Di awal trimester dua, musuh abadinya, si batang transduser USG transvaginal itu pamit undur diri.
Hari ini adalah waktu pemeriksaan kehamilan rutinnya sekali lagi. Dia masih mengira bakal di USG transvaginal, seperti waktu cek-cek program hamil juga selama di tiga bulan pertama ia hamil.
"Mari Bu, kita periksa dulu," kata dr. Zachary memulai.
Ia mengekor sang perawat ke arah ranjang pasien, seperti yang sudah-sudah menyiapkan supaya rasa malunya minggir sejenak.
Namun, sang perawat yang serupa aktris itu tidak menyuruhnya membuka pakaian bagian bawah. Ia naik ke tempat periksa masih utuh dengan roknya.
Setelah ia naik, sang perawat membantunya menaikkan sedikit pakaian.
Lalu perawat menyelipkan beberapa tisu lebar sebagai pembatas antara kulit dan kain pakaiannya. Sesudahnya ia berkata, "Sudah siap, dok."
Dia tersenyum lebar ketika matanya menangkap dr. Zachary memegang batang transduser yang satu lagi.
Transduser USG perut terlihat jauh lebih ramah dan bersahabat. Tampilannya lucu berbentuk gemuk pendek dengan kepala pipih lebar mirip ikan lele -cuma yang ini tanpa kumis.
Bagian yang lebar itu diusap-usap, kadang agak sedikit saja ditekan, ke perut Sarah. Mirip-mirip alat pembaca barcode di meja kasir supermarket lah.
Dia hanya perlu menyingsingkan bagian blusnya, juga pinggang roknya sedikit saja ke bawah, lalu USG itu bisa dilakukan. Tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak perlu buka-bukaan bugil seperti manusia purba.
Ah, senangnya.
Ia melirik barang transduser USG transvaginal yang bertengger sendirian pada cantolannya di mesin USG. Batang putih itu tampak cemberut sambil menonton layar di depannya.
Sarah senyum-senyum. Jujur dia sama sekali tidak merindukan si batang transduser USG transvaginal itu.
Kemudian dimulailah pemeriksaan kehamilan Sarah di bulan ini.
"Kita ukur dahulu panjang janinnya," dr. Zachary mengeklik di mesinnya, "Lalu beratnya," sembari menyebutkan angka-angka.
Seperti biasa, dr. Zachary mengukur janinnya dengan teliti.
"Ok, bagus perkembangannya sesuai ini, Bu."
"Ini kepalanya dilihat dari samping."
Anaknya bergerak-gerak di dalam sana.
"Nah, ini tangan kanannya."
Lalu dokter itu tiba-tiba berkata, "Wah, ini adeknya mau nunjukin, Bu."
Adeknya siapa? pikir Sarah, langsung sadar bahwa maksudnya adalah bayi yang ia kandung.
Sarah ikut memperhatikan dengan teliti. Abraham di sampingnya duduk dengan wajah ingin tahu.
Di layar monitor itu muncul lagi bagian lain anaknya, "Ini kakinya, yang kanan, kita lihat jari-jarinya," dia menunjukkan, "Kalau ini monasnya, Bu."
"Anaknya laki-laki ini," dr. Zachary berujar dengan percaya diri. Tanpa aba-aba memberitahu satu ruangan.
Sarah tertawa geli. Melihat tangan, kaki termasuk semua jemari mungil bayinya. Juga bagaimana anaknya itu secara terang-terangan seperti siang memberitahu jenis kelaminnya.
Padahal ia berharap bisa juga beberapa waktu bertanya-tanya anaknya laki-laki atau perempuan? Walaupun enggak perlu pesta gender reveal yang populer itu.
Pada sesi tanya-jawab konsultasi, dr. Zachary menanyakan,"Apa sekarang masih sering lelah tidak ada tenaga?"
"Biasanya di trimester kedua kondisi ibu sudah jauh lebih nyaman."
"Kalau penerbangan di pesawat, itu seperti selepas lepas landas saat sudah aman meluncur, ketika sedang cruising di udara itu."
"Sementara sih sekarang masih sering sedikit lemas, dok."
"Nah, kalau saat lemas begitu, dibuat agak sering makan, Bu," dokternya itu mengarahkan kuncup tangan ke mulut sendiri, seakan ia seorang Italia yang mengingatkan satu ruangan untuk makan (Mangia! Mangia!).
"Untuk penambahan berat badan ibu itu gimana dok? Saya berlebihan enggak?" Dia memang enggak menahan makan alias diet sih, tapi ya memang sudah banyak makan juga sepanjang hamil. Apalagi dia tidak mual dan pantangannya hanya makanan mentah, tentu selain jangan sampai ia berlebih-lebihan makan yang kurang sehat.
Dokternya menghitung menautkan alis, "Bisa sampai sebelasan kilogram, Bu," lalu melirik buku kontrol kehamilan Sarah. "Ini masih aman terkendali saya lihat kenaikannya."
"Kalau diabetes saat hamil itu gimana dok?"
Nah, kan. Ini juga salah satu hasil menjala di lautan keruh kegelisahannya. Diabetes saat hamil yang tidak dikontrol memiliki risiko bahaya untuk janin.
"Memang ada kasus itu, bisa dipantau dengan cek darah dan kalau diperlukan nanti minum obat. Untuk pemeriksaan bulan depan, ibu nanti ada jadwal cek darah. Termasuk di dalamnya ada cek gula sewaktu juga protein dalam air seni," dr. Zachary memaparkan penjelasannya.
Sepanjang pemeriksaannya dengan dr. Zachary ia bisa menyadari dokternya tidak menakut-nakuti. Lebih menekankan apa yang bisa ia lakukan untuk antisipasi itu. Barangkali terlihat wajah pasiennya yang seakan menuju kursi listrik tiap kali masuk ruangan.
"Dok, kalau preeklampsia itu apa?" Sarah mengeluarkan satu lagi peluru yang membuatnya resah belakangan ini. Sungguh banyak sekali masalah ibu hamil ini 🤰 (Makanya jangan dibuat pusing).
"Itu salah satunya bisa dipantau dari tekanan darah yang tinggi selama hamil."
"Kalau saya pantau, tekanan darah ibu masih normal sejauh ini," ia menenangkan lagi.
"Tetapi nanti dipastikan lewat tes urine di bulan depan itu, Bu." Dokternya menangkis peluru itu sambil menghalau pasiennya balik ke dalam naungan kenyataan.