Sarah mencapai trimester ketiga terengah-engah seakan ia mendaki gunung dengan hidung tersumbat.
"Masih jauh ya?!"
"..." Abraham memandanginya tak percaya. Dalam hati sungguh berniat menggotong saja istrinya masuk lobi.
Ia memang mendaki. Namun Sarah hanya menaiki ramp miring menuju lobi rumah sakit. Itu pun sudah berhenti dulu di tengah-tengah, duduk di pinggir lalu meneguk air dari botolnya.
Di awal trimester ketiga, meski kandungan semakin besar, ia masih membawa energi seperti di trimester kedua. Apalagi napasnya masih normal, lancar jaya mirip Jakarta pas mudik hari raya.
Semakin bertambah usia kandungannya, perlahan-lahan ia kembali pada level tenaga di trimester pertamanya.
"Turun hanya jadi dua puluh lima persen lah baterainya," selorohnya pada Bram ketika ditanya berapa persen sisa baterai Sarah sekarang.
Terlebih bebannya makin berat dan perutnya yang besar itu membuatnya sehari-hari bernapas seakan berada di dataran tinggi.
Walaupun susah payah, pada akhirnya ia berhasil juga mencapai ruang periksa dr. Zachary.
Seperti yang sudah-sudah, pemeriksaan kontrol kehamilan menggunakan USG lagi.
Namun pekan ini, sudah semakin sulit mengatur mau mengamati apa. Apalagi bagian wajah kalau sedang tertutup tangan.
Makin besar janinnya makin sempit ruang gerak, sehingga USG semakin kurang leluasa.
Sebelumnya beberapa pekan awal trimester ketiga, ia sudah pernah USG 3D dengan posisi wajah anaknya yang terlihat di layar monitor. Akhirnya ia menatap wajah anaknya yang belum ia temui itu.
"Mirip siapa itu?" Dokternya iseng menanyai.
"Duh siapa ya?" Bram dan Sarah tergelak saja keburu senang dengan hasil pencitraan tersebut.
Kemudian ia cek kadar hemoglobin yang lazim diperiksa di trimester ketiga.
"Hb sebelas, ya masih cukup ya, Bu," dr. Zachary mengamati hasil cek darahnya.
"Dilanjutkan saja suplemen zat besinya. Juga multivitamin hamil. Ok ya?"
"Baik, dok," ia menyahut, lega dengan penuturan dokternya.
Kemudian pulang membawa kotak vitamin hamilnya yang baru.
Setiap melihat kotak kemasan tablet F, multivitamin hamilnya itu, pikirannya melayang teringat sebuah kasus.
Sarah baca sepintas alur kasus itu dan kasusnya tak pernah mau pergi dari hatinya. Terbayang-bayang, terlebih saat ia meminum vitaminnya itu tiap hari.
Ia bayangkan itu terjadi malam hari, pada sebuah tebing pantai yang curam. Saking curamnya, air laut berada jauh di bawah tebing itu. Hanya cipratan airnya saja yang menyembur sampai atas.
Mungkin air laut menghempas ganas karang-karang tebing bertubi-tubi. Angin pantai menderu. Alam begitu buas di malam hari itu. Tak cocok untuk janin mungil yang meringkuk berlindung di dalam kandungan ibunya.
Perempuan hamil tua yang napasnya terengah, janin mungil yang tersenyum di hasil cetak USG pertama sekaligus terakhirnya, dan sebotol vitamin hamil yang belum sempat dibuka.
Dia tak tahu bagaimana sang ibu sampai di atas sana. Mungkin salah berharap pada ayah sang bayi. Mungkin ia hanya bisa memeluk perutnya berharap anaknya selamat walau ia mati. Yang pasti malam itu sebuah kejahatan terjadi, setajam karang-karang yang tinggi.
Setiap hari Sarah menelan sebutir vitamin hamilnya. Setiap kali itu pula dia kirimi doa untuk bayi mungil dan ibunya. Hanya doa, hanya itu saja yang ia punya.
***