Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #10

Bab 9: Tidak Sebangsa

Perdebatan mewarnai pagi. Robi mengaku tidak terbangun sedikit pun pada dini hari tadi. Berkali-kali aku jelaskan tentang dirinya yang mengajakku ke jembatan. Berkali-kali pula dia menyangkal hal tersebut. Lantas, apakah ada penyusup yang menyerupai dia?

Masih belum tahu harus bagaimana, aku merasa semakin hari di sini, semakin menumpuk misteri. Ada asa untuk menutup mata dan melepas penasaran. Namun, sekilas terpikir bahwa langkahku untuk membuka tabir mungkin tinggal satu pijakan kaki lagi.

“Yan, kita pulang hari ini juga. Jangan memaksa diri untuk menantang sesuatu di luar kuasa kita,” ajak Robi. Wajahnya tampak resah setelah mendengar kisahku. Kisah yang sulit untuk dibuktikan, tetapi nyata dialami.

Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Rob. Gue nggak bisa pulang sekarang,” tampikku.

“Kenapa?” Robi sedikit membentak. “Karena rasa penasaran lu tentang kampung ini yang setiap hari terus meningkat? Yan, bersikaplah rasional sedikit. Mau sampai kapan lu menyiksa pikiran lu sendiri. Sementara di Jakarta, ada keluarga lu yang cemas memikirkan lu,” ungkapnya, meninggi.

Aku berdiri menatap tajam kepada Robi. Maaf, aku sedikit tersinggung dengan frasa menyiksa pikiran diri sendiri.

“Lu yang udah memperkuat tekad gue ke sini dengan cerita bokap lu. Sekarang, lu seakan-akan menuduh gue sendiri yang cari penyakit. Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lu,” balasku, melemparkan kalimat-kalimat satir. “Kalau lu mau pulang, silakan pulang. Gue masih punya tanggung jawab terhadap warga sini untuk berbagi ilmu.”

Robi merapikan semua pakaiannya ke dalam ransel. Dia tampak tersulut emosi oleh kata-kataku.

Biarlah! Setidaknya, aku bisa lebih tenang ketika tidak melibatkan orang lain dalam langkahku. Cukuplah menjaga diriku sendiri, tak perlu mengajak orang lain turut merasakan kengerian di sini.

Saat Robi keluar kamar, muncul Aisah dengan raut gelisah. Matanya terus tertuju kepada Robi. Sementara itu, aku berusaha mengulas perkataan Mang Sata.

Mang Sata meminta aku untuk segera menemuinya, sedangkan tak ada keterangan di mana dia tinggal. Bahkan, tak ada sedikit pun petunjuk yang ia berikan agar bisa melanjutkan percakapan semalam.

“A Yana.... Kenapa A Yana membiarkan teman A Yana pergi?” tanya Aisah. Terhantar kecemasan menyertai pertanyaannya.

“Dia sendiri yang ingin pulang ke Jakarta,” jawabku, tegas.

Aisah menarik tanganku. “Ayo kita kejar dia, A. Bahaya!”

“Bahaya kenapa?” Aku terbawa panik.

“Saya pernah bilang kan bahwa tempat ini tidak baik untuk orang luar. A Robi bisa saja ke luar dari kampung ini, tetapi tidak akan pernah tiba di Jakarta. Ada makhluk lain yang mencoba bersemayam di tubuh A Robi sebagai bayaran karena telah mengantar A Robi ke sini kemarin,” terang Aisah, membuat tubuhku gemetar.

Ya, jadi yang kulihat kemarin benar adanya. Ada yang menyelinap dalam diri Robi.

“Aisah....” Aku ingin mendapatkan penjelasan lebih rinci dari Aisah. Akan tetapi, langkah Robi sudah terlalu jauh dari pandangan. Tak ada waktu untuk meminta banyak eksplanasi. Lebih baik aku percaya saja pada pernyataan Aisah.

Aku dan Aisah berlari mengejar Robi. Saat hendak berseru mengudarakan nama Robi, Aisah menutup mulutku. Dia berkata dengan pelan untuk tidak berteriak.

Apa lagi ini? Dia terus menyodorkan teka-teki tanpa memberikan petunjuk: tentang apa dan yang mana.

Berada di tengah perkampungan, angkasa tiba-tiba gelap digulung awan hitam seperti akan turun hujan. Dalam seketika, suasana pun mendadak sunyi. Warga yang semula masih terlihat berlalu lalang, hilang bak takut ditelan gulita.

Aisah menyuruhku untuk mengerahkan seluruh tenaga agar bisa menghadang Robi. Sementara, aku merasa sudah maksimal mengayun kaki.

Ulah nyokot nu lain hak anjeun (jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu)!” teriak Aisah.

Aku melongok sesaat. Kepada siapa Aisah melaungkan larangan? Apakah kalimat yang ia sampaikan merupakan sebuah ajian?

Entahlah! Bukan saatnya meminta klarifikasi darinya.

Lihat selengkapnya