Hidup penuh pilihan. Setiap langkah akan memiliki sejarah yang berbeda. Begitu keputusan sudah ditentukan, maka ia harus dijalani sepenuh hati. Tak ada lagi frasa “coba kalau begini” atau “andai tadi tak begitu”.
Memang bukan hal yang mudah untuk melepaskan pengandaian di kepala. Namun, aku percaya setiap pijakan merupakan cerita yang sudah termaktub dalam kisah hidupku. Saat ini, satu kata yang terus aku galakan di pikiran, yaitu “hadapi”. Baik atau buruk, benar atau salah, kutatap segala yang di depan mata dengan penuh keyakinan.
Aku ketuk pintu kayu yang sedikit lapuk dan keropos di beberapa sisinya. Kemudian, kuserukan salam agar sang empunya rumah keluar.
Tak lama, Mang Sata pun membukakan pintu. Tampilan wajahnya melukiskan kesedihan yang teramat dalam. Ia pun tidak mengenakan baju hingga tampak jelas balutan pilu tubuhnya yang kurus legam.
“Assalamualaikum!” salamku lagi kala kaki kanan masuk ke bagian dalam rumah.
“Langsung masuk aja, Yan. Tidak perlu mengucapkan salam lagi,” ucap Mang Sata. Lalu, dia mempersilakanku duduk di sebuah kursi yang tak lagi empuk.
Tak mau banyak pembukaan yang memakan waktu, aku langsung sampaikan kondisi Robi kepada Mang Sata. Jujur, aku ingin bertanya ini dan itu: tentang realitas tempat ini, mengapa dan bagaimana bisa seperti ini, mengapa Mang Sata kelihatan lebih tua dari yang kulihat sebelumnya, dan tujuan utama dia memintaku bertandang ke rumahnya. Akan tetapi, kondisi Robi jauh lebih membutuhkan penjelasan dan pertolongan.
Mang Sata sedikit menengadahkan kepala ke langit-langit. Ia seperti sedang menahan laju air mata yang hendak menyerang pipinya.
“Semenjak Rusman hilang bersama Hamid, dan Musa, ibunya tampak begitu tertekan. Setiap hari dia mencari Rusman di lokasi galian dan di sekitar jembatan. Tetapi, selalu pulang dengan berurai air mata hati. Hingga suatu hari, dia ditemukan meninggal dunia di dekat kolong jembatan yang dibangun. Kata orang-orang di sana, dia terpeleset saat hendak turun ke sungai,” tutur Mang Sata dengan suara bergetar.
“Yana turut berduka, Mang. Maaf, semenjak pindah ke Jakarta, Yana tidak tahu apa pun tentang kabar di sini," ucapku, seraya mengamati sudut-sudut Rumah Mang Sata yang lapuk di beberapa bagian.
"Mamang paham," sedunya.
"Em…. apakah Yana boleh minta tolong terlebih dahulu terkait….” Aku bukan tidak mau mendengar lebih banyak mengenai kedukaan yang Mang Sata sampaikan, tetapi aku takut Aisah dan ibunya sudah kembali ke kampung ini. Aku tak mau mendengar omelan mereka ketika didapati aku sedang tidak berada di dalam kamar. Hah! Ini bak berkejaran dengan dua dimensi waktu untuk dua kepentingan.
Mang Sata memotong kalimatku. “Apakah Rusman dan lainnya memberi tahu kamu di mana keberadaan mereka?” tanyanya, sesak.
“I…. iya, Mang,” jawabku, jujur.
Mang Sata mengambil bajunya yang menggantung di tiang kayu. Ia kenakan perlahan penutup badannya yang sudah lusuh.
“Antar Mamang ke sana sekarang. Lebih cepat mereka ditemukan, maka lebih cepat kamu bisa pulang. Ayo, Yan!”
Mang mengambil caping dan cangkulnya, seperti hendak ke ladang. Wajah menoleh ke arahku, mengisyaratkan agar aku bergegas menuntun langkahnya.
“Tapi, Mang….” Aku ingin mengembalikan kesadaran Robi terlebih dahulu. Setelahnya, ke mana Mang Sata membawaku untuk mencari Rusman dan yang lainnya, akan aku ikuti.
“Kondisi temanmu sangat bergantung pada penemuan di mana Rusman, Hamid, dan Musa dibenamkan sebagai tumbal. Merekalah yang telah menyandera sukma temanmu, sebagai jaminan agar kamu tidak ingkar pada tujuanmu datang ke kampung ini,” lugas Mang Sata.
Mataku berair. Benarkah yang dikatakan oleh Mang Sata?
Memang, ada benang merah antara pernyataan dia dengan si Ibu, yaitu sukma Robi tertahan di kampung ini. Akan tetapi, aku masih menimbang satu pertanyaan. Apakah sebenarnya yang bukan sebangsa, yaitu Mang Sata? Kemunculan dia sulit dirasionalisasikan.
“Kamu sudah kenal Mamang sangat lama, kan? Percaya sama Mamang! Kamu sudah seperti anak Mamang sendiri,” ucap Mang Sata, seolah bisa membaca isi pikiranku.
Benar. Walaupun semua keadaan di sini menantang logika, namun Mang Sata tidak mungkin berlaku jahat kepadaku. Terlepas dari sikapnya yang misterius, ia satu-satunya orang yang aku kenal sebelumnya di kampung ini.