Lemah dan kuyup. Itulah yang aku rasakan saat hendak membuka mata. Jiwa yang semula pasrah menghadapi prosesi penimbangan pahala dan dosa, kini bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kulihat sekeliling, terhampar semak dan beberapa pohon tinggi yang menjulang. Entah bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Mungkinkah Aisah yang menolongku?
“Aisah!” seruku dengan sisa-sisa tenaga yang masih terhimpun di dalam raga.
Tak ada jawaban. Hanya suara serangga dan hewan amfibi yang memberikan tanggapan.
Jika bukan Aisah yang mengangkatku dari sungai, lantas bagaimana dengan nasib dia sekarang?
Seketika kepanikan naik ke kepala. Aku takut terjadi sesuatu dengan Aisah. Terlebih, sebelum aku terjatuh ke sungai, Mang Sata sudah cukup dekat Aisah.
Aku berusaha bangkit. Pikiranku tak tenang memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang menimpa Aisah.
Ah! Sulit untukku menempa prasangka baik tatkala mengingat ekspresi dan benda tajam yang diacungkan oleh Mang Sata.
“Yan, kamu mau ke mana? Tolong angkat aku terlebih dahulu, Yan!”
Aku terkejut hingga terjatuh dengan posisi punggung menyentuh tanah. Untungnya, jantung dan bulu kudukku sudah cukup tahan dengan gempuran hal-hal mistis ini.
“Dingin, Yan. Aku mohon bawa aku dari dasar sungai,” sambung Rusman, terisak. Wajahnya pucat pasi. Penampilannya lusuh; mengenakan seragam SD bercap tanah.
Aku pejamkan mata sesaat. Ini di luar nalar. Rusman kecil berinteraksi denganku.
Takut? Ya. Namun, aku bukan takut pada sosok Rusman yang mungkin merupakan jelmaan jin. Aku justru takut bahwa segala yang terpampang di hadapanku merupakan halusinasiku semata. Manifestasi dunia bawah sadar atau hasil rekaan atas kepayahanku menyadarkan Robi.
Betul. Bisa jadi semua yang aku alami ini pun hanyalah mimpi. Mimpi berseri yang begitu panjang. Mungkin saja realitas yang sesungguhnya yaitu aku tengah tertidur di kamarku. Tak pernah ada perjalanan suram nan mengerik logika seperti ini.
Plak! Plaak! Plaaak! Aku menampar pipiku kanan dan kiri beberapa kali secara bergantian. Kemudian, tangisku pecah menghantam bumi. Tangan menadah ke atas untuk merangkul langit sembari bercerita. Bercerita tentang batin dan akal yang kelimpungan.
“Yan, hanya kamu yang bisa bantu aku, Hamid, dan Musa. Kami memanggilmu ke sini bukan untuk mencelakai kamu.” Tangisan Rusman semakin deras.
Aku lekas berdiri. Tatapanku tajam menyoroti bentuk Rusman. Bukankah orang yang meninggal dalam kondisi apa pun, arwahnya tidak lagi berkeliaran di dunia? Mereka berada di alam barzakh untuk menunggu Hari Kebangkitan.
Tidak. Urat-urat di kepalaku mengencang laksana ditarik oleh kereta api.
Akhhhh!!! Aku berteriak seraya mencengkram leher Rusman.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa lu yang sebenarnya? Apa lu adalah jin kafir yang coba mempermainkan nalar gue?” tanyaku, memaki.
“Le…. lepasin, Yan! Sa…. sakit. To…. long lepasin aku, Yan!” ucapnya, setengah merintih.
Aku alihkan pandangan ke sisi yang tak bertepi. Kemudian, kuatur nafas sambil memuaikan emosi.
“A Yana! A Yana di mana?” Terdengar suara Aisah memanggil dari jarak yang cukup dekat.
“Aku di sini!” sahutku.