Berbagai kejadian yang sulit dicerna nalar menghantuiku selama satu minggu ini. Pun, suara meminta tolong dari Hamid, Musa, dan Rusman tak berhenti mengintai pendengaranku.
Mau tak mau, aku harus segera pergi ke Citiis. Mungkin memang ada petunjuk penting yang ditujukan kepadaku untuk menemukan keberadaan kawan-kawan masa kecilku tersebut.
Aku bertandang ke kantor Robi untuk bercerita di sela waktu makan siang. Tanpa banyak pembukaan, aku kisahkan lagi tentang kejadian janggal semalam: Nana yang seakan ada dua.
Kali ini, dia terlihat biasa—tidak seantusias kemarin. Namun, aku tetap melanjutkan maksudku. Aku ingin segera lepas dari situasi yang tak bisa kuselesaikan dengan berdiam diri.
“Bi, temenin gue ke Citiis, ya,” pintaku, menodong.
“Kapan lu mau pergi ke sana?” tanyanya sambil menyeruput kopi.
“Besok,” jawabku tegas. “Gue merasa terus dipanggil sama mereka. Gue nggak bisa menunggu hal ini terlalu lama. Masalahnya, orang tua gue nggak ngizinin kalau gue pergi sendiri—sekalipun gue pake alesan buat ngerjain tesis di sana. Jadi, mungkin kalau sama lu, orang tua gue akan percaya.”
“Lu nggak cerita tentang yang lu alami sama orang tua lu?” nadanya datar, gesturnya tak bertenaga.
Aku memasang wajah penuh harap. “Saat ini, hanya lu yang bisa bantu gue, Bi.”
“Tapi gue lusa ada kerjaan ke Lampung, Yan,” terang Robi sembari memainkan sendok kecil di atas cangkir kopinya. “Menurut gue, lebih baik lu lupakan keinginan lu untuk pergi ke sana. Bisa jadi, itu hanya bagian dari gangguan jin atau rekaan pikiran lu aja. Sebab lu menyimpan trauma dan rasa bersalah terhadap mereka,” paparnya, bertolak belakang.
Padahal, kemarin, dia memberikanku dorongan untuk menuntaskan hal tak masuk akal ini— berdasarkan kisah ayahnya. Kini, dia seakan setuju bahwa aku berhalusinasi. Ada apa dengannya?
Aku cukup kecewa. Kukira akan mudah mengajaknya turut dalam perjalananku.
Sudahlah. Ini masalahku. Aku tak bisa memaksa dan menggantung asa kepada orang lain supaya mau membantuku. Lagi pula, setiap orang punya kepentingan masing-masing.
Aku pulang dengan menangkis kesal yang coba merayap ke dada. Biarlah kupikirkan cara lain untuk mendapatkan izin pergi ke Citiis.
Setiba di rumah, aku disambut dengan suasana gelap. Hal yang sangat tidak biasa. Tirai jendela ditutup dan tak ada satu pun lampu yang menyala.
Abi sudah pasti belum pulang kerja. Nana masih di sekolah jika jam segini. Lalu, ke mana Umi?
Aneh jika Umi pergi dengan tak membiarkan sedikit pun cahaya menghias rumah. Bahkan, ini memberikan nuansa suram nan mencekam.
Kucoba nyalalakan lampu sebelum membukakan jalan bagi matahari untuk masuk. Beberapa kali saklarnya ditekan, masih tak ada perubahan. Mungkin sedang mati listrik, pikirku.
Aku berjalan menuju jendela. Lalu, terdengar suara langkah kaki berlarian menaiki anak tangga.
“Umi! Nana!” seruku, mengikis ketakutan.
Namun, tak ada sahut yang mengudara. Justru tawa-tawa kecil menggema.
“Yan, kami tidak punya banyak waktu lagi. Tolong kami, Yan! Kami tak mau selamanya berdiri menopang jalan,” ucap suara anak kecil. Antara Hamid, Musa, atau Rusman yang berbicara, aku tak bisa mengidentfikasinya dengan jelas. Tubuhku sudah merinding duluan.
Aku berlari kembali ke teras rumah. Tak sengaja, aku menabrak sofa hingga terjungkal.
Dalam samar cahaya, tampak tiga orang anak kecil berdiri di hadapanku saat aku berusaha bangkit. Mereka mengenakan seragam merah putih—menjulurkan tangan kepadaku.
Mulutku kaku. Kututup mata sambil melafalkan doa di hati. Tolong jangan hantui aku terus!
Puk!!! Pundakku ditepuk. Napas tercekat, keberanian berhamburan.