Waktu gelap itu datang, dia pikir tak akan pernah lagi melihat terang. Walaupun bisa jadi hanya hitungan detik ia pingsan.
Tahu-tahu ketika dia membuka matanya, langsung berpapasan dengan wajah Abraham sebesar bulan purnama.
Dia berjengit mundur sesenti. Tenaganya hanya terkumpul segitu.
"Kenapa kok tiduran di lantai?" Sepasang ulat bulu hitam mengernyit.
Tiduran?! Sarah terbelalak.
"Pingsan!" Sungutnya, "Ihhh, kok tiduran?!"
Tadinya ia masih lemas, tiba-tiba bertenaga dibakar rasa kesal.
Si empunya alis ulat bulu cengar-cengir, "Sekarang masih pusing?"
Keduanya duduk lesehan di lantai. Lampu di lorong berpendar, hanya menyala yang ujung dekat tangga.
Sarah beringsut sedikit, terus bersandar pada dinding rumah. Bram masih bersila. Sosoknya besar dan menghabiskan banyak lahan di lantai. Rambutnya berdiri di ubun-ubun. Mana remang-remang. Dilihat-lihat suaminya
Sarah memegang pelipisnya, "Enggak terlalu. Lemas aja," katanya pelan. Kembali kehilangan tenaga.
"Tadi gimana ceritanya? Kok tiba-tiba banget?"
"Ya namanya pingsan mah tiba-tiba," dia mesem-mesem.
Tetapi Sarah mengingat-ingat juga, "Nggg..."
Dalam tidurnya ia duduk di dalam sebuah restoran mungil di Jepang, sedang makan panekuk. Tipe panekuk yang mumbul-mumbul lembut itu.
Dia menyendok panekuk dengan guyuran saus stroberi dan lelehan es krim vanila di atasnya. Saat ujung sendoknya nyaris masuk mulut tiba-tiba dia terbangun.
Terbangun dengan rasa darurat ingin berkemih yang amat sangat, juga rasa menyesal keburu bangun yang tak ada habisnya. Otomatis ia menggeser selimut dengan kaki. Bangkit dan berdiri di sisi tempat tidurnya. Berjalan sampai pintu terus membuka pintu kamar.
Lalu ia menyeberangi lorong lantai atas rumahnya, ia sepintas mendengar sayup-sayup azan subuh baru dikumandangkan. Selanjutnya menyalakan lampu kecil di kamar mandi. Buka pintu kamar mandi. Buka tutup kloset lalu akhirnya bisa membuang air seninya. Bersih-bersih dan pencet tombol flush lalu dia bangkit lagi.
Seterusnya dia cuci tangan di wastafel. Sebentar saja. Tetapi ada yang dia rasakan waktu itu.
"Rasanya seperti tidak enak badan," dia menggali-gali memori, "Kayak mau sakit, tapi kok tiba-tiba. Terus kunang-kunang muncul dimana-mana, berbintang-bintang gitu pandangaku."
Dia ingat kemudian berjalan terhuyung-huyung menyeberang lorong, yang terasa sepuluh kali lebih jauh dibandingkan hari-hari biasa.
Lalu seingatnya, begitu nyaris di depan pintu kamar, ia merasa lebih aneh lagi. "Kupingku berdenging. Suara apapun menghilang. Aku ingat sekuat tenaga teriak: 'Bang!' Terus..." Tangannya membuka sebagai efek.
"Gelap..." Lalu ia melempar tangan ke udara, ia mengakhiri kisahnya dengan dramatis. Sebuah tragedi, robohnya seorang bumil.
Sayup-sayup suara iqomah terpancar dari masjid, menerobos keheningan subuh.
Dikurangi waktu ia berjalan, pipis, pingsan lalu ditanya-tanya Bram, berarti memang gelap yang tadi, tragedi robohnya seorang bumil itu, hanya berlangsung selama sekian detik.
"Shalatnya sambil duduk aja," saran Bram.
"Iya, nanti kalau masih lemas," dia akhirnya menjawab.
Kemudian dia mengambil air wudhu, ditemani suaminya di sebelah keran. Seterusnya mereka shalat subuh berjamaah.
Walaupun shalat sambil duduk, ternyata masalahnya malah saat ia bersujud.
"Hoekkk..." Seisi dunia serta tata surya serasa tumpah bertubrukan di dalam mulutnya persis waktu ia sujud. Ditambah ada empat sujud pula pada sholat subuh.
Selesai sholat, Bram langsung menanyai. "Mual sekali?"
Ia cemberut, "Banget..."
Dan Sarah merasa jadi ibu hamil -bumil, paling merana sedunia. Sudahlah pakai roboh segala pagi-pagi, ditambah mual juga menjadi-jadi.
Bayangkan mual seperti barusan rutin lima waktu setiap hari! Dia pikir dia terancam mual layaknya tadi sepanjang tiga bulan pertamanya.
...atau dia pikir begitu.
Soalnya hidup memberinya satu lagi kejutan.
***
Siapa sangka, subuh tersebut adalah pertama dan terakhir kali Sarah mual-mual saat hamil.
Sisa hari-hari, bahkan pekan-pekan berikutnya dia dipenuhi perasaan nyaman yang melimpah-limpah.
Memang untuk urusan tenaga, dia amat jauh lebih lemah dibandingkan hari-hari biasa saat tidak hamil. Tapi tidak digerogoti rasa mual kala hamil muda itu sungguh hadiah manis dari Tuhan. Atau bahkan mual sepanjang kehamilannya.
Dia pernah baca cerita seorang perempuan yang sepanjang waktu hamilnya, mulai dari trimester pertama hingga trimester ketiga, dilalui dengan rasa mual tak henti-henti. Ada juga hiperemesis, yang muntah parah kala hamil tak tertahankan hingga harus dirawat inap di rumah sakit. Waktu dia tanya-tanya soal awal hamil pada ibunya, ibunya menjawab dengan penuh perasaan.
Ibunya cerita, "Dulu aku pas hamil kamu itu..."
Lalu ibu memegangi kepalanya penuh penghayatan, "Aduh-aduh, mual muntah-muntah enggak selesai-selesai!"
Dilanjutkan ibunya mengeluh panjang lebar soal badan sakit-sakit, cium bau makanan enggak enak, dsb dst. Padahal kejadian itu terjadi lebih dari tiga dekade yang lalu. Tetapi namanya keluhan hamil, nyatanya mungkin terkenang-kenang terus.
Sementara ibu mertuanya berkisah, "Kalau aku, hamil itu mual iya, tapi ngidamnya itu yang paling kerasa..."
"Pernah pengen banget ikan mas. Enggak kesampaian, rumah makannya tutup. Aduh, rasanya nelangsa. Pernah malah pengen comro, enggak ketemu-ketemu. Akhirnya bikin sendiri!" Ibu mertuanya menerawang melamun sambil senyum-senyum.
Kemudian ibu mertuanya bertanya, "Lagi ngidam apa sekarang?"
Sarah bingung mau bilang apa. Akhirnya ia tertawa-tawa, "Semua makanan," dia bilang. Semua makanan terlihat, tercium dan terasa lezat.
Konon biasa disebut sebagai hamil kebo. Bisa jadi Sarah ratunya kebo.
Berikutnya Sarah melakukan pemeriksaan kehamilan sekali lagi. Masih di trimester pertama dan masih bersama dr. Zachary.
"Tidak ada masalah dengan makan, Bu?" Dokter itu memastikan.