Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #14

Bab 13: Peristiwa 1999

Simpang batas kebenaran tampak semakin kabur. Siapa yang benar, dan apa yang sebenarnya terjadi belum jua kutemukan titik terangnya. Ingin pergi, tetapi tak mungkin begitu saja melepas kesadaran Robi.

Aku terbangun dengan tubuh yang sakit dan pegal. Saat mata terbuka lebar, aku terperangah tak percaya. Kucoba tampar pipi berkali-kali dengan perlahan. Apakah pertemuan serta perjalananku dengan Mang Sata adalah sebuah mimpi?

Aneh dan sulit dilogikakan. Aku berada di samping Robi yang masih terbaring tak berdaya. Dari balik jendela, cahaya matahari cerah membelai kampung ini. Aku coba ingat-ingat lagi secara jeli setiap detil yang aku lakukan sebelum mengalami hal yang mengerikan bersama Mang sata.

Kurogoh ponsel di saku celanaku utuk melihat waktu. Tidak ada.

Lalu, kuteliti pakaian yang menempel di badan. Kotor dan terasa basah di ujung celana.

Benar. Ini bukan mimpi. Akan tetapi, bagaimana caranya aku bisa berada di kamar? Apakah Mang Sata yang mengantarkanku?

Ah! Lebih baik aku ganti pakaian terlebih dahulu, dan menginat dengan pasti semuanya.

Setelah semua kesadaranku berkumpul. Aku tepuk-tepuk bahu Robi. Sedih membaha karena dia masih tak merespon sentuhanku. Raut wajahnya pun semakin kehilangan warna.

Aku coba periksa napas dan denyut nadinya. Seketika air mata memberontak keluar, tubuh bergetar, hati meringis mengharap keajaiban.

Tak ada tanda kehidupan di dalam diri Robi. “Bi, bangun, Bi! Jangan coba-coba ninggalin gue, Bi. Gue janji akan bawa lu ke Jakarta segera,” teriakku, histeris.

Aku datang ke Citiis untuk mencari keberadaan tiga temanku yang disinyalir menjadi tumbal. Mengapa sekarang aku laksana menumbalkan Robi?

Tidak.

Aku angkat dan dekap tubuh Robi sembari terus menyerukannya agar segera membuka mata.

Mengapa sampai harus ada nyawa yang dipertaruhkan? Mengapa aku tak patuh pada perintah Aisah dan ibunya? Jika aku tidak memaksakan diri untuk ke tempat ini, pasti kemalangan tidak akan menimpa Robi.

Apakah ini takdir? Ataukah kebodohan dan sikap keras kepalaku yang membawa bencana ini terjadi?

“Temanmu masih hidup. Hanya saja, saya tidak tahu berapa lama dia bisa bertahan,” ujar si Ibu, masuk ke kamarku. Ia datang bersama Aisah.

“Benarkah?” tanyaku, memastikan.

“Iya,” jawab Aisah sambil mendekat ke arahku. “Napas, denyut nadi, dan detak jantung A Robi beberapa saat berhenti, karena mungkin dia kembali kehilangan kesadarannya,” jelasnya.

Aku periksa lagi  hembusan napas dan denyut nadi Robi. Kutempelkan juga tangan di dadanya untuk merasakan detak jantungnya.

Alhamdulillah. Aku baringkan kembali Robi dengan perasaan yang agak lega.

“Bagaimana kamu bisa bersama dia?” Si Ibu melirikku sinis.

“Dia?” Aku tidak paham siapa yang dimaksud oleh si Ibu.

“Mang Sata,” tegasnya.

Lihat selengkapnya