Robi tidak mengatakan akan datang hari ini. Jelas, aku sangat terkejut atas kehadirannya. Bahkan, aku sudah tidak lagi berharap dia turut dalam misiku setelah berbagai pertanyaan di luar nalar mencabar pikiranku.
“Lu ke sini naik apa?” tanyaku kepada Robi.
Ajaib. Aku tidak membagikan lokasi atau arahan transportasi. Hanya memberi tahu nama desa dan kecamatan saja. Namun, dia mencapai tempat ini—sepertinya dengan mulus.
“Naik bus, terus sambung elf, dan dari depan ada yang nganterin gue ke sini naik motor. Awalnya gue kira dia adalah tukang ojeg, ternyata kebetulan sedang menuju kampung ini,” jawabnya, tenang dan berseri.
“Tidak mungkin,” gumam Aisah.
Aku, Robi, dan Mang Dendi menoleh ke Aisah. Wajah Aisah berubah tegang. Guratan kekhawatiran mengias di matanya. Dia terkejut mendengar penjelasan Robi mencapai Citiis. Adakah yang bersembunyi di bawah bibirnya?
Dari memperhatikan Aisah, aku beralih mengamati gestur Mang Dendi yang menatap Aisah dengan khidmat. Tatapannya bak sebuah semafor. Ya, mereka berdua mencurigakan.
“Em…. Maaf, Mas Yana dan Mas Robi, saya dan Aisah pamit dulu. Silakan istirahat. Mohon maaf juga jika kondisi di sini serba seadanya,” ujar Mang Dendi sembari menarik Aisah.
Aku dan Robi melemparkan senyum kepada Mang Dendi. Sebenarnya, aku ingin mencegah Aisah pergi karena ceritanya baru tahap pengantar. Namun, sangat kentara bahwa Mang Dendi menahan sesuatu. Sesuatu yang nyaris Aisah ungkapkan. Mungkin.
Ah! Hari ke hari, kian banyak misteri yang mencuat.
“Pantes aja lu betah di sini. Rupanya ada perempuan cantik yang menjerat hati lu, ya,” goda Robi, memecah lamunanku.
Aku tak bernafsu meladeni guyonannya. Cerita perjalanannya lebih menarik untuk diulas: tentang bagaimana dia bisa tahu keberadaanku.
Kudorong dia ke dalam kamar. Kukunci pintu agar obrolan kami tidak diinterupsi oleh apa pun atau siapa pun. Banyak hal serius yang harus sangat hati-hati dibicarakan. Aisah dan Mang Dendi, aku masih sangsi terhadap mereka.
Bukannya segera bercerita, Robi justru memintaku menerangkan tentang Aisah. Dia menuding kepergianku ke tanah kelahiranku ini hanya sebagai pelarian untuk bertemu Aisah.
“Bi, gue bener-bener nggak tahu siapa Aisah sebelumnya dan sampai sekarang,” tegasku. “Dia, mereka, dan segala yang ada di kampung ini, begitu asing buat gue.”
Robi terdiam. Dia memandangiku sejenak. Setelah itu, dia pun mengisahkan perjalanannya.
Katanya, dia sempat menghubungiku berkali-kali, tetapi nomorku selalu tidak aktif. Dia pun memutuskan untuk langsung mencariku.
Dia naik elf dari Terminal Pakupatan, turun di Cibatu, lalu mendapatkan tumpangan ke Citiis. Perjalanannya biasa saja, bisa dibilang lancar tanpa hambatan. Sangat kontras dengan langkahku yang harus jatuh bangun dihajar kejadian-kejadian yang membuat logika kusut.
Bahkan, Robi menuturkan si pemberi tumpangan seakan tahu tujuannya. Semesta membawanya ke hadapanku tanpa banyak bicara.
Entahlah. Bagiku, ini seperti diatur.
Lantas, aku ceritakan mengenai suasana dan kondisi desa yang sangat berbeda. Perbedaan dari sisi konstruksi hingga kisah gelap yang mencekam kehidupan, bayangan musala yang seolah terselip di dimensi lain, dan kejadian yang membuat betisku terluka tadi pagi.
Wajah Robi mendadak lesu. Ia kira aku sudah bertemu dengan orang-orang yang kukenal—reuni, bercengkerama kembali dengan mereka dalam suasana bahagia. Nyatanya, aku sendiri belum tahu jejak warga asli kampung ini. Aku juga belum tahu bagaimana mereka bisa tergusur dari sini.
Pelik. Semuanya semakin rumit—dan aku kadung menyelam.
“Lu tahu dan ngerasain ada hal yang aneh di sini. Kenapa lu masih di sini?” kesal Robi, setengah memaki.
“Bi, gue belum sedikit pun nyentuh kasus mengenai teman-teman gue yang hilang itu. Satu lagi, gue ngerasa Aisah dan orang-orang di sini menyimpan sesuatu. Gue pengen ngulik juga dari mereka apa yang sebenarnya terjadi dengan kampung ini,” uraiku.
“Yan, Umi dan Abi lu udah tahu lu ada di sini. Gue ke sini sebenarnya buat jemput lu,” terang Robi.