Mereka Bilang Saya Mandul

Nurina Listya
Chapter #12

Ngeri 5 Kali

Mungkin inilah simulasi ketika ada di Padang Mahsyar! Aku yakin.

Aku tak punya keraguan, pastilah sekarang seluruh dunia sedang berkumpul berada di rongga tanpa cahaya ini.

Aku menoleh. Jutaan saudara-saudaraku berenang penuh energi. Sebagian besar berpendar penuh kehidupan.

Sebagian kecil lainnya terkapar di bawah. Ada yang berkepala dua. Ada yang berekor dua. Kaum pariah, sungguh tidak ada harapan.

Sejumlah kecil lainnya dengan tidak lazim bergandengan tangan menggosipi entah apa. Lupa tujuan mereka berkompetisi.

Aku menggeleng-geleng. Aku benar-benar heran, masih ada pula yang lolos usai berjam-jam lamanya kami dicuci. Di laboratorium yang sungguh asing.

Seperti miliaran manusia di muka bumi, kami bersaudara ini semua serupa tapi tak sama.

"Kemana kita, Kawan?" Seekor menanyai.

Dia berotot, mungkin besar nanti bakal jadi atlet angkat besi. Sayang dia memanggilku kawan, harusnya kau panggil aku saudaramu ini kakanda.

Lagipula kenapa pertanyaannya retoris begitu.

"Cari salurannya," kataku cerdik. Itu kan sudah jelas. Aku memang lulus dari akademiku dengan nilai terbaik.

"Di sana!" Seekor lagi yang berpandangan jauh memberitahu. Apakah dia berniat jadi seekor mata-mata? Aku mengagumi kesetiaannya pada satuan kami.

Sesosok lubang saluran ada di depan sama.

Kanan atau kiri? Aku menggumam galau. Aku memutuskan ikuti instingku.

Seekor yang sok menjadi penyambung lidah kami, tak mau kalah, berteriak lantang, "Pasukan! Maju!"

Suara cemprengnya memantul-mantul pada tiap-tiap permukaan kepala kami.

Aku agak tak menyukainya. Siapa pula yang memilihnya jadi pemimpin di sini.

Gelombang pun merangsek maju. Semua mengerahkan energi. Riak timbul tenggelam dimana-mana.

Aku tak mau tertinggal. Aku berenang sekuat tenaga. Ekorku perkasa. Energiku melimpah bak PLTA.

Dimana? Dimanakah nona manis itu? Nona yang berbentuk sel telur raksasa.

Usai maraton renang, kami bersaudara tiba di dalam saluran.

"Kemana lagi kita, Kamerad?"

Aku meliriknya sengit, memangnya kau dari Soviet?

"Kita tunggu di sini, ini saluran yang benar. Tuba fallopi," kataku sok tahu. Ku pastikan huruf L nya ada dua.

Dia terperangah mendengarku berbicara kata asing.

Dalam hati, aku gamang. Aku pun tak tahu. Kami semua baru keluar tadi pagi, beberapa jam lalu dari kapal induk kami. Seorang manusia yang tidak suka baca peta bernama Abraham Arrizal.

Kapal induk kami sudah berusaha. Dia menyiapkan banyak amunisi makanan bergizi. Pada masa pembentukanku, aku sempat mencicipi pindang ikan mas. Sebuah masakan kesukaanku. Aku berencana memakan ikan mas itu seumur hidupku, kelak kalau aku dilahirkan.

Kapal induk kami juga menghalau stress yang konon membuat mayoritas generasi-generasi pendahuluku menjadi mutan. Syukurlah aku terlahir sempurna. Terlalu sempurna malah kalau aku pikir-pikir. Dunia mungkin bakal terlalu terkesima kelak ketika aku lahir.

Bukan yang terhebat di muka bumi, tetapi kami semua bersaudara amat bangga pada kapal induk kami. Aku bukan seorang yang patriotik namun inilah sebuah kebanggaan, membawa misi keberlanjutan genetik dari kapal induk kami ini (Aku hanya mengcopy apa yang didoktrinkan satuanku).

"Kenapa nona itu belum datang, Bro?"

Aku tak tahu.

Apakah kita salah pilih? Harusnya saluran yang kiri?

Atau memang benar tetapi salah waktunya? Bagaimana ini siapa yang tidak bisa menghitung waktu ovulasi?

Aku menengok ke belakang. Jauh menembus padatnya kerumunan saudara Y ku. Di belakang sana, saudara X kami bisa dipastikan sedang berenang dengan santai. Alon-alon asal kelakon, itu motto satuan tugas para saudara X ku.

Aku menunggu. Saudara-saudaraku menunggu. Kami menunggu kehidupan membangkitkan semangat kami.

Waktu berlalu. Aku tak tahu sudah berapa lama menunggu. Banyak yang telah terkapar kaku.

Pandanganku mulai nanar. Energi hampir pupus. Belum juga terlihat sebuah (Atau dua buah!) telur raksasa di saluran ini.

Aku memang cerdas, namun aku tahu kapan harus ikhlas.

Baiklah. Harus ada yang berjuang supaya ada yang menang.

Terbayang wajah-wajah saudara X ku (Aku harap tak ada lagi dari mereka yang berkepala dua! Membuatku terkesiap melihatnya). Semoga ada salah satu dari kalian yang sukses, yang paling cerdik sepertiku kalau boleh aku sarankan. Kelak dia bergabung dengan gegap gempita, menyatu dengan sel telur raksasa, sang nona manis itu.

Aku yang membawa materi kromosom Y, akan sudah lama tiada ketika saudara-saudara X kami tiba.

Selamat tinggal dunia. Aku tak jadi terlahir jadi manusia. Adios. (Seekor di sampingku sempat-sempatnya mendelik, kau pikir ini Spanyol?)


Tamat,


Tertanda: Catatan harian seekor sel sperma.


Catatan lagi: Jika kau baca catatan ini, berarti aku telah lama tiada. Jangan tangisi kisahku sayang, bagaimanapun aku pernah bahagia di sini. Jangan lupa, sampaikan salamku pada kapal indukku, bilang padanya durian yang waktu itu dia makan sungguh enak sekali.


***


Sekali lagi Sarah bertatapan dengan si patung perempuan berwajah pongah.

Dia menyeringai. Telunjuknya seperti biasa menggeser arah muka si patung. Seterusnya merasa puas, duduk menanti di sofa tebalnya.

Di hari kedua siklus bulan ini, dia sudah duduk menguap di ruang tunggu rumah sakit Z. Tinggal tunggu mengembun saja waktu nanti dipanggil perawat klinik kesuburan.

"Bu Sarah Annisa," panggil perawat klinik memecah keheningan.

Dia bergegas menghampiri perawat lalu seperti biasa mengikutinya masuk ke dalam klinik kesuburan.

Di dalam ruangan periksa, juga seperti biasa, menyampaikan soal obat yang telah dihabiskan dan siklus haidnya bulan ini. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan USG transvaginal.

Lihat selengkapnya