Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #7

Bab 6: Ranah Tak Terjamah

Berbagai pertanyaan tentang misteri yang tersembunyi di Citiis terus bermunculan—mengobrak-abrik nalarku. Mata dan telinga pun seakan semakin peka merasakan keberadaan mereka.

Sinar surya menghampar rata di tanah. Kubuka tirai jendela untuk melihat suasana pagi. Terlihat cukup ramai dengan orang berlalu lalang beraktivitas. Ada yang mengenakan seragam sekolah, dan ada yang terlihat rapi dengan pakaian kerja. Ada yang berjalan kaki, dan ada yang menaiki sepeda motor. Ini sangat kontras dengan keadaan semalam.

Namun, mengapa sebelum fajar menyingsing tak ada yang mengumandangkan adzan Subuh? Sampai-sampai aku kesiangan menjalankan kewajiban di permulaan hari.

Aneh. Ini penuh kejanggalan. Kehidupan di Citiis tampak jauh lebih maju, tetapi seperti tertabrak sebuah revolusi.

Kukira hanya akan mengungkap keberadaan teman-teman masa kecilku. Nyatanya, ada tabir besar yang harus kusingkap berbarengan. Huh!

Usai sarapan, Mang Dendi mengajakku ke balai warga yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Sepanjang jalan, kuperhatikan susunan atau barisan rumah tak lagi berjajar seperti dulu. Formasi dan konstruksinya membuat batinku gelisah.

“Ini nama kampungnya sama dengan nama desanya, ya, Mang?” tanyaku sebelum memulai presentasi memperkenalkan diri. Aku masih sulit memercayai kampung halamanku sudah berubah total.

“Betul, Mas Yana. Bisa dikatakan juga kalau kampung ini merupakan kampung terselip karena wilayah utama Desa Citiis ada di seberang jembatan atau berdampingan langsung dengan Desa Cibatu,” jawab Mang Dendi, menjelaskan dengan detail.

Sah! Aku tidak salah tempat atau dimensi. Rupa memang bisa berubah.

Kuamati sekeliling sambil memperhatikan satu per satu warga yang berdatangan. Tak ada seorang pun yang bisa kukenali atau familiar di dalam memori.

Aku paham waktu bisa menumbuhkan keriput di muka atau mengubah penampilan. Namun, setidaknya, setiap manusia memiliki bentuk dasar yang tetap melekat atau bisa dikenali dari susunan muka, kepala, dan pembawaan (bahasa tubuh). Sementara, ini sama sekali asing. Bahkan, logat mereka agak berbeda dengan intonasi yang sedikit kasar.

Sudahlah! Aku sampaikan saja ide yang aku rancang semalam. Biarkan misteri kubedah secara perlahan.

Aku paparkan gagasan penelitian tentang optimalisasi potensi pertanian yang ada di kampung ini. Dengan memanfaatkan teknologi dan internet, aku akan memperkenalkan mereka cara mengolah hasil kebun dan tahap pemasarannya.

Sayangnya, warga terlihat kebingungan. Mang Dendi pun tersenyum ambigu kepadaku.

“Maaf, Mas Yana. Warga di sini tidak ada yang berprofesi sebagai petani,” ungkapnya.

Hah? Aku sangat terkejut mendengar penjelasan Mang Dendi. Lalu, punya siapa sawah dan ladang yang berjejer mengitari kampung? Apa mungkin pemiliknya ialah warga dari desa lain?

“Semalam Mamang lupa untuk menanyakan lebih lanjut mengenai penelitian Mas Yana. Pada dasarnya, maksud Mas Yana bagus. Namun, warga di sini rata-rata pekerja bangunan dan buruh pabrik. Sementara, ladang pertanian yang Mas Yana lihat subur itu, dimiliki dan dikelola oleh warga di luar kampung ini,” jelas Mang Dendi.

Sungguh menantang ingatan. Siapa, apa, ke mana, dari mana, mengapa, dan bagaimana, itulah ragam kata tanya yang sedang menguliti kepalaku mengenai kampung ini.

Aisah muncul dari belakangku. Kehadirannya yang tak terdeteksi oleh indraku membuat jantungku seperti tertabrak organ lain.

Ia kemudian menyapa warga. Ia satukan tangan di depan dada dengan sedikit mengambang.

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, juga Mang Dendi, maksud A Yana bukan pada pengolahan hasil pertanian, melainkan tingkat pemahaman kita dalam menggunakan teknologi untuk mendukung masa depan kita. Jadi, A Yana ingin tahu sejauh mana masyarakat di kampung ini terpapar internet, terus penggunaannya dalam keseharian seperti apa, dan apa kaitannya pembangunan jembatan terhadap akses teknologi di sini. Bukan begitu, A Yana?” Aisah menganggukkan kepala sedikit sembari melemparkan senyum.

Aku terpukau sekaligus tidak percaya. Dia cerdas. Dia paham teknologi. Namun, dia juga misterius.

“Oh begitu. Saya jadi harus minta maaf lagi sama Mas Yana karena salah tangkap,” ujar Mang Dendi. Dia lantas undur diri. Katanya, ada urusan di sekolah.

Sebelum pergi, Mang Dendi berbisik kepada Aisah. Aku tak mau berspekulasi, khawatir akan memperberat kinerja otakku.

Aku harus segera memetakan prioritasku. Jangan sampai kepingan misteri bertumpuk terlalu banyak hingga mengaburkan tujuan utamaku.

Akhirnya, dua jam perkenalan program kerja tuntas—dan terasa cukup cepat. Warga pamit untuk melanjutkan aktivitas. Kutunggu suasana sepi sempurna agar leluasa menjajaki kenangan-kenanganku.

“A Yana mau ke mana?” tanya Aisah saat aku bergegas meninggalkan balai.

Lihat selengkapnya