Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #5

Bab 4: Menapaki Citiis

Keraguan bertahta di kepala. Aku tahu ada yang tak biasa di mobil ini. Namun, aku juga tidak bisa langsung percaya begitu saja kepada si Ibu yang tampak membuntutiku.

“Loncat! Cepatlah meloncat!” teriak si Ibu sambil berlari mengejar mobil. Rautnya menyala kesal dalam remang.

Sementara itu, aku merasakan cengkraman yang semakin kuat menarik ranselku. Langkahku seakan dicegah.

Apa yang sebenarnya terjadi? Penasaran membumbung tinggi, tetapi batin meminta untuk tidak memeriksa kondisi di belakang.

Aku buka-tutup mata beberapa kali—mencoba memastikan peristiwa ini mimpi atau asli. Tiba-tiba sebuah tangan menggerayang di punggung hingga maju melewati bahuku. Tangan yang kering seperti hanya tulang yang dibalut oleh kulit.

[Audzubillah himinas sayitoon nirrojim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).] lafalku dalam hati.

Bruuuukkk!!! Aku meloncat setelah melihat ada tempat yang lapang untuk berguling. Bagaimana pun, ada laptop di tasku yang berisi data penting.

Aku tersungkur di rerumputan dengan mendekap erat ranselku. Tubuhku merinding dan napas tersengal-sengal.

Si Ibu membantuku bangkit. “Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya.

“Ya. Saya baik-baik aja. Terima kasih bantuannya,” ucapku menguatkan diri.

Kemudian, mataku tertuju mencari jejak si mobil elf yang kunaiki. Kukerahkan segala fokus untuk menjangkaunya di jalanan panjang yang lurus.

Tidak mungkin. Mobil itu menghilang. Apakah sang sopir memacunya lebih cepat lagi? Ataukah benar kata si Ibu bahwa mobil itu tak biasa?

“Untunglah kamu segera turun dari mobil itu. Kalau tidak, kamu mungkin terbawa ke dimensi mereka,” ungkap si Ibu yang membuat batinku kian tersentak.

“Dimensi mereka? Apa maksud Ibu?” tanyaku balik, seraya mencerna kejadian di luar nalar yang baru saja berlalu.

“Kamu salah menaiki elf. Pas saya panggil-panggil, kamu tak menoleh.” Si Ibu menghela udara dari hidung. Tergambar rasa lelah di wajahnya. “Makanya, saya ikuti kamu. Saya lihat kamu orang baik, dan sepertinya sedang dalam perjalanan untuk menunaikan kebaikan,” sambungnya.

Suara jangkrik dan katak bersahutan menyemarakkan malam yang sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Cahaya rembulan terpancar tak sempurna. Bintang-bintang seperti malu untuk menunjukkan keberadaannya. Pada saat yang sama, di dalam otakku, sejuta tanda tanya membahana. Apa yang sebenarnya dimaksud oleh si Ibu?

Dia mengatakan aku salah menaiki mobil, sedangkan tak ada mobil lain yang terparkir ketika kondektur mengatakan perjalanan sudah bisa dilanjutkan.

Tentang si Ibu memanggilku, tetapi aku diam, itu karena aku memasang earphone di telinga untuk menetralisasi mood-ku. Ah, aku sungguh tak mengerti tentang semua ini.

“Rumah saya sekitar dua kilo dari sini. Mari ikuti saya!” ajak si Ibu.

Aku lepaskan sangsi. Tak ada yang bisa kulakukan seorang diri di pinggir jalan di tepi hutan.

Hem! Bukan saatnya menimbang terlalu dalam tentang kebaikan seseorang. Badan yang lelah dan nalar yang kisut perlu untuk segera dipulihkan.

Kuikuti langkah si Ibu. Keringat mengucur deras. Energi seolah terkuras habis. Aku tak membawa perbekalan apa pun, termasuk pelepas dahaga.

Si Ibu menatapku. Dia tersenyum, lalu memberiku sebotol air minum.

Aku bermusyawarah dengan hati kecil untuk menentukan pilihan—minum atau tidak. Bagaimana jika air yang dia sodorkan sudah dicampur dengan aji-ajian?

Duh, terserahlah!

Lihat selengkapnya