Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #11

Bab 10: Kengerian Robi

Resah, cemas, curiga, ngeri, dan getir berkutat di dalam sanubari. Melihat Robi masih terbaring tak berdaya membuatku dilanda kekhawatiran yang luar biasa.

Mulut si Ibu komat-kamit sembari tangannya menepuk-nepukkan daun kelor ke tubuh Robi. Sesekali ia semburkan air dari mulut ke sudut-sudut ruangan, bak sebuah ritual mengusir makhluk halus. Apa pun yang dia lakukan, aku tidak peduli. Aku hanya berharap kesadaran sahabatku segera kembali.

Niat hati pergi ke Citiis menebus rasa bersalah, tetapi justru dihadapkan dengan rasa bersalah yang baru. Aku kehilangan arah. Hanya berdiri dengan perasaan limbung.

Tidak! Aku tidak boleh membayangkan hal terburuk akan terjadi kepada Robi. Aku harus senantiasa berpikir positif supaya menjelma menjadi doa yang baik.

Selagi si Ibu sibuk membangunkan Robi, aku ajak Aisah duduk di teras. Ada banyak pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban, dan beberapa pertanyaan baru yang ingin aku ajukan.

“Aisah …,” ucapku lembut.

Baru kuseru namanya, dia langsung memberikan gestur tangan supaya aku diam. Dia seolah tahu aku akan memberondongnya untuk menalarkan semua kejadian di kampung ini.

“Banyak warga dari kota yang mengabaikan pantangan ketika memasuki wilayah desa ini. Mereka pikir kami hanya menakut-nakuti. Mereka kira cerita kami merupakan takhayul,” ungkap Aisah. Suaranya tegas, pandangannya. lurus tajam.

Dia pantas marah. Namun, aku juga patut tahu.

“Cerita apa?” tanyaku, mengharap.

Aisah menumpangkan kedua tangannya di pangkuan. “A Yana ingin tahu kan kengapa ketika gelap menyelimuti kampung ini, maka tak akan ada satu pun warga yang berani menampakkan diri di luar rumah?”

Aku mengangguk. Kufokuskan pendengaran untuk mencerna cerita Aisah.

“Saya sendiri tidak tahu kapan dan bagaimana awal mula kampung ini menjadi berbeda. Tapi ada cerita bahwa mereka tidak terima terusir dari kampung ini. Mereka kerap datang di kala gelap untuk melakukan balas dendam. Bukan langsung membunuh atau pun melukai, tapi mereka menyerang psikis. Tanggal 9 bulan 9 tahun 1999, jam 9 pagi,” papar Aisah.

Mereka? Siapa mereka? Apakah kata ganti itu ditujukan kepada penduduk kampung ini sebelumnya? Lalu, ada apa di waktu yang dia sebut?

Tidak mungkin. Mang Sata dan para warga kampung asli ini sangat ramah. Tak pernah ada konflik atau perselisihan mewarnai masa kecilku di sini. Tanah ini merupakan tempat yang terkenal aman dan damai. 

“Aisah, apakah mereka yang kamu maksud yaitu warga asli yang pernah bermukim di sini? Apa yang terjadi dengan mereka? Di mana mereka sekarang?” Aku membombardirnya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

Aisah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, ia memejamkan mata, sedikit terisak.

Rasa penasaranku sudah memuncak di atas kepala. Berkali-kali pertanyaanku menggantung tanpa menyentuh akal. Maaf, tak ada niatan untuk menjadi tega.

“Aisah! Kenapa kamu malah diam? Cepat ceritakan semuanya dengan lengkap!” mohonku dengan intonasi memaksa.

Kreeek! Si Ibu membuka pintu. Sorot matanya menusuk kepadaku.

“Aisah, ayo kita pulang sekarang,” ujar si Ibu. Kemudian, ia menarik tangan Aisah.

Aku coba menghalangi langkah mereka. “Bu, tolong jangan meninggalkan saya dengan teka-teki seperti ini.”

“Tidak ada yang memberimu teka-teki. Kamu sendiri yang menciptakan keadaan seperti ini,” tukas si Ibu.

Ah, tuduhan macam apa yang ditempelkan kepadaku?! Ingin rasanya mengeluarkan segala emosi di hati menjadi sebuah lolongan yang menguap di udara.

Sabar, Yana! Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jaga perangai dan lisan agar tidak mengukir keburukan. Aku coba tenangkan diri seraya mengenyam pesan Umi saat berada di bumi orang lain.

Sebelum beranjak dari kamarku, si Ibu berpesan agar aku tidak membuka pintu dan jendela dari waktu magrib hingga subuh. Dia juga melarangku untuk memaksa Robi terbangun.

Ruang untuk mengurai tragedi tertutup kembali. Memang terkadang tidak tahu lebih menenangkan. Masalahnya, otakku sudah kusut tersentuh peristiwa-peristiwa yang kualami di sini.

Hem!!!

Mang Sata! Benar. Dia harapan terakhirku untuk mendapatkan sekelumit jawaban tentang misteri di kampung ini. Hanya saja, di mana aku bisa menemui dia?

Aku rebahkan badan di samping Robi. Kendorkan otot, lepaskan lelah. Firasatku mengatakan Mang Sata akan menemuiku lagi, walau aku tidak bisa menerka kapan waktunya.

Lihat selengkapnya