Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #3

Bab 2: Bukan Halusinasi

Masa lalu yang sempat tersembunyi di dasar ingatanku menguak lagi ke permukaan. Padahal, tak sedikit pun aku terkenang rindu pada kampung halamanku dulu. Bukan aku melupakan, tetapi aku dibuat untuk tidak melihat ke belakang.

Tidurku yang semalam tak tenang, sekarang, menyisakan segudang pertanyaan. Mengapa memori tentang Hamid, Musa, dan Rusman bertandang secara masif ke kepalaku? Apakah hanya sekadar halusinasi? Ataukah panggilan agar aku menemukan keberadaan mereka?

Usai sarapan, aku hampiri Umi yang duduk di sofa ruang keluarga. Ada hal yang ingin kupastikan, dan aku yakin Umi tahu mengenai hal tersebut.

“Mi,” sapaku sembari mengatur melodi pertanyaan yang akan kuajukan.

“Iya, Nak. Hari ini kamu ada jadwal ke kampus atau kegiatan di luar, nggak? Kalau nggak, nanti jam sepuluh anterin Umi ke pengajian ya,” pinta Umi.

Aku mengangguk pertanda setuju. Lalu, aku duduk di sampingnya.

“Mi…. Umi inget nggak temen kecil aku yang bernama Hamid, Musa, dan Rusman? Nah, dulu kan mereka dinyatakan menghilang secara misterius. Apakah Umi tahu mereka sudah ditemukan atau belum hingga saat ini?” tanyaku. Ada rasa ragu yang sebenarnya menggerayang di dalam batin. Aku juga sangat mewaspadai respon Umi yang mungkin berlebihan dalam menanggapi pertanyaanku.

Benar saja. Umi menempelkan kedua tangannya di pipiku. “Nak, kenapa kamu bertanya tentang mereka? Apa yang terjadi pada mereka itu bagian dari takdir Ilahi. Kamu tidak perlu mengingatnya lagi dan memunculkan rasa bersalah dalam diri kamu.” Wajah cerah Umi berubah menjadi mendung.

Baru satu pertanyaan saja sudah membuatnya begitu khawatir. Bagaimana jika aku bercerita tentang peristiwa semalam yang aku alami? Ia bisa saja membawaku menemui ahli kejiwaan lagi seperti dulu.

“Yana cuma pengen tahu aja Mi tentang mereka. Setelah Yana pindah ke Jakarta, Yana kan nggak pernah dengar lagi perkembangan mereka. Umi nggak usah terlalu cemas tentang Yana. Sekarang Yana sudah dewasa. Yana sudah bisa mengendalikan pikiran dan emosi Yana dengan baik,” paparku mengumbar keyakinan kepada sang ibu.

Umi melepaskan kedua tangannya dari pipiku. Beliau menatap lurus pada dinding yang kosong.

“Cerita tentang tiga temanmu itu sudah dianggap seperti legenda. Tak terungkap, tetapi menjadi kisah misteri dari mulut ke mulut bagi masyarakat di sana,” tuturnya sembari berdiri, mengakhiri perbincangan.

Sikap Umi bak menguatkan ada penggalan kisah yang tersembunyi. Kesaksian yang seakan tak bisa dibagi kepadaku. Padahal, secara mental, aku sudah siap untuk mengulas traumaku dan misteri tiga karibku.

Ah! Aku harus mencari memikirkan cara agar Umi mau bercerita.

Kusandarkan tubuh yang tak sempurna meredam lelah. Masih ada waktu satu jam yang bisa dimanfaatkan untuk menyambung tidur yang terganggu semalam.

“Tolong, Yan! Kami kedinginan di sini. Hanya kamu yang bisa menemukan keberadaan kami.” Aku segera membuka mata kala mendengar permintaan dari suara Hamid.

Kutelurusi sumber suara seraya bertanya pada logika. Adakah mereka benar mendatangiku untuk membedah fakta terkait peristiwa yang menimpa mereka?

Praaak!!! Tiba-tiba ada bunyi piring jatuh dari arah dapur, menambah kesan mistis di awal hariku.

Ah! Tapi mungkin itu ulah kucing. Sangkaku dalam hati, menyanggah kengerian kian liar.

Aku pijak lantai menuju dapur yang kembali. Tak kudapati pecahaan piring maupun tanda-tanda kekacauan. Bahkan, jejak kucing juga tak tertangkap oleh panca indraku.

Oh! Mungkin telinga salah menangkap suara. Bisa jadi.

Kualirkan sugesti positif untuk menyangkal segala praduga tak masuk akal. Terasa gila. Aku seolah sedang bermain dengan kekacauan pikiranku.

Kantuk terus menggoda. Aku paksakan diri menyusuri seluruh sudut rumah agar mata tetap terjaga. Batinku berkata bahwa mereka mengintai dalam gelap.

Perlahan waktu terbunuh. Kuantar Umi ke pengajian. Setelah itu, langkahku terpaku – bingung. Aku butuh pendapat untuk melihat masalahku dari sisi yang lain, entah mereka nyata menghantui atau refleksi dari tekanan dan kejenuhan yang aku alami belakang ini.

Robi. Hanya dia satu-satunya teman terdekatku. Kukirimkan pesan untuk mengajaknya bertemu. Aku bisa bercerita dengan tenang dan aman kepadanya.

Lihat selengkapnya