Mereka di Sini

Jasma Ryadi
Chapter #15

Bab 14: Menafsir Kisah

Kehadiran Mang Sata kini seperti bayang-bayang kelabu yang memayungi langkahku. Cerita si Ibu tentangnya, mengiang kuat di kepalaku. Meskipun ada segurat ragu, tetapi penjabaran mengenai kekejian Mang Sata mengoyak batinku. Khawatir dan waspada.

Mundur. Lebih baik aku mencari area yang aman dengan tidak meladeninya. Namun, aku pun tidak boleh terlalu tinggi memangku rasa takut.

Tenang. Tetaplah bersikap tenang!

Dalam suasana yang kalut mencekam, Robi membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dia terbangun sembari melemparkan tanya.

Tak ada jawaban yang kuberikan untuk menjelaskan situasi yang tengah terjadi. Aku rangkul dia supaya kesadarannya tetap terjaga. Ya, aku tak mau melepaskan sedetik pun penglihatanku darinya.

Di depan kamar, terdengar Mang Sata terus memanggil namaku dengan nada-nada penuh lara. Dia merintih, memohon aku menemuinya.

Kupandangi Robi dengan teliti. Kuingat lagi peristiwa yang nyaris sama kala dia membuka mata, tetapi kemudian terbaring lagi seiring kepergian Mang Sata.

“Yan, kamu nggak dengar dari tadi ada yang manggil-manggil nama kamu?” Robi beranjak dari tempat tidur. Kakinya melaju seperti hendak membukakan pintu.

Aku segera menghalangi niat Robi. Dalam pikiranku terbersit untuk segera meninggalkan kampung ini selagi Robi dalam kondisi sadar. “Mending sekarang kita berkemas. Kita pulang setelah dia pergi,” ajakku seraya berusaha mengalihkan perhatiannya.

“Dia siapa, Yan?” Robi kebingungan.

Ada perubahan dalam sikapnya. Namun, aku tak mau memikirkan hal tersebut terlebih dahulu. Tidak juga dengan memberikan penjabaran tentang Mang Sata kepadanya.

Aku pelankan suaraku agar rencanaku tidak terendus oleh Mang Sata. Robi justru bersikap kontradiktif dengan yang aku lakukan. Dia terus bertanya tentang identitas sang penggedor pintu dengan suara yang nyaris memenuhi seisi ruangan. Aku pun bersusah payah meminta Robi untuk diam.

Suara di luar terhantar makin lantag. Karena mungkin tak kunjung mendapat respon dariku, Mang Sata menggedor-gedor pintu dengan cukup kencang. Aku pun cukup cemas dia akan mendobrak pintu atau jendela agar bisa masuk. Maka dari itu, aku memperhitungkan jarak benda-benda yang bisa digunakan untuk melawannya apabila dia menjadi beringas. Kursi, meja, sapu, hingga bantal dan guling telah kutentukan untuk menjadi senjata.

“Yan! Keluar sebentar saja, Yan. Mamang ingin bertemu dengan kamu. Tolongin Mamang, Yan! Bantu Mamang menemukan di mana Rusman dipendam agar dia lekas tenang,” ucap Mang Sata terisak.

Robi menatapku heran. “Tega lu Yan ngebiarin orang tua di luar. Dia pasti kedinginan, Yan. Apa salahnya temui dia, dan ajak dia masuk?!”

Apa lagi yang terjadi pada memori Robi? Setiap kali dia terbangun, tingkahnya selalu aneh.

Akkkh! Otakku dipaksa bekerja dari semua sisi, mencerna segala fenomena.

Aku dorong Robi hingga tubuhnya sedikit membentur dinding. Kuucapkan kata maaf, karena memang tak ada maksud sengaja melakukan hal tersebut.

“Bi, dia bukan manusia. Tidak ada warga di sini yang berani keluar malam apalagi bertamu tidak tahu waktu seperti dia,” tegasku, meniupkan hawa seram.

Akan tetapi, respon Robi begitu di luar sangkaan. Dia bak berbalik menyerangku dengan sesuatu yang membuatku panik. Giginya menggertak-gertak, wajahnya tegang, dan tubuhnya bergetar. Aku tak percaya kalimatku menghujamkan rasa takut yang hebat kepadanya.

“Ja…. ja…. ja…. jadi dia adalah setan, Yan. Ce…. ce…. cepat usir dia, Yan!” ucapnya, terbata.

Tatkala dia terlihat seperti akan menjerit, aku buru-buru menutup mulutnya. Kubisikkan agar dia mengatur nafas sambil melafalkan doa.

Mang Sata tidak berhenti membuat kegaduhan di depan pintu. Aku paham dia berupaya memancing batas kesabaranku.

Lihat selengkapnya