali tidak mengantre untuk dapat nomor antrean. Rumah sakit Z tampak baru bangun tidur. Selanjutnya mereka menaiki lift menuju lantai tempat klinik kesuburan berada.
Di sana, petugas perempuan yang dulu itu sudah tiba juga. Walaupun masuk pagi, perempuan itu menyambut dengan senyum sehangat matahari.
"Diisi dulu untuk data-data informasi Bapak Ibu. Lalu ini diisikan untuk lembar persetujuan inseminasi," terang sang petugas.
Seperti yang sudah-sudah, Sarah dan suaminya menulisi lembar-lembar kertas tersebut. Bram mengisi dengan tulisan ceker ayam dan istrinya mengisi dengan huruf yang tidak teratur jedanya. Kadang tulisan tangan Sarah menyisakan banyak titik kosong, kadang tak cukup, padahal hanya mengisi namanya saja.
"Selanjutnya untuk pengambilan air mani ya Pak, Bu. Mari ke ruangan di dalam," ia memandu.
Keduanya mengekor petugas tersebut. Tiba di ruangan tanpa jendela yang sama itu. Sebelum ditinggal, mereka dijelaskan lagi persyaratan air mani yang akan diambil.
Tak lama sesudahnya, tabung pengumpul air mani sudah aman dalam tabung yang diminta. Selanjutnya dimasukkan ke dalam lemari yang terhubung dengan ruangan sebelah.
"Tok, tok," Bram mengetuk daun pintu lemari tanam itu. Lalu Sarah membuka pintu ruang tanpa jendela, dan keduanya melangkah usai tuntas dari sesi pengambilan air mani.
Keluar dari klinik kesuburan, Bram bilang padanya, "Makan dulu aja deh. Selagi nunggu dihubungi."
"Yuk lah, mau yang mana?"
"Belum lihat mana yang sudah buka," timpal suaminya.
Benar saja, di deretan restoran di lobi utama, sebagian besar masih siap-siap dengan menata meja kursi. Lap-lap meja dan pel lantai restoran mereka.
Akhirnya mereka pilih-pilih camilan di toko roti saja, satu-satunya yang sudah siap terima pelanggan.
Menghabiskan Sabtu pagi membenamkan bokong di sofa lobi sebuah rumah sakit, membuat Sarah pagi ini menantang dirinya sendiri untuk melewati waktu tanpa tenggelam dalam layar hp. Ia agak bosan dan terlalu lapar. Bersandar pada sofa dengan kotak isi camilan di tengah Bram dan dirinya, ia dengan sok tahu menerka keperluan seseorang datang dan berlalu.
Selagi mengunyah roti abonnya, dia memperhatikan seorang yang datang dengan postur tubuh fit dan dandanan rapi. Tidak tampak tanda-tanda sakit. Kemungkinan besar datang pagi supaya tidak antre untuk pemeriksaan kesehatan menyeluruh.
Lalu ada lagi sepasang yang menggotong kotak berlapis kertas kado bergambar balon-balon dan boneka beruang. Sudah pasti datang untuk menjenguk bayi yang baru lahir.
Dia mencomot satu onde-onde dan matanya tertuju pada pemandangan yang paling menonjol. Satu keluarga yang repot menggendong si bungsu, pengasuh berwajah pasrah dan balita kembar yang ribut jambak-jambakan. Sarah nyengir melihatnya, bukannya dia senang melihat orang lain susah, dia cuma terkesima kedua kakak si bayi tidak sadar bakal divaksinasi sesaat lagi. Dan kenyataan soal anak-anak yang masih kecil pasti cuek saja menampilkan sisi asli mereka, tidak peduli sedang ada di rumah sakit mewah atau bahkan di istana raja.
Agak jauh di belakang keluarga yang barusan, seorang perawat pendamping mendorong lansia di kursi roda. Roman muka sang kakek tampak sudah lelah. Garis-garis keriputnya bergandengan menguasai wajah. Si kakek, juga tampak tidak lagi peduli ia ada dimana. Mematahkan teori sok tahu Sarah soal anak-anak tadi.
