Kaca jendela yang hancur dibiarkan menganga tanpa diganti. Hanya selembar papan disilangkan untuk menutupi lubang kengerian. Banyak hal yang mesti dipikirkan. Banyak hal juga yang justru mengabu kelabu.
Aku sudah jelajahi sekitaran rumah Mang Dendi. Namun, gadis cantik nan manis yang kucari tak tampak keberadaannya. Dia dan ibunya bisa tiba-tiba datang, lalu pulang tanpa menitipkan kata.
Haruskah aku berjalan ke Cibatu—menemui dia di rumahnya? Tetapi, bagaimana dengan Robi? Selain itu, hari pun sudah menuntun pada senja.
Selagi aku mengadu pilihan, aroma harum sebuah masakan melayang menggoda penciuman. Arahnya dari dapur rumah Mang Dendi. Padahal, saat tadi aku mengumandangkan salam, tak terendus adanya tanda kehidupan.
Apakah seseorang sedang memasak untuk makan malam? Ya, selama ini, aku hanya tahu makanan tersaji di meja tanpa pernah mengenal siapa yang menyajikannya.
Ah! Tak bisakah aku bersikap biasa? Selalu saja ada hasrat untuk menyingkap hal yang mengusik ruang penasaranku.
Aku masuk ke dalam rumah Mang Dendi secara perlahan. Suasana yang terpancar tampak suram dan gelap bagai sudah malam. Ini sangat berbeda dengan yang pernah aku rasakan sebelumnya.
Selangkah demi selangkah, aku berjalan menuju dapur. Hanya tempat itulah yang terang benderang. Maaf, aku paham tidak baik mengendap-endap seperti maling di rumah orang lain. Tetapi, naluriku sebagai detektif begitu saja muncul sebagai respon atas sesuatu yang janggal.
Dari suara minyak yang disengat oleh api dan aroma yang dihasilkan, sepertinya seseorang tengah menggoreng ikan. Kulihat di atas tungku —benar—sebuah wajan bertengger tanpa penjagaan. Ke manakah sang juru masaknya?
“Maaf, makanannya sebentar lagi akan segera siap,” terang seseorang di belakangku.
Jantungku nyaris saja terlepas dari tempatnya. Aku pun lekas berbalik badan untuk melihat si pengejut.
Ternyata, seorang ibu setengah baya dengan tinggi sebahuku berdiri dengan wajah pucat. Dia mengenakan kutang (sejenis tank-top) biru dipadukan kain cokelat bermotif pohon kelapa, persis seperti yang biasa digunakan nenekku kala bersantai di dalam rumah.
“Silakan tunggu di luar, ya, Den!” ucapnya, mengusirku secara halus.
Bahasanya terasa formal untukku. Dia seperti titisan zaman kerajaan. Namun, di luar hal tersebut, dia adalah orang pertama di sini, selain Mang Dendi, yang melemparkan kata itu kepadaku.
“Saya sedang mencari Aisah. Apakah dia ada di sini?” Kutata kalimatku agar selaras dengan nuansa tenang dan sopan yang ia berikan.
“Dia sudah pulang. Nanti juga dia akan ke sini lagi,” jawabnya, datar. Dia pun kembali mendekat pada tungku untuk melanjutkan aktivitasnya.
“Em…. Apakah saya boleh bertanya sesuatu?” Seketika terpikir olehku untuk mengulik cerita yang menjadikan kampung ini sarat akan nuansa mistis.
Dia tidak memberikan tanggapan. Tangannya sibuk mengayunkan sudip untuk mengangkat ikan. Lantas, kuanggap saja diam berarti dipersilakan.
“Mengapa warga kampung ini tidak ada satu pun yang beraktivitas di malam hari? Bahkan, semuanya seakan takut berada di luar rumah saat tak ada paparan cahaya dari langit?” Aku memang sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tersebut dari Aisah dan ibunya. Hanya saja, aku merasa ada fakta lain yang masih tersembunyi. Fakta yang mungkin terselip di balik bibir warga kampung ini.
Tak dinyana, dia menatapku tajam. Sorot matanya mengindikasikan sebuah kemarahan.
Apakah pertanyaanku menyinggungnya? Jelas. Ada hal yang seolah-olah begitu sakral untuk diceritakan.
Aku coba arahkan pertanyaanku dengan menggunakan pancingan pada sang pemicu ketakutan warga yang disebutkan oleh si Ibu. “Apakah Bibi tahu tentang Mang….”
Dia menyalak ucapanku. “Carilah segera celah untuk pulang, sebelum tak bisa dipulangkan!”
Peringatannya penuh makna bahaya. Dia seakan tahu bahwa aku dan Robi sedang menghadapi situasi yang pelik di kampung ini.