Semilir angin membelai sukmaku dengan mesra. Coletan ceria dari anak-anak yang bermain turut membangkitkan kenangan. Namun, sejauh mata memandang, aku bak berada di tempat yang berbeda. Tak ada kesan asri nan rindang yang menaungi desa seperti di masa kecilku ini.
Pohon-pohon yang dulu menjulang di hampir setiap sisi rumah, kini tampak cukup berjarak. Jalanan pun sudah indah dengan paving block. Ya, semuanya nyaris berubah 180 derajat.
Setiba di rumah adik si Ibu, aku disambut dengan sangat ramah. Dia berkata telah menungguku.
Keakraban tercipta dengan cepat. Adik si Ibu yang katanya biasa dipanggil Mang Dendi begitu hangat menjamuku. Darinya, aku juga tahu bahwa si gadis cantik yang mengantarku bernama Aisah.
Satu hal yang membuatku bertanya-tanya: apa yang dikatakan si Ibu kepada adiknya hingga aku tampil bak seorang yang benar-benar datang dengan tujuan mulia. Bahkan, Mang Dendi hanya bertanya nama, asal kampus, dan kota tempat tinggalku. Dia tidak memvalidasiku dengan meminta surat izin atau surat rekomendasi. Padahal, aku sudah memikirkan alasan bahwa legalitas izinku untuk melakukan penelitian tertinggal, dan akan dibawa atau dikirim via ekspedisi oleh temanku lusa.
Syukurlah! Ada perasaan lega. Pun, ada perasaan heran.
“Mas Yana ini sengaja datang jauh-jauh untuk melakukan penelitian ke sini? Kira-kira apa yang bisa saya bantu? Kebetulan saya di sini bertindak sebagai ketua RT. Selain itu, saya juga kepala sekolah di SDN Cibatu,” terang Mang Dendi.
Aku kembangkan senyuman untuk menuntun tujuan. “Pertama, saya mohon izin untuk tinggal di sini selama satu atau dua minggu. Kedua, saya sebenarnya dulu pernah tinggal….”
Aisah memotong kalimatku. “Mang, A Yana ingin melakukan penelitian sekaligus membantu mengembangkan potensi yang ada di desa ini. Walaupun mungkin hanya sebentar di sini, namun siapa tahu A Yana bisa menggerakkan warga untuk berperan aktif membangun desa.”
Aku tercengang mendengar pemaparan dari Aisah. Kami baru bertemu hari ini. Tak banyak kata yang terucap, tetapi dia mampu memparafrasakan pernyataan yang masih mengawang di kepalaku.
“Wah, kalau gitu saya sangat bersyukur sekali ada Mas Yana yang bersedia datang ke tempat kami ini. Kami memang perlu role model untuk menggali potensi anak muda di desa ini," puji Mang Dendi. Dia menunjukkan wajah yang begitu antusias. "Boleh cerita sedikit gambaran penelitiannya sebelum nanti kita ngobrol lebih banyak! Maaf, lima menit lagi saya harus pergi ke kantor kecamatan. Ada rapat di sana.”
“Em…. em….” Tesisku tidak berkaitan langsung dengan pemberdayaan masyarakat. Aku ini jurusan Linguistik. Tujuanku ke sini untuk memenuhi panggilan Hamid dan lainnya. Memang, ada hasrat untuk menulis tesis, tetapi lebih pada pencarian mood.
Aisah cukup membantuku. Hanya saja, dia seharusnya mengajakku berdiskusi terlebih dahulu sebelum memosisikan diri sebagai juru bicaraku.
Mang Dendi sabar dan serius menunggu penjelasanku. Sementara, otakku sedang buntu untuk menggali ide. Hah! Kacau.
“Ngobrolnya nanti lagi aja, Mang. Biarkan A Yana istirahat dulu,” ujar Aisah, menyelamatkan kekikukanku.
Mang Dendi pun setuju dengan ucapan Aisah. Ia lalu menunjukkan ruangan yang akan menjadi tempatku menyelami mimpi.
Untuk kamar yang aku tempati terletak di samping rumah utama, semacam paviliun. Fasilitasnya cukup lengkap: kamar mandi di dalam, kasur, lemari, televisi, dan kipas angin. Mirip hotel low budget atau wisma.
Setelah Mang Dendi pergi, Aisah menatapku tajam. Aku sama sekali tak mengerti arti dari perubahan sikapnya dari lembut menjadi garang.
“Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” tanyaku, tak tahan dengan teka-teki.