Sesaat ia menyadari posisinya di tempat ini. Di rumah sakit, ada yang meninggal. Ada yang baru dilahirkan. Ada pula yang belum dilahirkan namun sudah berpulang.
Di satu lantai ada tubuh manusia yang berpulang karena sudah rampung sejarah hidupnya. Di lantai yang lain ada pula tubuh mungil yang baru memulai petualangannya. Ada yang penuh harapan dan ada yang tidak lagi mengharapkan apa-apa.
Sarah menatap kedua telapak tangannya. Sebiji wijen tertinggal di garis tangannya. Walaupun penuh perjuangan, dia masih memanggul harapannya kemana-mana, bahkan hingga hari ini. Dan ini membuat hatinya dipenuhi lagi rasa syukur.
Sarah memperhatikan seberkas cahaya dari jendela tingkap lantai dua. Sehelai cahaya lembut menerobos masuk sampai di lobi lantai dasar. Tak jauh dari kaki sebuah grand piano di tengah-tengah lobi utama. Seorang perempuan duduk di depan piano, mendentingkan lagu yang Sarah tak kenali nadanya. Lalu lambungnya ikut bernyanyi, kalau yang ini jelas ia kenal nadanya.
Wajahnya beralih. Dia melirik kotak isi camilan. Tinggal separuh nagasari dan satu klepon. Astaga!
Bram menoleh padanya. Di bawah naungan alis ulat bulu, dua matanya polos seperti si bungsu bayi yang tadi. Lalu nyengir, dengan tetesan gula merah cair di ujung bibirnya, dan parutan kelapa di ujung satunya.
Sarah geleng-geleng. Kalau tidak hati-hati dijaga makan dia cemas akan suaminya. Mana susah diajak cek darah. Sebagai tindakan penyelamatan, akhirnya ia meringkus klepon terakhir ke dalam mulutnya.
Sesudah berbagi menghabiskan air minum botol, sepasang suami istri itu masih menunggu dengan bokong yang mulai panas didekap sofa.
Seakan panggilan penyelamat, suara getar hpnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Seorang petugas klinik menghubungi hp Sarah. Mengabarkan bahwa sudah siap untuk inseminasi.
Keduanya beranjak meninggalkan sepasang lekukan panas di pojok sebuah sofa di lobi utama.
"Aduh, aduh. Rasanya mau tumbuh ekor..." Bram mengeluh waktu melangkah masuk lift.
"Heeh," kali ini Sarah yang nyengir. Merasai ekor tumbuh dari bokongnya juga. Maklum faktor u, pikirnya.
Di dalam klinik kesuburan, ada dua perawat yang menyapa.
Perawat berwajah selamat pagi emak kembali memastikan, "Insem kan ya Bu Sarah?" Sembari tangannya menerima stiker pendaftaran dari Sarah.
Perawat yang terlihat senior mengajak Sarah ngobrol. Ia memperkenalkan diri dengan manis, "Halo, Bu. Saya Bu Z, hari ini diminta dr. Zachary bantu di klinik."
Sementara perawat yang biasa ada di sana menelpon, "Dok, udah datang untuk insem," katanya bisik-bisik.
"Pertama kali insem, Bu?" Perawat yang terlihat lebih tua menanyai riang.
"Eh ini yang kedua," ia menjawab ragu. Kirain mau dapat goodie bag bingkisan atau apa gitu.
"Yang pertama gimana berhasil, Bu?" Nadanya penasaran.
"Eh, enggak berhasil sih," ia masih ragu-ragu. Kali ini mengira ada kamera atau apa yang mengikuti sang perawat senior.
"Ohh... Yang sebelumnya itu insem dimana?" Makin terdengar penasaran.
"Di sini..." Dia melirik-lirik, ternyata memang tidak ada siapapun selain kedua perawat itu.
"Di dr. Zachary juga," dia menambahkan.