Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #8

Bab 7: Tapak Mang Sata

“Nggak seru, ya. Si Yana pulang duluan, padahal bagian dia yang jaga,” ucap Hamid.

Bener. Cemen (lemah) dia mah,” timpal Musa.

Hamid dan Musa melambungkan tawa bernada mengejek. Kemudian, mereka jatuhkan badan ke tanah merah untuk meredakan lelah.

Sementara itu, Rusman berdiri menatap ekskavator dengan wajah ketakutan. “Hamid…. Musa…. Lihat ini!” ujarnya melangkah mundur dengan ayunan kaki yang sangat lambat.

Hamid dan Musa tak merespon. Keduanya sibuk menjahili satu sama lain bagai sedang bermain galasin: orang yang disentuh kalah. Keriangan mereka mengaburkan ujaran Rusman.

Rusman menengadahkan kepala. Eksvakator yang semula tidur, tiba-tiba bergerak ke arahnya. Garpu panjang dari alat berat tersebut naik dan turun, seakan ingin mengeruk tubuh kecilnya. Ia tampak gemetar, mulutnya pun membisu seketika.

Rusman berusaha memperbaiki posisinya agar bisa berlari. Nahas, ia justru terjatuh akibat tersandung batu besar.

“To… to.... tolong!” teriaknya dengan suara yang terpenggal ketakutan.

Masih. Hamid dan Musa tidak berpaling untuk menengok kondisi Rusman.

“La…. lari! Hamid, Mu…. Musa, cepat lari!” seru Rusman.

Hamid dan Musa serentak berdiri. Mereka memutar pandangan untuk mencari Rusman. Akan tetapi, Rusman tak terlihat seiring ekskavator yang berjalan menuju area utama pembangunan jembatan.

Tidak. Apa yang terjadi terhadap Rusman? Apakah eskavator itu membawanya?

Sialnya, aku hanya bisa menyaksikan tanpa mampu mengulurkan tangan. Jarak yang dekat bak terhalang tembok yang kokoh dan kuat. Mengapa kakiku turut kaku? Seruanku lenyap di udara: tak menjangkau mereka.

Rusman. Hamid dan Musa.

Hem.... Mimpi. Hanya mimpi. Semua yang terlihat ulah alam bawah sadarku.

[Alhamdulillahilladzi ahyaana ba’da maa amaatanaa wa ilaihin nusyur. Segala puji bagi Allah yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami, dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan.]

Namun, mimpi tersebut terasa begitu nyata. Aku laksana dibawa kembali pada masa kecil saat meninggalkan ketiganya di tengah permainan.

Ataukah yang barusan kualami merupakan visualisasi kejadian kelam dulu? Ia kemudian hadir dalam mimpiku sebagai petunjuk.

Ya, aku melihat adegan tentang Rusman yang begitu ketakutan seperti gambaran asli sebelum dia dan yang lainnya menghilang. Keharuan menyeruak. Rasa bersalah menguat.

Aku tengok waktu di ponsel menunjukkan pukul 04.45 WIB. Kuatur sejenak napas yang terengah-engah sebelum mengambil wudu.

Suara azan dan lengkingan ayam jantan di pagi hari, yang selalu kurindukan, masih tak terdengar. Hal ini semakin mendramatisasi keadaan di Citiis yang penuh keganjilan.

Usai menunaikan kewajiban, aku sandarkan separuh badan di dinding. Kulakukan rekap beberapa fenomena yang kualami selama dua hari di kampung halaman ini.

Musala yang berubah dalam sekejap mata yang membuat aku pingsan, sosok pria paruh baya yang sepertinya sangat aku kenal, kemudian ditambah mimpi yang sangat realistis. Sungguh menguras pikiranku. Belum lagi latar yang penuh kejanggalan yang membalut semenjak perjalanan dari Terminal Pakupatan.

Bisakah aku memecahkan semua ini? Haruskah aku menyerah saja? Kuhembuskan udara dari hidung agar tidak terlalu terbawa tekanan.

Satu nama pun mengiang di kepala. Aisah. Ya, dia mungkin sang pemegang kunci atas peristiwa-peristiwa di luar logika yang aku alami selama di sini. Sayangnya, dia terus saja bungkam.

Ah! Bagaimana caranya supaya dia mau bercerita?

Bade ka mana (mau ke mana)?”

Biasa, ek ka pasar meser jang jualeun (seperti biasa, mau ke pasar untuk membeli bahan dagangan).”

Lihat selengkapnya