Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #2

Bab 1: Panggilan dari Masa Kecil

Matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Badan yang lelah mulai berteriak ingin segera bersandar. Sore ini, kemacetan di jalan yang aku lalui terasa berbeda. Sudah hampir setengah jam mobilku tak bisa bergerak. Terbersit hasrat untuk melarikan diri ke sebuah desa sembari menyelesaikan tesisku.

Jakarta, dengan segala hiruk pikuknya, terkadang begitu mengerik pikiran. Kemacetan, polusi, dan kebisingan yang tak pernah berhenti bak derita yang sulit dihindari bagi kaum pencari ketenangan. Aku memang terbiasa menghadapi hal ini setiap hari. Sayangnya, terbiasa bukan berarti mati rasa. Kala jenuh melanda, aku bisa seperti orang gila.

Setelah cukup lama bergelut dengan kesabaran hingga langit gelap sempurna, aku terbebas juga dari antrian “jahanam”. Ternyata, selain volume kendaraan yang selalu membludak di jam pulang kerja, ada pengerjaan perbaikan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang membuat kendaraan menumpuk di satu lajur. Ah, mengapa perbaikannya tidak dilakukan di tengah malam atau dini hari?!

Aku atur suasana hatiku yang bergejolak. Ada hal yang menarikku ke masa lalu ketika kepalaku fokus pada kata jembatan. Padahal, setiap hari aku melihat dan melalui berbagai jenis jembatan, dari jembatan penyeberangan hingga jembatan layang (flyover).

Ah! Mungkin aku sedang capek saja. Terkadang pikiran yang tidak karuan disebabkan oleh jasmani yang ingin segera beristirahat. 

Sesampainya di rumah, aku rebahkan badan di sofa. Lalu, kupejamkan mata untuk memuaikan gelisah yang menyerang. Entahlah! Aku terbayang suatu kejadian, tetapi cukup berat untuk direkonstruksi.

Kunyalakan pendingin ruangan (AC) untuk membantu menyamankan suasana. Kubayangkan sedang duduk di sebuah desa yang indah nan asri. Mencoba merelaksasi diri dengan sugesti.

Tak lama, terdengar sayup-sayup tawa renyah anak kecil yang bermain. Pikiranku langsung memvisualisasikannya ke dalam potret syahdu masa anak-anak ketika masalah terberat hanyalah PR (pekerjaan rumah) Matematika. Tak ada revisi, tak ada adu argumentasi yang mencekik saraf otak.

“Yana!” Tiba-tiba ada suara anak kecil yang menyerukan namaku.

“Yana!” timpal suara anak kecil yang berbeda.

“Giliran kamu yang jaga. Kenapa kamu malah mau pulang? Jangan curang dong, Yan!” ujar anak kecil yang lainnya.

Aku pusatkan pikiran dan pendengaran lebih saksama. Tadinya, aku kira suara riang gembira hadir dari luar rumah. Akan tetapi, mereka tidak mungkin memanggilku tanpa sapaan.

“Yana curang, Yana curang.” Sekarang, aku mendengar suara ledekan yang dilantunkan secara bersamaan oleh ketiga anak kecil itu.

Tidak. Aku tidak sedang bermimpi. Kesadaranku masih berada penuh di dunia nyata.

Lantas, siapa mereka yang menyebut namaku dengan lantang? Suara dan suasana yang mereka hadirkan tampak begitu familiar, tetapi aku sulit mengidentifikasi di mana hal tersebut pernah terjadi.

Aku bayangkan lagi suara mereka, dan mencocokkan dengan memori masa kecilku. Kutelusuri jejak-jejak yang terekam. Seketika, tubuhku merinding dan napas terengah-engah.

Ya, benar. Tiga orang yang memanggilku secara bergantian adalah teman masa kecilku. Mereka yang terpendam belasan tahun di dalam ingatanku.

“Hamid! Musa! Rusman!” pekikku seraya bangkit mencari mereka.

Lihat selengkapnya